Duar!
Sebuah ledakan kecil terjadi. Sihir Azura berhasil mengenai satu pohon besar di depannya tanpa menumbangkan pohon tersebut.
“Hah.”
Azura menghela napasnya sejenak.
‘Tubuhku tidak lemas seperti tadi,’ kata Azura di dalam hati.
“Hebat! Kau hebat Azura! Kau sudah bisa mengendalikan mana dan power sihirmu,” ujar Camari.
“Itu semua karena kau, Camari.” Sahut Azura sambil tersenyum lebar.
Camari menggelengkan kepalanya. “Tidak, itu semua karena kerja keras dan kemampuanmu.”
Bruk!
Azura seketika memeluk Camari.
“Ah Camari, kau begitu lembut dan baik hati. Berbeda sekali dengan burung jantan yang super menyebalkan itu,” ucap Azura.
“Hehe, terima kasih pujiannya,” seloroh Camari.
“Woy Azura buruk rupa! Aku masih bisa mendengar kata-katamu ya!” teriak Camaro dari ketinggian.
“Berisik kau burung gemuk!” Cibir Azura sambil melepaskan pelukannya.
Aum!
Tiba-tiba terdengar suara hewan yang familiar bagi Azura.
“Camari, apa kau dengar sesuatu?” tanya Azura.
Camari menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.
“Hei Camari, Azura, cepat pergi!” seru Camaro dari ketinggian.
“Memangnya ada apa?” tanya Azura.
Aum!
Seekor harimau muncul dari balik semak. Terlihat matanya yang membulat sempurna, seakan bersiap menyantap daging lezat di depannya.
Glek!
Azura tertegun dan mematung.
“Azura, lari!" Bisik Camari yang perlahan-lahan mengepakkan sayapnya.
“Ba-ba-bagaimana caranya? Pasti lari harimau itu lebih kencang, kan? Aku bisa diterkam,” keluh Azura.
“Azura bodoh! Pakailah sihir!” teriak Camaro dari atas pohon.
“Kau yang bodoh Camaro! Kau saja baru mengajarkanku sihir penyerangan tingkat dasar,” sahut Azura.
Aum!
Harimau itu perlahan-lahan berjalan mendekat ke Azura dan Camari.
‘Aku harus bagaimana?’ tanya Azura di dalam hati.
“Azura, aku duluan ya.” Kata Camari sambil terbang ke atas.
“He-hei Camari, tunggu!” seru Azura, tetapi Camari tidak menghiraukannya.
Azura perlahan melangkah mundur.
“Ha-hai harimau, kau bisa bicara, bukan?” tanya Azura.
Aum!
Harimau itu hanya mengaum.
“Hei Azura bodoh! Harimau itu tidak mengerti bahasamu!” teriak Camaro dari kejauhan.
“Kau ini! Berhentilah mengoceh!” seru Azura.
Aum!
Harimau itu melompat ke arah Azura, tetapi dengan cepat Azura bisa menghindarinya.
“Ini sih boro-boro aku melawan raja iblis, melawan harimau saja sudah berdebar-debar setengah mati,” gerutu Azura.
“Berhenti mengeluh gadis bodoh! Pikirkanlah sesuatu!” seruan Camaro yang terdengar samar.
‘Pikirlah Azura, pikir,’ kata Azura di dalam hati.
Brak! Aum!
Harimau itu lagi-lagi mengambil kesempatan untuk menerkam Azura
Bruk!
Azura masih bisa menghindari serangan harimau, meski ia terjatuh.
“Sial, aku bisa mati di sini,” umpat Azura.
Aum!
Harimau itu menatap Azura sambil mengeluarkan liur yang cukup banyak.
“Baiklah, aku akan mencoba.” Kata Azura seraya beranjak berdiri.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball.” Ucap Azura sambil mengeluarkan sihir bola cahaya putih ke arah harimau itu.
Syu! Set! Duar!
Harimau itu dengan cepat menghindari sihir.
