Share

Bab 3

"Huuuuuu," teriak warga menyoraki Ningrum.

"Nggak mikir apa anaknya yang berbuat mesum sembarangan, kampung kita bisa terkena murka Allah kalau sampai mereka nggak segera di nikahkan, enak saja, sudah, nikahi saja mereka, cepat Pak Dukuh," sarkas warga lainnya tak terima.

"Iya nikahin saja mereka," timpal beberapa warga lainnya, yang membuat suara riuh di rumah Dukuh Paino kembali terdengar.

"Maaf Pak, Bu, pernikahan ini harus segera dilakukan, warga benar-benar tak terima kampung kami dicemari, jadi saya selaku kepala Dukuh minta pengertiannya dari semua pihak yang terkait. Bagaimana," paksa Pak Dukuh secara tidak langsung.

"Untuk apa ditanyakan lagi Pak Dukuh, cepat nikahkan saja."

"Iya nikah kan saja mereka sekarang juga."

Seru warga bersahut-sahutan membuat suasana semakin riuh dan tegang.

"Jadi bagaimana, Pak ... Bu, tolong jangan mempersulit posisi kami sebagai perangkat desa disini."

"Kami ... kami dengan berat hati memutuskan mengikuti apapun keputusan yang telah disepakati, gimana baiknya saja Pak Dukuh, sebab saya pun tak tahu harus bagaimana sekatang," ujar seorang laki-laki yang belakangan diketahui sebagai ayah kandung Gendhis.

"Pa, apa sebenarnya yang terjadi?" desak Ningrum masih berusah meminta penjelasan.

"Pak Dukuh, saya mohon ijin sebentar untuk menceritakan pada istri saya, agar kami bisa segera memberikan jawaban."

"Silahkan Pak."

Rajasa lalu menceritakan dengan singkat inti dari permintaan warga dikampung ini, setelah beberapa orang memergoki Dewa dan seorang Gadis yang sedang bertindihan, di sebuah gubuk tua reot, meski Dewa menyangkal bahwa yang terjadi tidaklah benar, namun pada kenyataannya, mereka tak bisa menghindari lagi.

"Tak ada pilihan lain Ma, selain menikahkan Dewa dengan gadis itu." Rajasa menggeleng.

Ningrum tertunduk sedih, tak terbayangkan dalam benaknya jika anaknya akan terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, tapi atas desakan warga, yang disebabkan kepergok telah berbuat mesum.

"Lalu, Siapa gadis itu? Yang mana?" tanya Ningrum berusaha mencari tahu sosok calon menantunya.

"Itu Ma," jawab Rajasa menunjuk kearah seorang gadis yang sejak tadi memang telah mencuri perhatian Ningrum dengan wajahnya yang sendu namun meneduhkan.

Sembari terus menatap pada gadis itu, Ningrum bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekati gadis hitam manis yang masih terus saja tergugu.

Menyadari hal itu, membuat Gendhis memandang takut, cemas, juga penuh kecurigaan pada sang calon mertuanya.

"Maaf Ibu, i ... ini tak seperti yang Ibu bayangkan, sa ... saya bahkan tak mengenal anak Ibu sebelum ini," ucap Gendhis terbata mencoba menjelaskan kejadian sesungguhnya tanpa di minta.

Ningrum tak menjawab, beliau justru memandang lekat wajah Gendhis yang menurut sebagian orang njawani, sebab ia memang hanya gadis desa, asli keturunan jawa.

"Gadis ini nyaris seperti menantu idamanku selama ini, aku tau itu dari raut wajahnya yang khas, serta tutur katanya yang sopan meskipun berbalut rasa takut dan cemas," batin Ningrum.

"Siapa namamu Nduk?" tanya Ningrum saat sudah berada persis dihadapan Gendhis.

"Na ... nama saya Gendhis Bu, Gendhis Ayuningtyas," jawabnya lirih namun terdengar oleh wanita paruh baya yang kebetulan memakai kebaya sebab baru saja menghadiri acara resepsi pernikahan rekan bisnis suaminya.

"Alhamdulillah, dari namanya aku makin yakin bahwa gadis ini adalah keturuanan jawa tulen, ternyata dugaanku tak salah, dan gadis ini sudah sesuai dengan kriteria calon mantu yang aku idam idamkan selama ini," pikir Ningrum membatin.

Ningrum kemudian membalikkan badan, seraya tersenyum pada anak laki-lakinya, Dewa, tentunya hal ini membuat Dewa merasa sangat aneh atas sikap wanita yang melahirkannya itu.

"Dewa, kamu harus menikahi Gendhis, Mama setuju," ucap Ningrum tanpa ragu, yang tentunya membuat Dewa dan Rajasa terkejut, dan mengundang tanya dalam hati mereka.

