Share

7. Menjauhlah

"Bunda, berkas di map Papa ma- ... Kenapa, kau lancang masuk kamar kami. Hah!" bentak Ryan menunjuk ke arah Rani. 

"E ... ak- ... maaf," ucap Rani terbata karena dirinya pun terkejut tiba-tiba Ryan masuk dalam kamarnya.

Bergegas dia taruh setumpuk pakaian yang dibawa ke atas ranjang. Lantas dia meninggalkan kamar Felliana. Syukur pintu tadi dia buka, jadi tidak akan timbul prasangka. 

"Ada apa, Pa. Kenapa marah-marah begitu. Rani tadi bantuin bunda angkat pakaian kita yang sudah disetrika mbak Nur." Felliana muncul dari balik pintu kamar mandi.

"Lain kali. Enggak usah suruh masuk kamar kita."

"Papa kenapa, sih. Kok kayaknya benci banget sama Rani. Apa jangan-jangan, Papa sudah kenal ya, dengannya. Atau kalian mantan, ya," tebak Felliana bermaksud mengajak suaminya bergurau.

"Enggak lucu. Yaa Tuhan ... jangan berprasangka yang tidak-tidak. Mas 'kan, pernah bilang tidak pernah pacaran." Ryan memeluk tubuh istrinya.

"Asli. Papa lucu, deh. Sekarang, mudah emosi. Kek perempuan mau PMS saja."

"Bunda, papa mohon sekali. Bisakah perempuan untuk pergi dari rumah ini, kalau Bunda tidak mau kita pindah."

"Papa, yang minta Rani kesini mama. Dan ini rumah mama. Masak bunda main usir. Tamu yang mama undang ke rumahnya."

"Berarti, kita yang harus pindah dari sini," putus Ryan. 

"Entahlah, bunda mulai penasaran. Apa yang membuat Papa begitu membenci Rani. Padahal baru tiga hari Rani berada di rumah ini."

Ryan meraup wajahnya dengan kesal. Dirinya juga tidak paham akan perasaannya. Kenapa bisa membenci Rani. Padahal ia yakini dalam hati. Posisi Rani di hatinya sudah tergantikan oleh Felliana istrinya.

***Rr***

"Astaga, Aku kesiangan!"

Anida melompat dari tempat tidur, saat membuka mata dan jam dinding di kamar tamu menunjukkan angka enam.

Secepat kilat Anida berlari ke lantai atas, menuju kamarnya. Semenjak Rani berada di rumah neneknya. Anida lebih nyaman tidur berdua dengan adik angkat bundanya itu.

Begitu sampai di kamarnya. Bergegas ia masuk ke kamar mandi dan langsung membersihkan diri.

Subuh tadi Rani sudah membangunkan berhubung lagi kedatangan tamu bulanan ia tidur lagi. Padahal hari ini, jadwal UTS terakhir di sekolahnya. 

Setelah mandi, berganti pakaian dan berdandan seadanya, Anida langsung keluar kamar.

"Anida. Kamu gak sarapan dulu?" Felliana bertanya karena Anida melewati meja makan tanpa menyentuh apapun.

"Gak sempat, nanti saja di kantin, Bunda," jawab Anida sambil terus berjalan tergesa menuju teras samping tempat motornya berada.

"Ya sudah, ingat lo, harus sarapan," Felliana mengingatkan putrinya.

"Siap, Bunda!" 

Mereka menghampiri sepeda motor Anida. Tapi, ia langsung menepuk jidat karena kunci motornya ketinggalan di kamar tamu.

"Kak Rani, tolong ambilkan kunci motor. Di meja kamar kita!" teriak Anida dari teras, sempat tadi dia berpamitan. Posisi Rani sedang menyapu di ruang tamu.

"Ya ampun Nida, kayak di hutan. Teriak-teriak gitu. Biar bunda saja yang ambilkan!" omel Felliana sambil geleng-geleng kepala.

"Hehee ... maaf, ya Bunda," Anida nyengir tanpa dosa. Ia sendiri memperbaiki penampilannya, berkaca pada jendela samping rumah.

Rani setengah berlari memberikan kunci pada Felliana. Kemudian melanjutkan pekerjaannya menyapu ruang tamu. 

Anida mengambil kunci motor dari bundanya. Buru-buru menaiki sepeda motor. Namun saat menstarter ternyata motornya tidak mau nyala.

"Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Ada apa dengan motor ini, kenapa gak mau nyala sih? Perasaan kemarin baik-baik saja," Anida dibuat frustasi setelah mencoba berkali-kali, tapi motornya tetap tidak mau nyala.

