Celine berjalan tegak memasuki gedung perkantoran itu. Bangunan mewah, megah yang menjulang di tengah congkaknya ibu kota.
Awalnya, dia ragu datang ke tempat itu. Namun, tekad di dadanya sudah bulat. Semua harus selesai hari ini. Kelangsungan hidup mereka berada di tangan manusia yang akan ditemui nanti.
Beberapa kali dia mencoba menghubungi lelaki itu melalui telepon, tetapi tidak direspons. Sungguh luar biasa sibuknya dia, sampai membalas chat-nya pun tak sempat.
Celine menatap sekeliling. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?"
Seorang resepsionis bertanya kepadanya. Wanita itu nampak cantik dengan dress kerja yang sangat formal, juga rambut yang digelung rapi. Aroma tubuhnya begitu harum dengan dandanan yang natural.
"Saya ingin bertemu dengan Kak Bisma. Bisa?" tanya Celine ragu.
"Oh Mr. Bisma. Apa sudah ada janji?" Resepsionis bertanya dengan penuh selidik.
Biasanya tamu yang ingin bertemu dengan bos di kantor memang harus membuat janji terlebih dahulu. Mereka juga berpakaian rapi dan bersih, bukan gembel seperti penampilan Celine sekarang.
"Belum," jawab Celine sembari menggeleng lemas.
"Katakan saja padanya, Celine mau ketemu," lanjutnya gelisah. Tangannya berkeringat dingin sedari tadi karena gugup. Dia harus bertemu Bisma hari ini. Harus!
"Maaf, ya. Mbak ini ada urusan apa dengan Bapak Bisma? Beliau tidak bisa ditemui oleh orang sembarangan. Apalagi yang tidak berkepentingan."
Resepsionis itu memandangnya dari atas sampai ke bawah. Maklum, saat ini Celine hanya memakai seragam kerja dan belum sempat berganti pakaian yang lebih pantas karena tidak keburu waktu lagi. Make-up nya bahkan sudah luntur sejak dia menaiki ojek online saat berangkat ke sini.
"Emmm ... itu urusan saya dengan Bisma. Mbak gak usah ikut campur," jawabnya ketus. Hatinya mulai dongkol.
"Bapak Bisma hanya bisa ditemui oleh klien penting. Kalau Mbak cuma mau mengantarkan barang, lebih baik dititipkan kepada saya."
Resepsionis itu tersenyum manis sekali, walaupun kata-katanya sangat menusuk.
Celine terbawa emosi mendengarnya. Rasanya ingin mencabik-cabik mulut wanita ini. Namun, dia tetap berpikiran jernih, kemudian menarik napas panjang.
Tenang Lin, demi anak-anak. Kamu gak boleh baper, ucap suara hatinya.
"Saya memang hanya pegawai mini market biasa. Tapi percayalah, Bisma pasti mau ketemu kalau dia tau siapa yang datang," jelas Celine lantang, padahal dalam hati sedang menahan letupan amarah yang ingin bergejolak.
Resepsionis itu mencibirnya. Bibirnya menekuk seakan mengejek. Matanya melirik tidak senang, memberi kode kepada security supaya datang menghampiri mereka.
Seorang security datang menghampiri mereka lalu berdiri di sebelah Celine. Dia berbisik dan bertanya kepada resepsionis apa yang sedang terjadi.
"Ini ada mbak-mbak kasir mau ketemu Pak Bisma. Belum bikin janji lagi," kata resepsionis mengadu.
Security itu menatap Celine dengan lekat. Cantik, itulah pandangan pertamanya.
Celine membalas lirikan itu. Tampilan security itu sangar dengan tubuh tinggi dan tegap. Kulitnya hitam pekat dengan kumis yang tebal. Agak menakutkan sebenarnya. Namun, semua prasangka terhadapnya seketika runtuh saat dia berkata ....
"Ya udah. Kamu sambungkan aja. Mana tau memang benar," katanya.
Celine terbelalak saat mendengar itu. Suara security itu begitu lembut dengan tutur kata yang sopan. Seketika dia menjadi respek akan sikapnya.
"Tolong sambungkan saja, Mbak. Ini penting," kata Celine tegas. Matanya setengah melotot. Urat lehernya sudah hampir tertarik karena kesal. Eh, sejak tadi malah diacuhkan.
"Tapi--"
"Sudah, coba saja dulu. Kalau memang pak bos gak kenal, nanti biar saya antar mbak ini keluar."
Setelah mengucapkan itu, security tadi memilih pergi dan berjalan keluar. Resepsionis itu pun mulai men-dial beberapa angka.
