Share

Bab 3 Penculikan

"Ini anakku, mengapa kamu seolah berkuasa memilikinya?" ucap ketus Amberly, saat menemukan Angel tidur bersama pamannya di ranjang ruang tamu.

Tentu saja teguran itu membangunkan Golda dari tidurnya. Dia jadi terkaget, tetapi kata-kata Amberly tadi, dapat disimaknya juga.

"Aku pamannya, mengapa kamu keberatan?" balasnya, sambil mengusap wajah.

Amberly sama sekali tidak tergoda oleh wajah tampan Golda, terbukti dari pelototan matanya yang tidak juga memudar. "Perlakuanmu sangat tidak sopan, mengambilnya sembarang, menidurkannya juga secara sembarang." omel Amberly. Ingin saja mengambil Angel secepatnya, tetapi terhalang tubuh Golda yang masih rebahan.

Tampak Angel merasa terusik oleh keributan sekitar. "Mama." panggilnya spontan.

"Kemarilah, Sayang. Mendekat sama Mama." ajak Amberly, pada Angel. Tidak lebih memajukan dirinya, karena Golda masih terbaring di tempat tidur, menghalangi upaya wanita itu untuk mengambil anaknya.

Golda malah menerbitkan senyumnya, "Kamu lebih banyak bicara, sekarang. Apa kepergian abangku, sudah menimbulkan keberanian padamu?"

"Kamu tidak tahu siapa diriku. Jangan terlalu percaya diri, kalau semua wanita memujamu, seperti Sherra." Amberly langsung memangku Angel, begitu anak itu mendekat.

"Sayangnya, kamu sudah tidak bisa menghindariku. Wasiat abang ada diantara kita." ujar Golda sedikit menggodanya.

Amberly hanya mendelikkan matanya sesaat, kemudian secara cepat keluar dari kamar.

Golda bangkit dari tidurnya, lalu mengacak rambutnya yang dipotong sangat trendy. Jadi malas, seolah dia akan berhadapan dengan sebuah tebing karang yang keras. Benar-benar penuh tantangan.

Dia kembali mengingat-ngingat pertengkaran yang terjadi dengan Sherra pada malam itu.

Sebuah pertengkaran biasa antara kekasih. Di mana Sherra menyusul Golda ke rumah Ethan.

Sherra sudah merasa jenuh, setelah lima tahun menjalin hubungan dengan Golda tanpa kejelasan. Jadi malam itu, ia mendesaknya untuk memberi kepastian.

Namun, yang didapatnya, Golda tetap tidak pernah membuat hatinya puas. Lelaki itu selalu beralasan, 'belum waktunya". Sampai kapan, Sherra harus terus menunggu?

"Lalu bagaimana dengan kekasih-kekasihmu itu, apakah sudah selesai?" ungkap Golda pada waktu itu, cukup mengejutkan Sherra.

"Kekasih yang mana?"

"Ya, mungkin bukan kekasih. Tetapi lelaki one night stand-mu barangkali?" jawab Golda cuek.

Mata Sherra terbelalak. "Kamu mengira, aku sebagai wanita apaan, hah?"

Namun, Golda malah tertawa. "Apa perlu aku sebutkan satu per satu? Sejak tiga tahun lalu, aku mengikuti pergulatan asmaramu dengan lelaki lain, dibelakangku. Jangan kamu kira aku bodoh, Sherra. Aku mendiamkan bukan berarti tolol. Hanya ingin tahu saja, sampai di mana kamu akan sadar pada perilakumu di belakangku itu. Dan saat inilah, waktunya. Kamu jawab sendiri, 'apakah ada lelakinya yang mau menikahimu, setelah kamu lama berkhianat padanya?'"

"Golda!" teriak Sherra bercampur rasa kegetnya.

Dengan tenang Golda malah tersenyum. "Jangan teriak, ini bukan di hutan belantara. Ini juga, balasan untuk perempuan yang berperilaku tidak setia seperti kamu. Serapat apapun, kamu menyembunyikannya. Aku tahu, Sayang …. Harusnya kamu tidak bertanya padaku, jawab saja oleh kamu sendiri. Apakah kamu layak aku nikahi?"

"Kamu kejam, Golda. Setelah bertahun-tahun hubungan ini kita pertahankan." kata Sherra setengah merintih.

"Jangan berkata kejam, kalau dibandingkan dengan pengkhianatanmu di belakangku." cela Golda. "Dan siapa yang tidak bisa mempertahankannya?"

Bibir Sherra mengetat dengan air mata berderai. "Kamu laki-laki yang tidak normal. Mungkin ada benarnya juga omongan waktu dulu, sebelum kita menjadi kekasih. Kalau kamu, seorang gay. Aku hanya jadi tamengmu, untuk membungkam mulut mereka?

