‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati.
“Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan.“Gapura…,” lirih Azura.“Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?”“Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat."Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran.
"Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.
“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok.“Kau menertawaiku?”“Tidak, aku tidak menertawaimu. Aku hanya bingung, memangnya seseram apa Hutan Florestia? Soalnya, selama aku di sana, aman-aman saja kok.”“Benarkah? Hm, penuh misteri.” Ujar Elenio sambil menopang dagunya seakan berpikir keras.“Ha ha, misteri apa? Kau ini, ada-ada saja,” sahut Azura dengan santai.“Ya sudah deh, yang terpenting sekarang adalah kita sudah keluar dari hutan. Mari kita ke Ibu Kota Terres!” Ajak Elenio sambil berjalan meninggalkan Azura.Azura menoleh ke belakang selama beberapa saat. ‘Aku harap, kita dapat bertemu lagi, Camaro, Camari.’“Oy Azura! Cepatlah!” seru Elenio yang sudah berada jauh di depan.“Ah iya. Tunggu!” Sahut Azura sambil berlari menghampiri Elenio.***“Orang-orang ini mau ke ibu kota juga?” bisik Azura kepada Elenio.“Iya, memangnya kau pikir mereka mau antri sembako?” tanya balik Elenio dengan nyeleneh."Oh benar juga ya."“Permisi, bisa tunjukkan tanda pengenalnya?” Tanya salah seorang penjaga gerbang sambil mencegat jalan Azura dan Elenio.“Elenio Damon.” Kata Elenio sambil memperlihatkan tanda pengenalnya.Para penjaga gerbang lantas saling bertatapan satu sama lain.“Ada apa?” tanya Elenio.“Hormat kami, Pangeran.” Kata para penjaga gerbang secara serempak sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat.“Ah ya, senang bertemu dengan kalian juga,” sahut Elenio.“Silahkan, Pangeran!” Para penjaga tersebut mempersilahkan Elenio untuk memasuki gerbang, tetapi tidak dengan Azura.“Hei Nona, bisa tunjukkan tanda pengenalmu?” tanya seorang penjaga gerbang dengan tatapan yang tajam.Glek!Azura tertegun dan gemetar.‘Tanda pengenal? Ah maksud dia kartu tanda penduduk? Eh tapi aku bukan penduduk asli sini. Apa aku kasih kartu tanda penduduk yang aku punya saja? Ah jangan, nanti heboh,’ timbang Azura di dalam hati.“Hei Nona, kau bisa mendengar saya?” Penjaga gerbang itu kembali bertanya dan mendesak jawaban dari Azura.‘Ah aku ada ide!’ kata Azura di dalam hati.Azura seketika tersenyum manis, lalu berteriak. “Elen sayang, aku tidak boleh masuk sama penjaga ini.”Para penjaga gerbang lantas tercengang setelah mendengar perkataan Azura.“Sa-sa-sayang?” tanya salah seorang penjaga dengan terbata.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“A-a-ah maaf, dia temanku.” Kata Elenio sambil menggenggam tangan kanan Azura.Para penjaga gerbang masih terpaku membisu.“Kami pergi dulu ya, dah!” pamit Elenio.‘Yeah! Akhir berhasil,’ kata Azura di dalam hati.Setelah menjauh beberapa meter dari gerbang perbatasan, tiba-tiba Elenio menghempaskan tangan Azura dari genggamannya.