"Baiklah, saya akan sambungkan dengan sekretaris Pak Bisma. Mbak tunggu bentar. Duduk saja dulu."
Tangan lentik resepsionis itu menunjuk sebuah sofa di dekat mereka. Kemudian mengetuk-ngetuk meja sambil menunggu panggilan tersambung.
Celine menunggu dengan sabar, meletakkan tubuhnya di sofa lembut, yang membuat matanya seketika ingin terpejam. Rasanya ini lebih empuk daripada kasur di rumah panti asuhan mereka.
Celine memperhatikan setiap bagian dari ruangan dari lantai satu gedung ini. Dia sendiri tidak tahu di mana ruangan Bisma. Satu hal yang pasti, bahwa mereka harus bertemu hari ini. Nasib anak-anak asuhnya tergantung dari kesepakatan nanti.
Entah nanti Bisma bersedia atau tidak. Dia hanya mencoba mencari peruntungan. Pada siapa lagi dia bisa berharap? Keajaiban pun sepertinya tak mau berpihak pada mereka.
"Mbak Celine."
Mendengar namanya dipanggil, Celine segera mendekat.
"Gimana?" tanyanya dengan penuh harap.
Tolong, Bisma. Temui aku hari ini, doanya dalam hati.
"Maaf, hari ini Pak Bisma tidak bisa ditemui. Beliau lagi ada meeting dengan klien dari Jepang. Mbak diminta datang lagi besok. Ini saya buatkan janji pukul tiga sore," jelas Resepsionis. Ketika melihat raut wajah Celine berubah kecewa, diam-diam dia tersenyum senang.
Rasanya Celine menjambak rambut si resepsionis yang tergelung rapi itu, karena sejak tadi tersenyum mengejeknya. Wanita itu kesal setengah mati, tetapi harus tetap tenang dan bersabar. Dia tidak mungkin mengamuk di tempat umum.
"Tolong bilang lagi sama Pak Bisma. Ini penting!" bentak Celine. Ada penekanan pada kata terakhir yang dia ucapkan. Sebenarnya itu menunjukkan kemarahannya, hanya saja tidak kasar.
Melihat itu, si resepsionis dengan cepat me-redial angka-angka tadi.
"Se- se-bentar, saya sambungkan ulang," ucapnya terbata.
Celine yang mengetukan jari di meja. Gesture tubuh kentara sekali menunjukkan bahwa dia sedang gelisah.
"Mbak. Ini Pak Bisma mau bicara langsung. Saya sudah sambungkan," katanya dengan ketakutan. Jangan sampai Celine mengamuk, bisa selesai masa kerjanya di sini karena dianggap tidak sopan kepada tamu yang datang.
Celine langsung menyambar gagang telepon begitu panggilannya tersambung.
"Halo, Kak Bisma. Aku mau bicara sama kakak sekarang. Bisa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Sorry, Lin. Saya sibuk hari ini." Terdengar suara berat seorang pria dari seberang sana.
"Sebentar saja. Boleh, ya? Ini udah terlanjur izin," mohon Celine. Wanita itu masih mencoba bernegosiasi agar keinginannya terkabul.
"Tadi sudah dibuatkan janji untuk besok. Jam tiga sore, kan?" jawab Bisma.
"Iya, tapi--"
"Aku gak bisa sekarang. Maaf, ya. Ada urusan yang lebih penting--"
Suara Bimsa terputus saat tiba-tiba saja ....
"Apakah kelangsungan hidup anak asuhku gak penting buat kakak?" bentaknya dengan geram.
Dada Celine bergemuruh karena amarah. Emosi yang sedari tadi dia tahan karena perlakuan si resepsionis tadi, seketika membuncah setelah mendengar ucapan Bisma.
Melihat gaya bicara Celine kepada bosnya yang sedikit galak, membuat si resepsionis semakin ketakutan. Dia melambaikan tangan dan kembali memanggil security.
"Oh, tentu saja Pak Bisma. Panti asuhanku gak berharga sama sekali buat kamu! Gak menghasilkan banyak uang, begitu?"
"Bukan begitu--"
Tut!
Sambungan telepon terputus. Celine menutup gagangnya dengan kasar. Dia keluar dengan menghentak-hentakkan kaki, meninggalkan si resepsionis dan security yang terbengong menatapnya tak percaya. Wanita itu bahkan tidak perduli ketika beberapa orang berbisik-bisik membicarakannya.
Dalam hati mereka bertanya, kenapa Bisma yang terkenal eksklusif itu mau menerima telepon dari perempuan biasa yang tidak jelas asal-usulnya, memakai seragam mini market lagi. Gunjingan mulai merebak ke mana-mana. Mereka menerka-nerka dengan rasa penasaran yang cukup tinggi.
