Share

Bab 6

Suasana hening dalam mobil yang membawa sepasang pengantin yang baru saja menikah.

Wajahnya sendu, menggambatkan kesedihan yang tengah dirasakan oleh Gadis manis yang duduk disamping Dewa. Ia menatap kosong kearah depan.

Sedangkan Dewa, wajahnya yang tampan menekuk, bak baju yang tak disetrika.

"Andai saja tadi aku nggak nekat pergi bersepeda, mungkin semua ini nggak akan terjadi. Aku nggak akan digrebek massa bersama cewek yang tidak kukenal.

Andai tadi saya mengizinkan Pak Joko untuk ikut, mungkin pernikahan ini nggak akan pernah terjadi.

Dasar b**doh, kenapa juga tadi aku harus mampir ke gubuk itu. Sekarang, yang bisa aku lakikan hanya menyesali semuanya." batin Dewa meruntuki dirinya sendiri.

Memorinya kemudian kembali berputar mengingat kejadian sore tadi.

Meski awalnya Dewa merasa ragu, untuk pergi bersepada, dikarenakan langit yang sedikit mendung, namun pada akhirnya ia nekat untuk pergi juga.

Ya, bukan Dewa namanya kalau tak suka menchalenges dirinya sendiri. Kostum khas pesepeda pun sudah lengkap ia kenakan dari sepatu sampai helm.

Sekali-kali Dewa, mengecek kembali kelengkapan yang sudah ia persiapkan dalam ransel sepeda tuk bekal dijalan sebagaimana biasanya.

Dua botol air mineral, juga telah ia siapkan. yang satu ditaruh pada tempat khusus bagian bawah sepeda, sedang 1 botol lainnya juga sebatang coklat pabrikan dan kaos ganti, semua itu, dietakkan di tas ransel mini khusus pesepeda.

Dewa memang sengaja untuk selalu membawa kaos ganti ketika akan bersepeda, untuk jaga-jaga kalau yang di kenakan sudah tak nyaman sebab kebanyakan nyerap keringat, ditambah cuaca yang mendung, takut kalau-kalau akan turun hujan.

Tak lupa Dewa memastikan kedua ban sepeda, titik-titik fital dan rem semua on perform.

"So, ... It's time to rockin' the road!" gumam Dewa yakin setelah memeriksa kondisi sepedanya.

Pak Joko, supir pribadinya sebenarnya sudah menawarkan diri untuk menemani, namun dengan sopan, Dewanmenolak tawaran Pak Joko dengan dalih, ingin menghabiskan dan menikmati waktuku sendirian.

"Me time Pak Joko," jawab Dewa, tersenyum.

"Tapi sudah lama Den Dewa nggak sepedaan lho, Bapak temani ya," jawab lelaki paruh baya itu kekeuh.

"Nggak usah Pak, Lagian saya nyepedanya santai aja kok Pak, sambil menikmati udara pagi hari," tutur Dewa sopan dengan suara sedikit ngebas khasku.

"Tapi mau hujan lho Den, mendung ini," ucap Pak Joko mengingatkan.

"Nggak apa-apa Pak, justru mendung itu malah jadi tambah syahdu." Dewa pun tertawa renyah.

"Nanti saya kan juga bisa berteduh kalau hujan Pak, ini juga sudah bawa baju ganti kok. Buat persiapan, Pak Joko tenang aja pokoknya."

Dewa lalu memperlihatkan tas ransel miliknya yang berukuran kecil, anti air karena memang didesain khusus peseda, dengan brand yang cukup terkenal.

"Tapi Den, nanti kalau ada apa-apa gimana?" sejak awal Pak Joko memang khawatir, seolah sudah mempunyai feeling.

"Nggak akan terjadi apa-apa Pak, lagian nggak lama kok, paling dua jam an, saya sudah sampai lagi dirumah, Bapak tenang aja ya." Dewa menepuk pundak Pak Joko pelan, meyakinkan lelaki yang telah dianggap seperti orang tuanya sendiri.

"Nanti kalau ada apa-apa kabarin Bapak ya Den."

"Pasti Pak."

Empat puluh lima menit Dewa mengayuh, masuklah ia di jalur yang dulu sering ia lewati. Jalur disepanjang tepi kelokan bukit yang berujung menembus kampung-kampung asri setelah membelah hamparan sawah di kanan kiri.

Ada rasa kangen, dalam hati Dewa, pada warung diujung jalur sawah itu. Setengah Kilometer sebelum masuk ke kampung pertama ada spot dimana di kanan kiri ada sekitar tujuh warung singgah yang dibikin penduduk sekitar untuk menjaring rombongan-rombongan pesepeda yang cukup rame tiap weekend kala itu.

Empat warung di kanan dan tiga dikiri. Komunitas Dewa dulu memfavoritkan salah satu warung yang di kanan, warung nomer tiga. Dan memang Dewa pun sangat kangen dengan suasananya.

