Share

Bab 4 Menemui Ibu

Amberly langsung memeluk ibunya, begitu wanita setengah baya itu membuka pintu.

"Ibuu!" Setengah tersedu.

"Kamu baik-baik saja, kan, Sayang?" Almira, ibunya. Melepaskan pelukan untuk meneliti tubuh anaknya.

"Aku baik-baik saja, ibu. Aku yang sepanjang waktu mengkhawatirkan ibu."

"Ibu sakit, sih." Almira menyunggingkan senyumnya.

"Ibu sakit, apa?" Amberly agak tertegun.

"Sakit yang namanya rindu. Rindu ingin ketemu denganmu dan cucuku."

Amberly tampak bernapas lega. "Sekarang jadi terobati. Maaf, Amber baru menemui Ibu." Sorot mata Amberly melukiskan perasaannya.

"Tidak apa-apa, penantian ibu sudah terbayarkan." Ia kemudian melihat pada gadis kecil yang ada di sebelah Amberly. "Apakah ini cucu, Ibu?"

"Iya, Bu. Namanya Angel, tapi biasa dipanggil Ange." Amberly memberi penjelasan.

"Hai, ternyata cantik sekali cucu Oma ini." Almira agak membungkukkan tubuh untuk mencolek pipi Angel.

"Beri salam sama Oma, Sayang." perintah Amberly.

Anak yang baru berusia tiga tahun itu menuruti, menyodorkan tangan dengan manis, kemudian mencium tangan omanya.

"Oh, cucu Oma sangat pintar." Dengan wajah semringah, Almira meraih tubuh kecil itu masuk dalam pelukannya.

"Ayo! Kita ke dalam rumah." ajaknya, terus menggendong Angel.

Almira segera menyeduh teh panas dengan sedikit gula. Setelah mendudukkan cucu mungilnya itu di sofa. Sepertinya Angel kelelahan, ia langsung meringkukkan tubuhnya.

"Ibu turut berduka, dengan kepergian mantu ibu yang sekalipun belum ketemu." Almira langsung menyampaikan bela sungkawanya.

"Maaf, Bu. Tapi aku belum menemukan waktu yang baik untuk membawa Ethan ketemu ibu." Mata Amberly menyiratkan rasa sesalnya.

"Ibu mengerti kalau mendengar riwayat kesehatannya. Apakah kamu bahagia, Amber?" tatap Almira.

"Aku belum menemukan pria yang benar-benar baik, seperti Ethan, Bu. Dia, sungguh! Jadi penyelamat hidupku tanpa pamrih apapun. Selama empat tahun bersamanya, aku bahagia. Dan aku mengabdikan diriku untuk merawatnya. Murni karena rasa terima kasihku. Maaf, sekali lagi. Kalau Amber jadi mengabaikan Ibu."

"Kamu tidak mengabaikan, Ibu. Sudah sepatutnya bila kamu berumah tangga lebih mengabdi pada suamimu. Ibu juga melakukan itu, tapi malah membawamu hidup dalam kesengsaraan."

"Maksud, Ibu?" Amberly agak terhenyak, mendengar penuturan dari ibunya.

Selama ini, Almira tidak bercerita banyak mengenai keluarganya. Bahkan siapa bapaknya pun, Amberly tidak pernah tahu. Dulu waktu kecil, ia pernah menanyakannya. Namun, Almira seolah selalu berkelit untuk tidak menceritakannya.

Hidup seadanya, dengan hanya mengandalkan warung kecil sebagai penghasilan utama. Membuat hidup Amberly dan ibunya tidaklah dikatakan cukup, membuat Amberly bertekat secepatnya untuk menyelesaikan kuliah. Hanya yang membuatnya aneh, Almira tidak pernah mengeluh soal uang kuliah. Berapapun yang diminta berusaha ia sediakan.

Satu lagi yang membuat Amberly heran akan permintaan Almira, saat ia diminta untuk kuliah di jurusan Manajemen Bisnis. Seakan mempersiapkan dirinya untuk jadi pemimpin sebuah perusahaan. Perusahaan yang mana? Apakah warung kecil, itu?