"Mama yakin?" tanya Rajasa tak percaya.

Ningrum mengangguk cepat.

"Pak Dukuh kami setuju, segara saja nikahkan mereka," tutur Ningrum tersenyum lebar, seolah sangat bahagia atas pernikahan dadakan anak lelakinya.

"Sangat yakin Pa, Dewa, Nak, ini mungkin adalah takdir kamu, Mama yakin ada makna dari semua kejadian ini, yang kita memang belum tahu apa itu. Nggak apa-apa Nak, insya Allah, Genhis adalah wanita yang baik untuk menjadi istri kamu," rayu Ningrum meyakinkan anaknya.

"Tapi Ma---."

"Sudah jangan dipikirkan lagi. warga sudah menuntut, toh kita juga tak punya pilihan lain kan selain menerima semuanya dengan besar hati, sudah ... nggak apa-apa, Bismillah saja ya Nak." Ningrum yang sangat ecited, terus saja berusaha meyakinkan Dewa.

"Ini Mama kenapa sih, seperti terlihat senang sekali dengan pernikahan ini," batin Dewa tetap saja tak terima.

"Betul kata Mama kamu Nak, kita nggak punya pilihan lain, selain menerima ini, terlepas dari benar tidaknya tuduhan warga padamu dan gadis itu, tapi kenyataannya kalian memang tertangkap basah sedang bertindihan."

"Ya Allah, Papa nggak percaya denganku?"

"Ini bukan soal percaya atau tidak Dewa, tapi ini soal tuntutan warga didesa ini, kamu mau keluar dari desa ini hidup-hidup kan? Mereka nggak main-main, sebab ini bisa menimbulkan petaka bagi warga desa disini, menurut kepercayaan mereka. kamu paham nggak?" paksa Rajasa menyadarkan anaknya agar paham pada situasi dan kondisi mereka sekarang.

Dewa akhirnya diam, semua orang memojokkannya, hingga Ia merasa tak bisa melakukan apapun lagi selain menerima semuanya, sembari memikirkan jalan keluar setelah ini.

"Yang terpenting nikah saja dulu, aku turuti semua permintaan warga disini, setelahnya toh aku bisa menceraikan gadis itu, kasih dia uang yang banyak, aku yakin dia pasti mau.

Hari gini mana ada sih cewek nggak doyan duit," pikir Dewa hanya dalam hatinya.

"Bagaimana ini Pak, Bu, tolong secepatnya kasih jawabannya, saya takut warga diluar mulai anarkis," tanya Mbah Paino mulai khawatir.

"Dewa?" Rajasa meminta jawaban, semua warga pun diam menunggu jawaban lelakinya.

"Oke, aku setuju menikahi gadis itu," jawabnya terpaksa, dengan wajah ditekuk.

"Alhamdulillah, akhirnya." ujar semua warga mengucap syukur.

"Ya harusnya memang seperti itu, nggak adil kalau sampai kalian tak dinikahkan, bisa kena musibah desa kami ini," timpal seorang warna lainnya.

"Ya betul ... betul," jawab warga serempak.

"Semoga setelah menikah desa kami kembali seperti dulu, nyaman, adem, tentrem, terhindar dari petaka."

"Aamiin."

Seluruh warga pun akhirnya tersenyum lega, dan bersorak senang karena tuntutan mereka telah dikabulkan.

"Sudah ... sudah, nggak apa-apa ya, Nak, yang sabar, mungkin ini memang takdir kamu." Ningrum menepuk nepuk bahu anaknya, menguatkan.

"Pak Dukuh, minta waktu sejam agar putra saya bisa siap-siap dulu ya."

"Silahkan Bu, kami juga akan memanggil penghulu dulu, kebetulan jaraknya cukup jauh dari desa kami ini."

Ningrum mengangguk setuju.

"Kamu siap-siap ya. Mama akan minta Pak Joko bawain baju koko dan celana yang layak buat kamu, nggak apa-apa ya, seadanya saja dulu, namanya juga kepepet, yang penting sah dulu," sambung Ningrum tersenyum.

"Dan kamu, Gendhis?" Ningrum membalikkan badannya lagi ke arah Gendhis, "Mama akan bawakan juga baju kebaya buat kamu, sepertinya ukuran kita sama, nggak apa-apa kan seadanya dulu." tanyanya pada sang calon menantu.

Gandhis yang masih nampak bingung, hanya mengangguk pelan sembari menatap wajah wanita disebelahnya, dua garis bekas air mata yang mengalir dipipinya masih terlihat jelas.

Ningrum tersenyum, "Mungkin Allah telah menyiapkan wanita ini untuk menjadi istri Dewa, meskipun dengan cara yang aneh, namun setidaknya wanita ini sesaui dengan yang aku mau, dari pada ... Rebeca," kilahnya dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status