Terdengar tawa dari mulut Golda. "Karena aku tidak menyentuhmu, hingga kamu menilainya begitu? Bagaimana kalau aku bilang, aku malas menyentuhmu karena bekas orang lain?"

Mata Sherra jadi melotot. "Apakah kamu berambisi mengejar seorang perawan suci?"

"Aku tidak menganut paham itu, karena aku pun bukan manusia suci. Hanya sikap munafik kamu itulah yang membuatku kecewa. Kalau kamu punya kekasih, harusnya kamu tidak mencari pemuas napsumu di luaran."

"Apakah kamu bisa diandalkan?" tanya Sherra sedikit muak.

"Tidak! Hal itu bisa aku kendalikan. Tidak secara sembarang aku umbar, hingga merusak reputasiku sendiri." jawab Golda.

"Kenyataannya, aku merasa kesepian berada di sisimu, Golda." gumam Sherra.

"Mari kita akhiri hubungan ini secara baik-baik. Aku tidak suka jadi bahan gosip di luaran sana. Bersikaplah elegan. Bukankah ada untungnya juga menjadi kekasihku? Bisnismu lancar, para investor pun percaya bekerjasama dengan perusahaan kosmetikmu itu, karena di belakangmu ada aku." saran Golda, pelan.

"Kamu … ! Setengah tidak percaya Sherra merasa kecewa.

"Kamu tahu, hubungan kita tidak bisa lanjut. Hentikan juga hubunganmu dengan berganti-ganti pasangan. Itu sangat tidak sehat. " nasihat Golda sungguh-sungguh.

Sampai di situ ingatan Golda, lalu apa yang membuat bang Ethan merasa terganggu? Atau, saat Sherra marah, ketika membahas soal mabuknya Golda hingga Sherra menendangnya dari mobil?

Namun, apa hubungannya juga dengan Ethan? Apakah dia ikut sakit hati karena telah disakiti oleh Sherra? Toh, Golda tidak mengadu, apa yang terjadi pada dirinya pada waktu itu.

Karena mabuk, Golda tidak tahu apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya merasa ditegain saja sama Sherra seperti itu.

Golda terus merenung, berusaha mengingat pertengkarannya dengan Sherra. Namun, sekeras apapun dia mengingatnya, tidak ada yang dirasa bisa jadi beban pikiran Ethan.

***

Di ruang makan, semua berkumpul untuk sarapan. Golda duduk di hadapan mami dan papinya. Di sebelahnya, adalah Angel yang sedang disuapi Amberly.

"Kamu belum memberi tanggapan pada wasiat yang dibacakan pak Fadly, Gold." tanya Maya, menatap anaknya.

"Masih setahun lagi, Mi. Aku dan Amber banyak waktu untuk memikirkannya. Mungkin Amber cocok dengan bang Ethan, tetapi denganku belum tentu, bukan?" Golda menyuapkan sarapan ke mulutnya dengan tenang. "Kamu nyenyak tidurnya, Sayang?" liriknya pada Angel.

"Bobo sama Om, kayak bobo sama papa." Angel tertawa kecil, tampak ceria.

Semua yang ada di meja makan, saling menatap. Mungkin, gadis kecil itu tidak tahu kalau papanya tidak akan ada lagi untuk menemaninya bermain. Golda mengusap kepalanya dengan penuh sayang.

"Bila ingin tidur bersama Om lagi, Ange tinggal bilang sama Om, ya?"

"Iya, Om. Enak bobo sama Om, ditimang-timang dulu." Bibir Angel melebar.

"Tidak apa-apa, Om kuat, kok." Golda tersenyum, menyenangkan hati keponakan kecilnya itu.

"Ange, ayo mulutnya dibuka lagi, kan belum selesai makannya." Amberly mengalihkan perhatian Angel, agar meneruskan sarapannya.

"Amber, setelah ini apa yang akan kamu lakukan?" Tiba-tiba Maya bertanya, membuat Amberly tertegun.

"Selama menikah dengan Ethan, aku tidak pernah mengunjungi ibu. Mungkin aku akan ke sana." jawab Amberly, masih terlihat ragu-ragu.

"Kalian tinggal di Bogor, kan?" tanya Maya lagi.

"Ya, Mi. Ibu sudah mulai sakit-sakitan, mungkin faktor usianya."

"Tapi sekarang baik-baik sajakah, ibumu?"

"Baik, Mi. Setiap hari aku menanyakan kabarnya lewat telepon. Ibu ingin bertemu Ethan, tapi belum kesampaian, keburu tiada orangnya." Ada nada getir saat Amberly mengucapkannya.

"Kalau ibumu masih hidup, kenapa waktu di pernikahanmu tidak hadir?" Sekarang Golda yang bertanya. Ia mengira, Amberly turun dari langit, karena sama sekali tidak mengetahui soal keluarganya.