Tapi sebagai anak, Amberly menurut saja tanpa bantahan. Beruntung punya otak encer, ia jadi berhasil secara akademis dengan nilai sangat memuaskan.

Sekarang, sudah saatnya Almira membuka cerita.

"Gara-gara kamu diculik itu, Ibu jadi berpikir keras. Apa ada hubungannya dengan masa lalu Ibu?" tanyanya penuh keraguan.

"Aku merasa tidak tahu apa-apa tentang Ibu. Apakah boleh Amber mengetahuinya, Bu?"

Almira seperti sedang mempertimbangkannya. Terlihat dari diamnya untuk beberapa saat.

Kemudian, berkata secara perlahan. "Masa lalu Ibu sangat menyakitkan dan menyedihkan. Ibu hanya ingin menyimpannya sendiri, makanya Ibu tidak ingin menceritakannya sama kamu."

"Ibu … Aku anak Ibu. Sesakit apapun yang pernah dialami, sebaiknya Amber tahu. Kata Ibu tadi, penculikan yang terjadi padaku ada kaitannya dengan masa lalu Ibu. Sebaiknya ibu ceritakan saja, supaya Amber bisa tahu, siapa sebenarnya yang mau mencelakaiku."

"Mereka ternyata belum puas, padahal Ibu sudah mengalah untuk menyelamatkan hidupmu. Agar tidak terlacak mengenai keberadaanmu."

Amberly semakin melebarkan matanya. Tidak menyangka hidupnya dari kecil sampai dewasanya itu, ternyata dibalik hidup tentramnya selama ini, ada drama yang terjadi sebelumnya di hidup Almira.

"Kamu pantas diburu mereka, karena kamu pewaris satu-satunya, dari orang terkaya di Kalimantan. Kamu mengenal perusahaan Borneo Grup? itu salah satu perusahaan kayu terbesar di sana, yang kini merambah usaha lain dan cabangnya ada di mana-mana. Mungkin di Jakarta ini juga ada."

Mata Amberly kian membola, tidak salahkah ia mendengarnya? Walau sedikit tahu tentang perusahaan itu, tapi sangat jelas itu merupakan perusahaan yang sangat besar. Ia bahkan punya rencana ingin melamar kerja ke perusahaan cabangnya yang ada di Jakarta.

"Apa pertaliannya aku dengan perusahaan itu, Bu?" Alih-alih merasa terkejut, Amberly bertanya ingin lebih tahu.

"Bapakmu, adalah sebagai pemimpinnya."

"Ibu?!" Tidak sadar Amberly berkata agak keras. Kemudian air matanya langsung keluar. Bukan karena mendengar kalau bapaknya seorang pemimpin perusahaan besar, tetapi akhirnya ia tahu juga siapa bapaknya.

"Maafkan Ibu, bila hal ini baru Ibu kemukakan sama kamu. Karena Ibu terlalu takut." Almira merasa bersalah, karena sudah menyembunyikannya sejak lama.

"Ibu tidak ingin kamu mengalami yang pernah Ibu rasakan. Ibu sangat takut kehilanganmu, Amber. Kamu akan berhadapan dengan orang-orang yang tidak punya hati." ucapnya sambil tersedu.

"Mengapa, Bu. Ceritakan yang jelas pada Amber."

Ibunya malah tersedu-sedu dan Amberly tidak bertanya lagi. Membiarkan Almira sudah siap menceritakannya.

Beberapa saat kemudian, baru Almira mengangkat wajahnya. "Dari itu, waktu Ibu kehilanganmu beberapa hari, Ibu sangat stres memikirkan kamu. Itu membuat ibu sakit, tapi tidak berani lapor pada polisi. Takut di tanya-tanya soal latar belakang kehidupan Ibu. Bersyukurlah setelah seminggu, kemudian Ibu dapat kabar dari kamu."

