Share

6. Kenapa Harus Dia

"Ran, kenalkan inilah papanya kembar." Felliana menarik lengan Ryan menghampiri dirinya yang mengerjap, seolah tersadar Rani hanya mengangguk mengulas senyum.

Rani mengatupkan kedua tangan seraya tersenyum. Sedangkan Ryan hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Pandangan mereka berempat tiba-tiba teralihkan dengan gelak tawa Fathiya merangkak ke arah papanya.

"Ulu, ulu anak papa memang ini ya," ucap Bu Ilmi diamini Felliana dan kedua baby sitter yang berada di ruangan itu. 

Umar beranjak dari sofa mendekati mereka. "Tante hari ini masak apa, kalau enak ... aku maulah makan siang di sini. Kalau enggak, izin bawa Rani makan siang di luar ya,"

Melihat sekilas ekspresi Ryan saat berjumpa Rani. Takut menimbulkan canggung pada anak angkatnya, Bu Ilmi memperbolehkan Rani diajak makan siang di luar oleh keponakannya.

"Ya, udah bawa saja Rani makan di luar. Sekalian antar ke mini market membeli keperluan selama tinggal di sini."

"Siap, Nyonya. Titah dilaksanakan!" 

Bu Ilmi mengantar keduanya sampai teras rumah. "Ini buat belanja kamu, Ran. Belilah segala kebutuhanmu selama di sini."

Tangan Rani disalimi oleh Bu Ilmi. Ada beberapa lembar uang seratus terlibat dua ia berikan kepada anak angkatnya itu.

"Kalau sekedar belanja keperluan saya. Uang saya cukup, Ma. Ini enggak perlu."

"Sudah Ran. Trima saja, biar cepat kita jalan," sahut Umar yang telah membukakan pintu depan untuknya.

Akhirnya Rani terima dengan ekspresi wajah sungkan. Dimasukkannya uang pemberian Bu Ilmi ke dalam tas slempang miliknya. Saat menuju ke pintu rumah tadi, ia sempatkan masuk ke kamar tamu, mengambil tasnya. 

"Paman, jam dua sekalian jemput Anida, ya!" seru Felliana keluar dari pintu rumah.

Umar mengacungkan jempol seraya menutup pintu depan begitu Rani masuk dalam mobilnya.

***Rr***

"Maaf, Nak Ryan bila kehadiran Rani kurang berkenan," ucap Bu Ilmi membuka obrolan seraya duduk di sofa ditemani Felliana.

"Kenapa Mama bilang begitu. Perasaan sikap Mas Ryan biasa tadi pada Rani," bisik Felliana pada mamanya.

"Mama perhatikan tadi tidak begitu. Rani langsung kayak canggung gitu, syukurnya Umar sadar situasi. Makanya, dia ajak keluar tadi."

Felliana mengangguk. Ia perhatikan suaminya yang sedang bermain dengan putra-putri mereka. Entah karena terlalu asyik hingga sang suami tidak merespon ucapan dari mamanya.

"Nanti, Liana coba ngomong dengan Mas Ryan, Ma. Sekarang, Mama istirahat dulu di kamar." Bu Ilmi mengangguk, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ditemani Felliana, beliau menuju ke kamarnya untuk istirahat.

Setelah mengantar mamanya. Felliana menemui Ryan di ruang belakang. Sesampai di sana, ia tepuk bahu suaminya itu.

"Pa, kita ke kamar sebentar yuk. Ada sesuatu yang ingin bunda sampaikan."

Ryan mencium kedua pipi kembar sebelum beranjak mengikuti Felliana menuju kamar mereka berdua.

***Rr***

"Rani dan Leo sudah dianggap anak sendiri oleh mama. Jadi, seandainya nanti mereka berdua berada di sini. Aku harap Mas Ryan tidak keberatan."

"Kita tempati rumah kita saja, yuk Bund," ucap Ryan seraya merangkul bahu istrinya. Keduanya duduk di pinggir ranjang.

Felliana menggeleng kepala. "Andai aku tidak sakit. Dengan senang hati, aku turuti keinginanmu ini, Pa."

Felliana menyandarkan kepala pada bahu Ryan. "Ingin rasanya aku menempati rumah yang dibuat oleh suamiku sendiri. Apalagi kita sudah berencana tahun baru kemarin akan pindahan. Tapi, takdir berkata lain. Mama juga aslinya keberatan kalau kita pergi dari rumah ini."

"Maksud mama meminta perempuan itu kemari, apa?" tanya Ryan menghempuskan napas dengan kasar.

"Rani namanya, Pa."

"Terserahlah, siapa namanya."

"Seminggu yang lalu mama mengutarakan keinginannya. Supaya Rani yang merawat anak-anak kita."

Ryan terkejut dengan ucapan istrinya. "Kenapa harus dia, Dik?"

"Maksudnya?" 

Menyadari kebingungan di wajah istrinya. Ryan mencoba menjelaskan penolakannya barusan.

"Semoga ini enggak ada kaitannya dengan permintaanmu kemarin ya, Dik," ungkap Ryan kemudian.

Felliana menggelengkan kepala. "Oiya, berhubung Papa ingatkan. Bunda malah jadi kepikiran. Jangan-jangan maksud mama meminta Rani kemari karena itu."