“Sial,” geram Azura.
Aum!
Harimau itu mengambil ancang-ancang untuk menyerang Azura kembali.
‘Camari bilang, sihir itu sesuai kemauan hati. Apakah aku bisa menciptakan sihir sendiri?’ tanya Azura di dalam hati.
Aum! Srak!
Harimau itu melompat ke arah Azura, tetapi Azura dengan cekatan melompat untuk menghindarinya.
“Aku akan mencoba lagi,” gumam Azura.
Aum!
Pandangan harimau itu mengisyaratkan bahwa ia sudah habis kesabaran untuk menghadapi Azura.
‘Pikirkan sihir untuk berlari!’ tekad Azura di dalam hati.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus sun light run.”
Seketika tubuh Azura dikelilingi cahaya putih.
‘Aku berhasil! Aku merasa lebih ringan,’ kata Azura di dalam hati.
Wush!
Azura berlari menjauh dari Harimau itu dengan cepat.
Srak!
Tiba-tiba Azura menghentikan langkah kakinya.
“Ternyata benar kata Camari, aku bisa mengendalikan sihir sesuka hati,” ucap Azura.
Aum!
Dari kejauhan terlihat harimau itu berlari menuju Azura.
“Kali ini, aku bisa pakai sihir penyerangan tingkat dasar. Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus white light ball.” Teriak Azura sambil mengarahkan tangannya ke harimau itu.
Syu! Gubrak!
Sihir Azura berhasil mengenai harimau dan menghempaskan hewan berbulu itu hingga menabrak pohon besar.
“Syukurlah, aku berhasil.” Kata Azura sambil tersenyum lebar.
“Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatanmu. Elemenzeus sun light run,” ucap Azura.
Azura kembali menggunakan sihir berlari yang baru saja ia ciptakan untuk menjauh dari harimau itu.
***
“Husy. Husy.”
Azura bersandar ke batang pohon besar sambil mengatur napasnya.
“Meski aku bisa mengontrol mana, tetapi menggunakan sihir berlari melelahkan juga,” ucap Azura.
“Azura!” terdengar suara Camari dari ketinggian.
Azura pun mengadahkan kepalanya. Terlihat Camaro dan Camari yang perlahan turun mendekatinya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.
Belum sempat Azura menjawab pertanyaan Camari, tetapi Camaro lebih dulu menyanggahnya. “Untung saja kau tidak mati diterkam harimau.”
“Diam kau burung jantan menyebalkan!” teriak Azura kepada Camaro.
“Azura, apakah kau menciptakan sihir baru?” tanya Camari.
Bruk!
Azura menyilangkan kakinya, lalu menatap kedua burung di depannya.
“Iya, aku menciptakan sihir untuk berlari,” jawab Azura.
“Hebat! Kau sangat hebat!” puji Camari.
“Heleh, biasa saja. Cuma sihir tingkat dasar itu mah,” sahut Camaro.
Pluk!
Azura melemparkan batu kerikil ke kepala Camaro.
“Woy Azura bodoh! Mengapa kau menimpukku?” teriak Camaro.
“Mingipi kiu minimpikki.” Cibir Azura sambil memeragakan ekspresi Camaro.
“Dasar kau ini!” Teriak Camaro yang berusaha memukul Azura, tetapi Camari menghalaunya.
“Sudahlah Camaro, sabar!” seru Camari.
“Cih.” Umpat Camaro sambil membelakangi Azura dan Camari.
“Hah.”
Camari menghela napasnya sejenak.
“Omong-omong, mengapa ada harimau yang menyerangku?” bingung Azura.
“Wajar saja, lagi pula ini di hutan,” sahut Camaro.
“Hei Camaro, bukankah itu perbuatanmu?” Tanya Camari sambil menggoda Camaro.
“Apa? Perbuatan Camaro? Jadi, harimau itu disuruh Camaro untuk menyerangku?” Azura dengan kaget memastikan kebenarannya.