"Waktu itu, ibu sedang sakit masuk rumah sakit, karena sudah sebulan lebih merasa kehilangan aku." Amberly menjawab sesimpel mungkin.

"Apa yang terjadi?"

"Gold, mungkin kamu tidak tahu. Kalau Amberly telah mengalami penculikan, sebelum bertemu abangmu." Maya yang menjelaskannya.

Golda tampak terperangah. "Tidak ada yang memberitahuku." Tatapannya sedikit menyalahkan. "Apa sebabnya?" tanyanya kemudian.

"Amberly ditemukan penuh luka-luka, yang merawatnya bi Lasih sampai sembuhnya." jawab Maya.

"Mengapa kamu diculik?" tanyanya pada Amberly dengan heran.

"Kalau tahu, aku tidak akan bingung." Amberly menjawabnya pendek.

"Jelaskan kejadiannya seperti apa?" desak Golda, lebih ingin tahu.

"Aku dibuang ke jurang, lalu aku naik ke atas bermaksud mencari pertolongan. Dan ketemulah rumah ini, dan Ethan menerimaku tanpa keberatan."

"Kamu tidak mengenal, siapa yang menculikmu?"

"Tidak! Mereka membiusku dan mengikat tanganku." Amberly memberi penjelasan dengan datar saja. Seolah hal itu bukan kejadian yang luar biasa dalam hidupnya.

Sebenarnya ia malas untuk menceritakan kejadiannya. Karena bukan hanya penculikan itu yang membuat Amberly trauma. Namun, berada saat di jurang itulah yang membuat ia lebih menderita.

Ia tidak mungkin menceritakan kisah selanjutnya pada Golda. Amberly tidak akan menceritakan pada siapapun, hanya Ethan dan bi Lasih saja yang tahu. Bahkan Maya juga tidak diberitahu.

Golda jadi terdiam, pantas sikap Amberly tidak dimengertinya, karena yang terjadi dalam kehidupannya pun sangat misterius.

"Kisahmu aneh. Masa ada orang yang menculikmu, lalu membuangmu, tanpa alasan? Beruntung kamu tidak dibunuh mereka."

"Seharusnya penculik itu, membunuhku. Tetapi sepertinya mereka amatiran, hingga tidak tega untuk melakukannya."

Golda tertegun lagi. "Dari mana kamu tahu?" Terus bertanya, membuat dia tanpa sadar meletakan sendok secara tertutup di atas piring yang sudah kosong.

"Karena mereka mengira aku masih dalam pengaruh obat bius, sebelum membuangku mereka sempat berdebat. Untuk memegalku, atau dibuang saja."

"Amber!" Malah Maya yang menjeritnya. Walau pernah mendengarnya dari cerita bi Lasih, tapi detailnya tidak sampai ke hal itu.

"Aku hanya berdoa saja dalam kepasrahanku, Mi. Kalau Tuhan berkehendak aku masih hidup, pasti aku akan diselamatkan." Amberly berkata dengan tenang.

Maya menarik napasnya dengan kasar. "Harusnya, ini jadi urusan polisi, Amber. Mengapa tidak dilaporkan?"

"Ethan yang melarangnya, Mi." jawab Amberly secara langsung.

"Padahal bisa diusut tuntas kasusnya." Golda lebih keras, menanggapinya. "Mungkin akan terungkap siapa pelakunya."

"Kamu tahu sendiri gimana Ethan. Hidupnya hanya ingin damai, makanya dia lebih memilih tinggal di sini juga. Dia tidak mau ribut-ribut, apalagi sampai melibatkan pihak kepolisian. Yang penting menyelamatkan aku supaya tetap hidup." terang Amberly seadanya.

Semua yang mendengarnya, jadi memahami.

"Rupanya setelah itu, kalian jadi saling tertarik, ya? Lalu memutuskan untuk menikah?" tanya Maya, mulai terlepas dari rasa tegangnya. Terlihat dari senyumnya yang kemudian muncul.

"Rasa sayangku pada Ethan, bukan saja sebagai rasa terima kasihku, Mi. Tapi lebih dari itu. Hingga timbul di hatiku untuk membalasnya dengan segala pengabdianku padanya." ungkap Amberly.

Ungkapan inilah yang cukup menyentuh hati Golda, karena selama ini terus mencurigai wanita ini.

Salahnya Ethan juga, mengapa tidak menceritakan kejadian yang menimpa Amberly kepadanya? Padahal dia keluarganya juga.

"Siapkan dirimu, untuk jadi calon istriku." ucap Golda, langsung berdiri untuk meninggalkan meja makan.

Bam!

Amberly jadi tertegun atas ucapan Golda barusan.

"Suamiku hanya Ethan. Aku tidak mau memiliki suami yang lain." tegasnya.

"Katakan itu pada bang Ethan, supaya dia keluar dari kuburnya." Golda bicara sambil terus melangkah, tanpa melihat lagi pada Amberly.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status