"Iya, Bu. Setelah mengalami luka-luka akibat penculiknya membuangku ke jurang, aku dalam perawatan dokter, yang biasa merawat Ethan. Dokter itu yang dipercaya Ethan, tidak akan menyebarkan mengenai kehadiranku ada di rumahnya. Aku baru mengingat Ibu setelah seminggu, langsung menghubungi agar Ibu tahu kalau aku masih hidup." Gantian yang kini menceritakan apa yang menimpa Amberly pada waktu itu.

"Ah! Ibu langsung sujud syukur pada Tuhan, saat kamu hubungi. Ibu sudah mengira-ngira ada hal buruk terjadi padamu." kata Almira penuh was-was.

"Hanya mengenai penculikan itu, bagaimana terjadinya? Kamu belum menceritakan secara lengkapnya." tuntut Almira.

"Ibu tahu, kalau pagi-pagi waktu itu, aku mencari sarapan. Memang keadaannya sangat sepi, karena masih pagi sekali. Masih di dalam gang, ada orang yang mendekati, langsung menangkup mulutku dengan kain yang sudah dibubuhi obat bius. Sejak itu aku sudah tidak sadarkan diri, Bu. Aku dibawa oleh mobil, diapit oleh dua lelaki yang ditutup wajahnya. Detik-detik aku mau dibuang, aku tersadar, tapi mereka yang menjagaku, tidak tahu. Jadi, aku sempat mendengar perdebatan mereka."

"Kita bunuh saja gadis ini, supaya tugas kita cepat selesai." kata Si A

"Wajahnya cantik sekali, aku tidak tega membunuhnya." kata Si B

"Ah, yang penting kita menjalankan tugas seperti perintah Si bos dan dapat bayarannya. Tidak ada sangkut pautnya dengan kecantikan gadis ini." Si A tidak peduli.

"Si Bos kan, tidak tahu. Bilang saja kalau kita telah membunuhnya, dan telah membuangnya ke jurang." bujuk Si B.

"Kamu tidak berani mengeksekusinya?" ejek Si A

"Dengan membuangnya ke jurang saja, mungkin gadis ini tidak akan selamat." Si A berusaha mempengaruhi pikiran Si B.

Amberly yang mendengarnya baru sadar, bahwa ia sedang berada di ujung maut. Tidak berani menyatakan kalau ia sudah sadar, malah ia memilih untuk tetap diam. Pikirnya, bila penculik ini tahu, ia sudah terlepas dari obat biusnya, mungkin saja ia akan langsung dibunuh. Lebih baik ia diam saja, sambil berdoa.

Ternyata Tuhan mendengar doanya. Kedua laki-laki itu hanya menggulingkan Amberly dari tepi tebing yang kemiringannya hanya sekitar 45°, beruntung tidak terlalu curam. Hanya saat tubuh Amberly melaluinya, membuat banyak luka-luka pada kulit.

"Itulah yang terjadi, Bu." Amberly mengakhiri ceritanya.

Almira menghela napasnya sebelum bertanya lagi. "Tidak menemukan keterangan lain?"

Amberly menggeleng.

"Cara bicaranya, mungkin punya logat tertentu?"

Amberly mengernyitkan dahinya. Berusaha mengingat-ingat. "Tidak, Bu."

Almira menarik napasnya lagi.

"Ibu pergi, dari kehidupan bapak kamu, karena kalau mereka tahu Ibu hamil, maka sebelum lahir pun mungkin kamu akan tidak diberi kesempatan untuk hidup." Almira mulai membuka ceritanya. Amberly hanya diam, untuk mendengarkan.

"Ibu menikah dengan bapakmu, karena cinta. Awalnya bapak sudah di jodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya, tapi bapak berteguh menikahi Ibu. Setelah satu tahun menikah, belum juga dikaruniai anak, orang tua bapak mulai menekan Ibu. Mereka para tetua keluarga kakekmu menuntut agar pewaris segera dilahirkan. Membuat Ibu sudah tidak merasa damai lagi ada diam di keluarga itu. Dan di tiga tahun berikutnya, mereka memaksa bapakmu untuk menikahi wanita yang sama yang dijodohkan dengan bapak. Padahal waktu itu sudah janda beranak dua. 'Sudah jelas, wanita itu tidak mandul', kata mereka." Almira, menatap Amberly dengan pandangan sedih. Lalu melanjutkan lagi ceritanya.