Ryan keluar sembari membawa tas kerjanya. Menghampiri istri dan putri tirinya.

"Motor kamu kenapa?"

"Oh, ini gak tau kenapa. Tiba-tiba gak mau nyala, Pa."

"Coba papa lihat."

Anida mundur, memberi tempat untuk Ryan mengecek sepeda motornya.

"Pantasan gak mau nyala, spidonya mepet gini. Kehabisan bahan bakar ini."

"Hah, masa sih?" Seakan tak percaya, Anida melongo menatap papanya.

"Emang kamu gak tahu kalau bahan bakarnya habis? Kan kamu bisa lihat di sini."

Ryan menunjuk bagian atas motor. Sedangkan Anida hanya bisa tersenyum malu menyadari kealfaannya.

"Ayo papa antar. Sekalian mampir beli susu buat adik-adikmu."

"Lho, Papa enggak telat meeting kalau harus balik lagi antar susu. Biar nanti, Bunda telpon Umar untuk mampir, dia mau ke sini soalnya."

"Perasaan dari dulu Paman Umar kalau ada Kak Rani senang banget kemari ya, Bund," celetuk Anida membuat Ryan melirik ke arah Rani yang masih meneruskan menyapu hingga teras depan rumah.

"Ya, biarkan saja. Pamanmu lagi PDKT sama kak Rani. Syukur-syukur kak Rani mau nerima pamanmu. Jadi, kak Rani nanti jadi tantemu."

"Asyik!" seru Anida bertepuk tangan. Sekilas Rani memperhatikan ketiganya sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.

Jawaban dari Felliana membuat Ryan mendehem. "Anida minta kak Rani ikut kita. Nanti papa turunkan dia untuk belanja susu kembar. Pulangnya biar naik taksi online."

"Siap. Papa." Anida berlari masuk ke dalam rumah menemui Rani.

Felliana mengernyit, melirik waspada pada suaminya. "Apa maksud papa mengajak Rani. Jangan-jangan mau papa turunkan di jalanan, memintanya pergi dari sini."

"Astaga, Bunda. Itu perempuan memang balita. Yang diturunkan di jalan, enggak ngerti mesti kemana. Janganlah terlalu berburuk sangka pada suamimu. Bukankah, semalam bunda meminta papa melihat sisi baiknya dia. Ini yang sedang papa lakukan."

Tak menunggu lama, Anida dan Rani sudah keluar dari pintu menghampiri mereka berdua.

"Kami berangkat dulu ya, Bun," pamit Anida kedua kalinya seraya salim dan mencium pipi Felliana. 

Demikian juga Ryan berpamitan dengan istrinya. Sedangkan Rani memperhatikan mereka bertiga dengan mengulum senyum manisnya.

***Rr***

Seharusnya Ryan bisa menurunkan Rani dahulu sebelum mengantar Anida. Tapi, ia memilih memutar arah kembali menuju baby shop Queen. Tempat biasanya Felliana belanja keperluan putra-putrinya. 

"Kamu bisa duduk di situ! Untuk menunggu belanjaan anak-anak," perintah Ryan menunjuk bangku yang berada di depan baby shop.

Rani hanya mengangguk. Ryan hanya meliriknya sekilas kemudian masuk ke dalam baby shop. 

Karena masih pagi. Tidak sampai lima menit, Ryan sudah menyerahkan kantong putih berisi empat kaleng susu kepada Rani.

"Ini. Kamu tahu alamat rumah, 'kan. Naik saja taksi online." Ryan melangkah kemudian berbalik mendekati Rani.

"Kamu pasti tahu sejak awal. Aku menantu Bu Ilmi. Karena itu kamu tidak datang saat kami menikah bahkan saat kelahiran kembar. Kalau selama ini kau begitu menghindar bertemu denganku. Kenapa sekarang kau harus menampakkan diri di depanku, Rani?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Ryan.

"Maafkan aku, Mas Ryan."

"Ini untuk maaf yang mana? Tiba-tiba kau menghilang. Hanya mengirim sepucuk surat tidak bisa menerima lamaranku waktu itu. Atau sekarang kau muncul kembali untuk menghancurkan rumah tanggaku." 

"Astaghfirullahal'azim ... Mas Ryan jangan khawatir, besok pagi aku akan pulang. Senin aku sudah harus bekerja." Kali ini Rani memberanikan diri menatap manik mata tajam Ryan. Tatapan yang masih sama tajam bagai elang.

"Menjauhlah. Aku tidak ingin kita bertemu lagi."

☘☘Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status