Sementara itu, Bisma tertawa terbahak-bahak sembari menutup panggilan. Matanya menatap ke arah CCTV yang terpajang di meja kerja. Sedari tadi sebenarnya dia sudah memantau apa yang terjadi di lantai dasar. Ketika Celine datang dan berbicara dengan karyawannya, lalu marah-marah tidak jelas.
"Kamu masih sama seperti yang dulu, Celine. Cantik, seksi, dan sangat menggoda. Aku hanya perlu sedikit bersabar untuk mendapatkanmu."
Bisma tersenyum menatap sebuah gambar di tangan. Perlahan diusapnya foto usang itu, kemudian menciumnya dengan lembut seperti orang gila.
"Sedikit lagi, Sayang. Kamu akan jadi milikku."
Bisma mengepalkan tangan. Rasanya dia sudah tidak sabar. Namun, semuanya harus berjalan sesuai rencana. Seperti sesuatu yang mengalir apa adanya. Padahal semua sudah di setting dengan baik olehnya.
Senyum kembali melengkung di bibir Bisma saat membayangkan kemenangan di depan mata. Kemenangan untuk mendapatkan Celine sang pujaan hati.
Apa tidak bisa didapatkan oleh seorang Bisma? Hanya tinggal menjentikkan jari dan semua akan menjadi miliknya. Setan pun ikut tertawa jahat.
Baca ceritaku yang lain. Permintaan Terakhir Papa. Sir, I'm Married dan Bawang Merah Bawang Putih.
Beberapa tahun yang lalu. Dua orang itu duduk berhadapan dengan canggung. Segelas minuman dan beberapa cemilan menjadi teman mereka saat berbincang. Si lelaki menatap si gadis dengan mata berbinar, sedangkan yang ditatap malah menjadi takut, seperti sedang terjebak ke dalam kandang singa. "Maaf, Kak. Aku belum bisa," tolaknya halus. Celine tidak bisa menolak lelaki ini dengan kasar. Selain berkuasa karena ayahnya pemilik yayasan di universitas ini, Bisma adalah seniornya. Sedangkan dia mahasiswa baru di tahun pertama. "Kenapa?" Bisma menatap Celine dengan wajah kecewa. Belum pernah seumur hidupnya dia ditolak oleh wanita, sehingga merasa harga dirinya sedang diinjak-injak. &nb
Rumah itu nampak asri dengan halaman yang luas. Banyak pohon-pohon rindang yang sengaja ditanam oleh pemiliknya. Sebagian adalah pohon buah-buahan yang bisa dipanen jika sudah waktunya tiba. Bentuk atap rumah itu menyerupai pelana yang dilipat. Jika di lihat dari samping, maka lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya. Orang Betawi menyebutnya Rumah Kebaya. "Assalamualaikum. Abah Ummi, Elin datang, nih," ucap Celine saat mengetuk pintu. Tak lama keluarlah seorang lelaki separuh baya menyambut kedatangannya. "Waalaikum salam, Neng," jawab Abah sembari menyuruh Celine masuk. "Ummi mana, Bah?" Celine meraih tangan Abah kemudian menciumnya sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. "Ke pasar. Biasa belanja. Tau dah nyari apaan." Mereka berdua duduk berhadapan. Teras rumah ini memang luas. Abah dan Ummi biasa mengggunakannya untuk menjamu tamu atau menjadi tempat bersantai keluarga. "Ummi rajin ya, Bah." "Daripada bosan di rumah. Neng ngapain datang dima
"Lin. Pak Broto datang lagi tuh. Nyariin kamu." Siska mendatangi Celine di belakang. Dia meninggalkan kerjaannya di depan dan meminta karyawan lain untuk menggantikannya sebentar.Celine sedang menyusun beberapa barang di gudang. Setahun terakhir, dia meminta kepada HRD untuk dipindahkan ke posisi ini, supaya tidak bertemu banyak orang. Dia memang cantik, jadi banyak pembeli lelaki yang suka menggoda.Penampilannya sederhana, tapi paras ayunya tidak bisa menipu. Sekali pun hanya memakai seragam karyawan, banyak lelaki yang menyukai. Karena itulah, mini market ini menjadi ramai sejak dia bergabung.Lagipula menjadi kasir berisiko tinggi. Melihat uang matanya langsung hijau. Apalagi tanggungannya banyak. Kalau di bagian gudang, dia bisa sambil mengecek barang-barang