"Bapakmu tidak berdaya, karena didesak banyak pihak. Akhirnya menikahi wanita itu. Sejak itu, Ibu tidak rela dimadu, apalagi sikap Ranti (wanita itu) ternyata sangat berkuasa karena mendapat dukungan keluarga. Sikapnya sangat jelas sangat memusuhi ibu. Setiap hari selalu cari gara-gara untuk menjatuhkan Ibu. Sementara bapakmu, semakin tertekan, membuat Ibu tidak tega. Ibu pernah bilang, kalau Ibu akan pergi darinya. Namun, bapak tidak mengijinkan. Akhirnya suatu saat, karena sudah tidak tahan akan intimidasi dari Ranti dan mertua, Ibu pergi."

"Berarti Ibu sudah mengandungku?" tanya Amberly.

"Betul, nak. Waktu itu ibu berpikir, akan berterus terang tentang kehamilan Ibu ini, tapi melihat sikap Ranti, ibu yakin ia tidak akan membiarkan kamu lahir. Saat Ibu tidak hamil saja, ia sudah berbuat hidup ibu susah. Apalagi kalau sampai ia mengetahui, Ibu sedang hamil."

"Mengapa Ibu tidak melawan?"

"Kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Nak? Ibu melihat Ranti, sangat ambisius dan Ibu malas meladeninya. Ibu memilih tidak mau berurusan dengan orang seperti itu. Lebih baik membesarkanmu, meski harus meninggalkan hidup berlimpah harta. Maafkan Ibu sudah memilih hidup seperti ini, Nak." Mendengar hal ini, Amberly langsung memeluk Ibunya.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak menyalahkan Ibu," ucap amberly menghibur hati Almira. "Jadi, Ibu mengira mereka tahu tentang keberadaanku dan ingin melenyapkan aku?" tanya Amberly, hanya dijawab oleh Almira dengan anggukan.

"Mungkin Ibu dulu hanya diam saja. Tapi aku akan ketemu bapak." tekad Amberly.

Mata Almira terbelalak."Jangan! Sayang."

Amberly malah tersenyum menanggapi ketakutan ibunya.

"Bu, seumur hidup Amber, ingin ketemu bapak. Aku berharap bapak masih hidup sekarang ini. Tidak peduli macan yang mengelilinginya, akan Amber hadapi. Amber berhak untuk ketemu bapak!" kukuh Amberly.

"Hidup mereka penuh intrik dan tidak punya hati, kamu masih polos dan lugu, Nak." Almira menyangsikan anaknya, bisa menghadapi mereka.

"Bu, untuk apa, ibu menyekolahkan aku tinggi-tinggi? Mungkin Ibu melihat Amber terlalu lemah, tapi sekarang Amber bertekad, mau melawan siapa saja orang yang mau menindas kita. Ternyata dengan diam saja, malah memberi peluang kepada orang untuk berbuat semena-mena pada kita, Bu." Tekadnya, terlihat dari tatapan Amberly yang sangat keras.

Almira, melihat perubahan dalam diri Amberly. Sepertinya pengalaman hidup telah mengubah anaknya lebih keras.

"Dengar, Bu. Kalau benar mereka sudah berniat jahat padaku. Aku akan sekalian menantang mereka dengan kehadiranku, di tengah-tengah mereka."

"Amber!" seru Almira, tidak menyetujui.

"Amber tidak takut, menghadapi mereka, Bu. Amber anak sah bapak, mereka tidak bisa menolak akan kehadiranku. Aku akan mencari dulu keterangan tentang mereka, terutama yang bernama Ranti itu. Siapa nama bapak, Bu?"

Masih dalam sikap tertegun, Almira menjawabnya. "Berly Hanan, anak tertua dari keluarga Hanan."

Amberly tersenyum, ternyata namanya diambil dari nama bapaknya. "Namaku diambil dari nama bapak kan, Bu?"

Almira kembali hanya mengangguk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status