“Hei kau! Pelan-pelan dong! Kasar banget,” kesal Azura.Elenio menatap Azura dengan tajam.“Ada apa? Kau marah denganku?” tanya Azura.“Aku hanya kesal kepadamu. Mengapa kau memanggilku dengan sebutan sayang? Ah menjijikkan sekali.”“Ya habisnya, kau seenaknya berjalan sendiri dan membiarkanku dicegat oleh para penjaga gerbang itu.”“Lah mengapa kau khawatir? Tinggal tunjukkan tanda pengenalmu saja, bukan? Ribet banget jadi perempuan.” Ujar Elenio sambil bertolak pinggang.“Hah.” Azura menghela napasnya sejenak.‘Sepertinya aku harus bersandiwara lagi,’ kata Azura di dalam hati.“Hei Azura, mengapa kau diam?” Elenio mendesak jawaban.“Aku dari negara lain, aku rasa kau ingat itu.”“Ya kalau dari negara lain memangnya kenapa? Tinggal tunjukkan tanda pengenal,” sahut Elenio.“Itu masalahnya. Tanda pengenalku hilang.”“Hilang?” Elenio seketika kaget.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat, lalu memasang raut wajah sedih.“Hilang di mana? Mengapa kau tidak mengatakannya dari tadi kepadaku?”“Kau sendiri tidak bertanya.”“Memangnya harus aku tanya?”“Tidak juga sih.”“Ah perempuan memang sangat menyebalkan,” umpat Elenio.Azura hanya terdiam membisu.‘Setidaknya dia percaya kalau tanda pengenalku hilang,’ kata Azura di dalam hati.“Ya sudah, mari ikut aku!” Seru Elenio sambil berjalan lebih dulu dan meninggalkan Azura.“Elen, kau mau kemana?” tanya Azura.Elenio menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan menatap Azura.“Kau ini bodoh ya! Kau bilang tadi tanda pengenalmu hilang, bukan?” tanya balik Elenio.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Ya sudah, mari aku antarkan bikin tanda pengenal,” ucap Elenio.“Benarkah? Wah terima kasih.” Kata Azura sambil menghampiri Elenio.Azura berjalan beriringan dengan Elenio sambil memperhatikan beberapa manusia yang berlalu-lalang di sekelilingnya.
'Kata Camaro, Negara Tirakia diisi oleh berbagai macam makhluk, tetapi sejauh ini aku hanya melihat manusia,' kata Azura di dalam hati.
"Azura, sebenarnya kau mau kemana?" tanya Elenio.
"Hah? Maksudnya? Buat tanda pengenal, bukan?" tanya balik Azura.
"Tidak, bukan begitu. Maksudku, sebenarnya tujuanmu mau kemana? Lalu, dari mana kau berasal?"
Azura tersenyum tipis. 'Aku seperti sedang diinterogasi.'
"Hei, kau melamun?"
Azura dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak melamun. Aku mendengarkan pertanyaanmu kok."
"Kalau begitu jawablah!"
"Iya iya, ini mau aku jawab. Aku berasal dari negeri yang sangat jauh. Mungkin kau sendiri juga belum pernah kesana. La-," perkataan Azura seketika dipotong oleh Elenio.
"Sombong sekali kau! Aku ini seorang pangeran! Memangnya negeri mana yang tidak aku tahu, hah?!"
"Ya, bukan seper-."
Bruk!
Tiba-tiba terlihat seorang anak kecil berpakaian lusuh ditendang oleh seorang pria gemuk di depan kedai makanan. Azura pun dengan refleks langsung berlari menghampiri anak kecil tersebut.
"Hei, kau tidak apa-apa?" Tanya Azura sambil membantu anak kecil itu berlari.
Anak kecil itu hanya menggelengkan kepalanya sambil terus tertunduk lesu.
"Woi Nona, siapa kau? Apakah kau kenal dia?" tanya pria gemuk sambil bertolak pinggang dengan angkuhnya.
"Aku tidak mengenalnya, tetapi mengapa kau tega memperlakukan dia sejahat itu?" Tanya balik Azura sambil menatap tajam pria gemuk di depannya.
"Dia itu rakyat jelata! Dia masuk ke kedaiku, meminta makanan dengan tidak tahu malu dan mengotori kedaiku dengan dirinya yang bau!" jawab pria gemuk itu.
"Jika kau tidak ingin memberinya makan, tidak usah menendangnya sekasar itu!"
"Ha ha, apa pedulimu? Kau juga hanya dapat berbicara, bukan?"
Azura mengepalkan kedua tangannya dengan penuh kekesalan.
"Bawakan dia makanan yang paling enak! Kerajaan akan membayarnya." Seru Elenio sambil menunjukkan tanda pengenalnya.
"Da-da-damon?" Pria gemuk itu seketika kaget dan terpaku.
"Mengapa kau diam? Apakah kau hanya memiliki mulut tanpa melengkapinya dengan telinga?"