Seorang wanita cantik membukakan pintu ruangan saat Celine tiba di lantai lima gedung bertingkat kantor Bisma."Pasti ini sekretarisnya." Dia menduga seperti itu. Ada sedikit rasa minder salam hatinya saat melihat penampilan wanita itu. Seragamnya pastilah mahal, terlihat dari jahitan yang halus dan bahan yang bagus. Sedangkan yang dia pakai hanya pakaian biasa.Selain itu, terlihat berkelas dengan beberapa perhiasan yang melekat di tubuhnya. Baunya harum parfum entah merek apa dan lekuk yang seksi.Tanganya bergerak mengambil sesuatu di dalam tas. Menyemprotkan sedikit parfum di sekitar dada dan lengan. Setidaknya, walaupun hanya berpenampilan biasa, dia masih tercium harum saat bertemu Bisma."Silahkan masuk, Mbak. Mr. Bisma sudah menunggu di dalam."Lamunannya terhenti. Dengan cepat dia masukkan botol parfum murahan itu ke dalam tas. Sekilas teringat akan pertemuan pertama dengan lelaki itu. Semoga kali ini berhasil dan Bisma bersedi
Tiga orang duduk di beranda rumah sambil menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Mendengarkan burung yang berkicau di dahan pohon. Menikmati semilir angin yang sejuk.Celine, Abah dan Ummi. Duduk di teras rumah sambil berbincang-bincang."Maapin ummi sama abah ye, Neng. Ntu panti jadi dijual. Lu pan tau si Juki banyak utang. Mana bininya mau lahiran lagi."Abah diam dan mendengarkan istrinya berbicara, sambil tangannya memilin kumis. Rambutnya sudah memutih semua, tapi kumisnya masih tetap saja hitam."Iya, Mi. Ga apa-apa. Elin ngerti, kok."Gadis itu duduk berhadap dengan mereka. Sudah biasa dia di sini. Sudah seperti rumahnya sendiri. Abah dan ummi memang baik sekali pada dia dan anak asuhnya.Beberapa tahun terakhir ini, dia bersama anak-anak memang mendiami salah satu rumah mereka untuk tinggal.Celine sungguh beruntung bertemu dua orang tua ini. Mereka tak se
Aku menghempaskan diri di kasur. Tanganku terulur mengambil tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat."Banyak amat, Neng. Duit dari siapa?" Bik Onah duduk mendekatiku.Aku sedang menghitung uang yang diserahkan Ummi tadi sore. Aku selalu melakukannya di kamar setelah semua anak-anak tertidur. Rahasia dapur biarlah aku saja yang mengetahuinya."Dari Ummi sama Abah. Uang hasil jual ini panti Bik, dibagi buat anak-anak."Bik Onah terdiam. Raut wajahnya terlihat sedih. Jika panti ini dijual dan kami tidak dapat tempat pengganti, bagaimana nasib ke depannya. Dia sudah tidak punya keluarga. Akulah satu-satunya harapan tempat dia bernaung.Sejak awal dia bersama kami, dia sudah menyerahkan hidupnya. Aku berjanji akan merawatnya di sisa usia, menemaninya sampai senja. Menganggap dia sebagai orang tua sendiri.Simbiosis mutualisme.Aku mulai menghitung satu persatu. Mataku segar melihat uang merah berlembar-lembar di hadapanku. Dunia serasa hidup k
Celine menatap sekeliling ruangan itu. Terakhir kali dia bertamu ke sini suasananya sudah berbeda. Sekarang terlihat lebih mewah. Wallpapernya berbeda motif. Ada sofa baru terletak di sudut dan menempel di dinding.Ada pot bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Satu hal yang paling mencolok, foto Bisma bersama keluarganya yang dibingkai indah dengan ukuran ekstra, bepat berada di belakang meja kerja lelaki itu.Jika Bisma duduk, foto itu akan terlihat melatar belakangi meja kerja. Kontras sekali dengan pemandangan indah di yang berada seberangnya. Kaca transparan yang memperlihatkan sibuknya ibu kota jika dilihat ke bawah.Di foto, istri Bisma terlihat anggun dan berkelas, itu terpancar dari gestur tubuh dan penampilannya . Sekalipun memakai gaun dengan model sederhana, wanita itu tetap saja cantik. Harganya pasti mahal, sesuai dengan isi dompet orang yang memakainya."Ehem." S
Hari ini resmi mereka pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu. Mereka harus tahu diri, hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir."Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Dia menunjuk-nujuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Dari pagi sampai sore, memutari kota dari ujung ke ujung. Mencari yang tidak terlalu jauh dari tempat kerja, tapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya. Mereka sengaja menukar hari off-nya supaya bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.Dia memohon-mohon kepada pemilik rumah aga