Felliana termenung, mamanya menasehati untuk tidak gegabah meminta Ryan menikah lagi. Kenapa, meminta Rani merawat anak-anaknya. Apakah mamanya memiliki gambaran ke depan, bagaimana jalan rumah tangganya. Seperti saat dulu menyodorkan foto Ryan untuk mempertimbangnya menjadi suaminya kala itu.

Bu Ilmi dan nenek Ryan berteman baik karena dulu pernah terjalin kerjasama antara suami keduanya. Hingga terbesit keinginan mereka menjodohkan Ryan dan Felliana empat tahun yang lalu. Ryan yang ingin move on dari sakit hatinya. Membuka hatinya menerima lamaran keluarga Ismail untuk menikahi Felliana. Seorang dokter, janda mati dengan seorang putri berusia tiga belas tahun. Perbedaan usia sepuluh tahun diantara keduanya. Tidak menyurutkan niat keluarga Ismail melamar Ryan waktu itu.

Pikiran Ryan berkecamuk. Mencoba menerka maksud kedatangan Rani di kediaman mama mertuanya. Kemudian ia hubungkan dengan sakit istrinya. Permintaan menikah lagi dari Felliana, dua minggu yang lalu.

"Dari sekian perempuan. Kenapa harus dipertemukan lagi dengannya, Tuhan." 

***Rr***

Sore hari selepas salat Ashar. Felliana menemui mamanya di taman belakang rumahnya. Kebetulan tadi dilihatnya, Rani diajak pergi oleh putrinya Anida. Jadi, menurutnya ini waktu tepat bertanya kepada mama tentang kedatangan Rani. Apakah sesuai dengan asumsi Ryan.

"Ma, kalau aku tanya tentang hal ini. Mama jawab dengan jujur, ya."

Felliana menggenggam kedua tangan mamanya. Keduanya duduk menikmati semilirnya angin sore hari.

"Iya, katanya saja, Sayang."

"Apakah kedatangan Rani kemari untuk menjadikan dia maduku, Ma?"

Pertanyaan Felliana bernada ketus, ada rasa cemburu dan sedikit kecewa apabila tebakan suaminya benar. Secepat itu mamanya bertindak tanpa memperdulikan perasaannya.

Bu Ilmi menepuk punggung tangan putrinya. "Sayang, saat kau bercerita sakitmu. Hampir tiap malam, mama tidak bisa tidur. Salah besar, jika kamu berpikir mama tidak memperdulikan perasaanmu. Terserah kalau semua orang menilai mamamu ini egois. Tapi, mama mencoba realistis, Nak." 

Bu Ilmi memejamkan matanya, buliran bening itu berjatuhan dari kedua matanya. 

"Maksud Mama apa?"

"Lihatlah mama. Kamu hitunglah, sekiranya berapa lama lagi jatah mama berada di dunia ini. Saat kau melahirkan kembar, itu momens yang sangat membahagiakan bagi mama. Kau mendapatkan pendamping hidup yang tepat, anak-anak yang sehat, hidup yang berkecukupan. Tenang rasanya, jika mama pergi meninggalkan kalian waktu itu.

Tapi, saat takdir berkata kau mendapat cobaan lewat penyakitmu itu. Jujur, mama tidak peduli bagaimana tentang suamimu. Yang mama pikirkan, siapa yang akan merawat kembar saat kita berdua pergi selamanya."

"Mama akan panjang umur, memilihkan jodoh terbaik untuk Anida. Seperti yang mama lakukan untukku."

Bu Ilmi tersenyum. "Umur mama tahun ini, InsyaaAllah 65 tahun, Sayang. Tidak mungkin bukan, mama abadi hidup di dunia fana ini."

Felliana memeluk mamanya. Terkadang ia berfikir mamanya akan selalu ada di sisinya hingga nanti. Setiap mengambil keputusan penting dalam hidupnya, Bu Ilmi orang pertama yang akan dimintai pendapat. Kesehatan mamanya yang mulai menurun akhir-akhir ini membuatnya takut, melebihi saat ibunya mengalami stroke tujuh tahun yang lalu.

"Kamu pasti tidak akan lupa bagaimana ketulusan Rani merawat mama. Berapa kali kau jumpai perawat yang hanya baik di depanmu. Sedangkan seenak hati memperlakukan mama yang tidak bisa apa-apa waktu itu. Satu tahun Rani telaten merawat mama yang jadi bunga ranjang.

Kamu juga bisa melihat tadi, Fatih langsung mau bersamanya. Jiwa bayi itu suci, mereka bisa merasakan ketulusan dari orang lain. Sekali lagi, mama tegaskan. Kehadiran Rani di rumah ini. Untuk kedua bayimu. Bukan menjadi madumu. Kamu bisa tenang menjalani pengobatan didampingi oleh Ryan. Tanpa wawas memikirkan anak-anakmu. Karena sudah ada Rani yang mengurus mereka." 

Tanpa keduanya sadari, seseorang tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Orang tersebut adalah Umar. Sebenarnya ia tadi hendak pamit pada tantenya, berjalan mengendap untuk mengejutkan sang tante. Namun, yang terjadi dirinya yang dibuat terkejut mengenai maksud kedatangan Rani di rumah Bu Ilmi.

โ˜˜โ˜˜Next ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status