Camari menganggukkan kepalanya. “Iya, perbuatan Camaro.”
“Camaro!” Azura berteriak dengan penuh emosi.
“A-ah, Azura tenanglah!” seru Camari.
Azura mengumpulkan beberapa batu kerikil dan bersiap untuk menyerang Camaro secara beruntun.
“Hei Camaro, minta maaflah!” Seru Camari sambil menggoyang-goyangkan tubuh Camaro.
“Hah, baiklah. Aku minta maaf,” ucap Camaro.
“Seenaknya sekali kau minta maaf setelah membuat nyawaku terancam!” Teriak Azura sambil melemparkan batu kerikil ke arah Camaro.
“Azura, tenanglah!” Seru Camari sambil menghalau serangan Azura.
Plak!
Camaro dengan kencang menendang kepala Azura.
Gubrak!
Azura pun terjatuh menabrak pohon.
“Hei Camaro, mengapa kau lakukan itu?” tanya Camari dengan panik.
“Cih, habisnya perempuan itu tidak bisa tenang,” jawab Camaro.
“Aku tidak mungkin bisa tenang setelah kau berniat membunuhku!” sahut Azura.
“Aku tidak berniat untuk membunuhmu bodoh,” ujar Camaro.
“Lalu apa?” Azura memaksa jawaban dari Camaro.
Camaro pun terdiam.
“Jangan diam, Camaro!” paksa Azura.
Azura dan Camaro terlibat kontak mata yang sangat tajam.
“Hei kalian, tenanglah,” lirih Camari.
***
Camaro berjalan mendekati Azura. “Mau apa kau? Aku pukul nih!” Ancam Azura sambil mengangkat sebuah batu besar. “Aku minta maaf.” Kata Camaro sambil mengulurkan sayap kanannya. “Cih, tidak mau!” Tolak Azura sambil memalingkan wajah. “Hah.” Camaro menghela napas berat. “Azura, maafkanlah Camaro! Kau harus mendengarkan alasannya dulu. Aku yakin Camaro tidak berniat jahat kepadamu,” bujuk Camari. Azura melirik Camaro dengan sinis. “Ayo dong Azura, berdamai ya! Aku mohon!” Camari membujuk Azura dengan lembut. “Hah, baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu.” Ucap Azura sambil membalas uluran sayap Camaro. Camaro pun tersenyum tipis. “Tapi kau harus jelaskan apa tujuanmu melakukan itu!” Seru Azura sambil melepaskan sayap Camaro. “Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu.” Ujar Camaro sambil duduk di depan Azura. Meskipun Azura sudah memaafkan Camaro, tetapi matanya masih sinis menatap Camaro. “Aku pernah mendengar bahwa ketika manusia merasa terdesak, maka ia akan mengeluarkan sel
“Elemenzeus fire ball.” Teriak Azura sambil menyerang Camaro yang terbang di ketinggian.Syuu! Syuu!Camaro dengan lincah berhasil menghindari serangan Azura.“Ha ha, kau masih belum bisa mengenaiku,” cibir Camaro.“Cih, bodo ah. Terserah kau saja!” Umpat Azura sambil terduduk dan bersandar di batang pohon besar.“Istirahat saja dulu,” ujar Camari.“Iya memang, melelahkan sekali,” sahut Azura.“Hei Azura, berhentilah bermalas-malasan!” Seru Camaro sambil terbang mendekati Azura.‘Apa sih, dasar burung camar menyebalkan.’ Umpat Azura di dalam hati sambil menatap tajam Camaro.“Sudahlah Camaro, biarkan Azura beristirahat dulu,” kata Camari.“Heleh, kemampuan masih lemah begitu kok malah sering beristirahat,” gerutu Camaro.“Tolong! Tolong!”Tiba-tiba Azura mendengar teriakan seseorang dari kejauhan.“Hei Azura, ada apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.“Kalian dengar tidak?” tanya balik Azura.“Dengar apa? Tidak ada suara apa-apa,” jawab Camaro.“Aku mendengar ada teriakan minta