Bilik bambu yang setengah dindingnya dibuka saat warung buka, dan ditutup ketika mereka tutup warung. Atapnya pun unik dari daun dan pelepah kelapa yg di atur bersab-sab begitu rupa.

Kali ini Dewa hanya sendiri. Mungkin karena uforia bersepeda sudah habis setengah tahun lalu, Dan saat baru mau masuk jalur sawah itu, gerimis mulai turun. Sekilas tampak beberapa petani masih asik bekerja disawah.

Meski hanya gerimis tapi Dewa merasakan butiran-butiran yang berjatuhan itu makin besar dan banyak. Tak hanya itu saja, kini dibarengi juga dengan angin yg makin kencang dan kilat yg mulai menyambar.

Dewa mengayuh semakin berat karena melawan arah angin. Hujan pun jadi turun semakin deras senada dengang tiupan angin yang makin kencang.

Bahkan arah tiupannya makin acak. Lebih mirip badai. Dewa sudah dekat ke deretan warung-warung itu. Ia tau cuma itu tempat terdekat untuk berteduh, maka ia pun memutuskan berteduh disana dan tetep memilih warung yang membuatnya kangen akan suasananya.

Dewa bener-bener sendirian, tidak ada pesepeda lain maupun warga kampung bahkan semua warung ini dalam keadaan tutup.

"Apa mungkin karena nggak ada lagi rombongan-rombongan pesepeda seperti dua tahun lalu, itu kenapa para pemilik warung sudah nggak buka lagi," batin Dewa saat itu.

Dewa menyandarkan sepedanya asal-asalan dan ia pun sudah berteduh dibagian teras warung yang kelihatan tak lagi terawat ini.

Bajunya yang basah kuyup. Atap warung yang cuma dari daun kelapa pun tak maksimal menahan air apalagi kondisi badai sehebat ini.

Dewa lalu melepas helm, kemudian menanggalkan kaos yang telah kuyup dipakainya untuk mengganti dengan kaos yang Ia bawa dalam tas pinggang mininya.

"Kalau saya ganti kaosnya diteras sama juga bohong, lebih baik saya masuk kedalam warung lebih aman dari tetesan air dari atap, selain itu angin dan hujan juga tertahan oleh dinding jadi akan lebih aman untuk berteduh jika didalam sana," pikir Dewa lagi.

Dewa yakin pintu warung ini tidak di kunci setelah melihat dari kondisi warung gubuk itu. Dan benar saja pintu itu memang tak di kunci, Dewa pun langsung masuk lalu menutup kembali pintu itu berharap angin yang makin kencang dan acak arah hembusnya tetep tertahan dinding bilik.

"Heh kamu siapa mau ngapain?" tiba-tiba suara seorang gadis mengagetkan Dewa.

"Astaqfirullah."

***RI

Dewa terkejut karena mendengar bunyi suara klakson mobil yang memekakan telinga, segera, ia tersadar lalu membanting stir mobilnya ke arah kanan.

"Aaaaaaaaaaaa." teriak seorang gadis disamping Dewa.

Ciaaaaatttt. Dewa dengan kuat menginjak rem mobilnya, hingga seketika membuat mobil yang dilajukannya membelok kekanan lalu berhenti, dan mereka terbebas dari truk gandeng yang nyaris saja menabrak mobilnya.

"Heh! kamu mau kita mati konyol, hem!" seru Gendhis memukul kencang bahu Dewa karena marah.

"Astaqfirullah," ucap Dewa menenangkan dirinya yang mulai panik, jari-jari tangannya gemetar, sedangkan kakinya terasa sangat lemas.

"Kamu ini bisa nyetir nggak sih, kalau nggak biar aku turun disini saja, kalau kamu mau mati, ya sudah mati sendiri saja, nggak perlu ngajak aku," omel Gendhis terus menerus.

"Siapa yang mau mati, Hah! Enak saja kamu kalau ngomong, saya mana tahu kalau ada truk didepan sana."

"Apa! Nggak tahu? Hey, truk segede dosa gitu kamu nggak lihat? ya Allah ... taruh dimana sih mata kamu itu."

"Ya ... ya, saya memang nggak lihat terus kenapa memangnya, masalah buat kamu." teriak Dewa tak terima.

"Ya jelas masalah lah, akibat kecerobohan dan kelalaian kamu itu nyawa aku hampir saja melayang. Coba kalau aku mati, apa kamu mau tanggung jawab!"

"Cukup, bisa diam nggak? pusing saya dengar suara kamu."

Gendhis mengalah, dan menyudahi pertengkarannya dengan lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya, kedua tangannya dilipat kedepan sedangkan bibirnya di moncongkan kedepan beberapa centi.

Melihat Gendhis yang seperti itu malah membuat Dewa merasa bersalah.

"Maaf," ucap Dewa tulus, dengan menurunkan nada suaranya, lembut, lalu membalikkan badannya menghadap Gendhis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status