“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”Azura
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
Azura terduduk di sebuah sofa abu-abu sambil memperhatikan sekelilingnya.‘Mengapa aku bisa ada di sini? Tugasku adalah menemukan guru sihir, bukan terlibat konflik kerajaan,’ kata Azura di dalam hati.“Selamat sore, Nona.” Sapa seorang pria berpakaian hitam yang lengkap dengan berbagai atribut khas kerajaan.“S-so-sore.” Ucap Azura seraya berdiri dan membungkukkan tubuhnya selama beberapa saat.“He he, senang bertemu denganmu. Silahkan duduk!” seru pria itu.Azura hanya menganggukkan kepalanya dan kembali duduk di kursi abu-abu.“Hah.” Sejenak pria itu menghela napasnya, lalu bersilang kaki dan terduduk santai.‘Siapa dia sebenarnya? Kalau dilihat-lihat dia mirip sekali dengan Elen,’ pikir Azura di dalam hati.“Ah ya. Maaf aku sampai lupa. Perkenalkan, aku Elzenath Damon.” Kata pria itu sambil tersenyum tipis.“Damon…,” lirih Azura.“Ha ha, iya itu nama ayahku. Apakah aku terlihat tidak mirip dengannya?” Pria bernama Elzenath itu bertanya sambil tertawa kecil.Azura dengan cepat meng
Seketika suasana hening. Sinar jingga menyusup masuk dan membiaskan tubuh Azura dan Elzenath.“Yah, kalau begitu, aku akan memanggil Elenio,” ujar Elzenath.Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.“Aias, tolong bawa Elenio masuk!” teriak Elzenath.Brak.Elenio dengan cepat masuk ke dalam ruangan.“Hei Aias, berhenti memegangku!” seru Elenio.“Maaf Pangeran Zenath, saya telah membawa Pangeran Elenio,” ucap Aias.Elzenath menganggukkan kepalanya, lalu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk pintu ruangan tanpa berkata apa pun.“Baik Pangeran.” Aias seolah mengerti isyarat yang diberikan oleh Elzenath. Pria berambut pirang itu pun keluar dari ruangan.“Duduk!” seru Elzenath.“Seenaknya sekali kau memerintahku.” Umpat Elenio sambil hendak duduk di sebelah Elzenath.Duk!Elzenath tiba-tiba menendang bokong Elenio.“Heh?” Azura tercengang melihat kelakuan kakak beradik di depannya.“Zenath bodoh! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menendangk-.”Elzenath dengan santainya langsung memotong
“Tinggi sekali.” Gumam Azura sambil mengadahkan kepalanya menatap sebuah menara runcing yang menjulang tinggi dari kejauhan. “Maaf membuatmu menunggu,” ucap Elzenath yang berada di sebelah kanan Azura. “Tidak apa-apa,” lirih Azura. “Mari kita ke sana!” seru Elzenath. Azura hanya menganggukkan kepalanya sambil mengikuti langkah kaki pangeran kedua di depannya. Terlihat lalu-lalang manusia dengan jubah hitam yang dilengkapi beberapa garis warna yang berbeda-beda setiap orang. “Selamat pagi, Pangeran Elzenath.” Sapa seorang wanita muda yang telah berdiri di depan pintu masuk. “Selamat pagi, Elizabeth.” Kata Elzenath sambil tersenyum tipis. “Anu…, Pangeran….” “Ah maaf aku sampai lupa ha ha. Perkenalkan, ini Azura,” ujar Elzenath. “Azura Amalthea.” Ucap Azura sambil mengulurkan tangan. “Saya Elizabeth, senang bertemu denganmu.” Seloroh Elizabeth sambil membalas uluran tangan Azura. “Sesuai janji temu yang aku buat kemarin, apakah Guru bersedia? Soalnya sampai saat ini, pengawal u