"Ba-ba-baik! Saya akan buatkan makanan yang Anda minta." Kata pria gemuk itu sambil berlari masuk ke dalam kedai.
Sejenak Elenio menoleh dan menyengir kepada Azura.
'Dia bisa diandalkan juga,' kata Azura di dalam hati.
"Pangeran, ini makanan yang Anda minta." Ucap pria gemuk sambil memberikan sebungkus makanan yang masih hangat.
"Baiklah terima kasih." Kata Elenio sambil menerima sebungkus makanan itu.
Pria gemuk hanya menganggukkan kepalanya.
"Ini buat kamu!" Ujar Elenio sambil memberikan sebungkus makanan pada anak kecil itu.
"Te-te-terima kasih." Ucap anak kecil itu sambil menerima sebungkus makanan, lalu berlari pergi dengan tunggang langgang.
"Hei tu-." Azura berusaha menghentikan anak kecil itu, tetapi Elenio dengan cepat melarangnya.
"Sudah, tidak usah dipanggil!"
***
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
Azura terduduk di sebuah sofa abu-abu sambil memperhatikan sekelilingnya.‘Mengapa aku bisa ada di sini? Tugasku adalah menemukan guru sihir, bukan terlibat konflik kerajaan,’ kata Azura di dalam hati.“Selamat sore, Nona.” Sapa seorang pria berpakaian hitam yang lengkap dengan berbagai atribut khas kerajaan.“S-so-sore.” Ucap Azura seraya berdiri dan membungkukkan tubuhnya selama beberapa saat.“He he, senang bertemu denganmu. Silahkan duduk!” seru pria itu.Azura hanya menganggukkan kepalanya dan kembali duduk di kursi abu-abu.“Hah.” Sejenak pria itu menghela napasnya, lalu bersilang kaki dan terduduk santai.‘Siapa dia sebenarnya? Kalau dilihat-lihat dia mirip sekali dengan Elen,’ pikir Azura di dalam hati.“Ah ya. Maaf aku sampai lupa. Perkenalkan, aku Elzenath Damon.” Kata pria itu sambil tersenyum tipis.“Damon…,” lirih Azura.“Ha ha, iya itu nama ayahku. Apakah aku terlihat tidak mirip dengannya?” Pria bernama Elzenath itu bertanya sambil tertawa kecil.Azura dengan cepat meng
Seketika suasana hening. Sinar jingga menyusup masuk dan membiaskan tubuh Azura dan Elzenath.“Yah, kalau begitu, aku akan memanggil Elenio,” ujar Elzenath.Azura hanya menganggukkan kepalanya perlahan.“Aias, tolong bawa Elenio masuk!” teriak Elzenath.Brak.Elenio dengan cepat masuk ke dalam ruangan.“Hei Aias, berhenti memegangku!” seru Elenio.“Maaf Pangeran Zenath, saya telah membawa Pangeran Elenio,” ucap Aias.Elzenath menganggukkan kepalanya, lalu mengangkat kedua alisnya dan menunjuk pintu ruangan tanpa berkata apa pun.“Baik Pangeran.” Aias seolah mengerti isyarat yang diberikan oleh Elzenath. Pria berambut pirang itu pun keluar dari ruangan.“Duduk!” seru Elzenath.“Seenaknya sekali kau memerintahku.” Umpat Elenio sambil hendak duduk di sebelah Elzenath.Duk!Elzenath tiba-tiba menendang bokong Elenio.“Heh?” Azura tercengang melihat kelakuan kakak beradik di depannya.“Zenath bodoh! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau menendangk-.”Elzenath dengan santainya langsung memotong
“Tinggi sekali.” Gumam Azura sambil mengadahkan kepalanya menatap sebuah menara runcing yang menjulang tinggi dari kejauhan. “Maaf membuatmu menunggu,” ucap Elzenath yang berada di sebelah kanan Azura. “Tidak apa-apa,” lirih Azura. “Mari kita ke sana!” seru Elzenath. Azura hanya menganggukkan kepalanya sambil mengikuti langkah kaki pangeran kedua di depannya. Terlihat lalu-lalang manusia dengan jubah hitam yang dilengkapi beberapa garis warna yang berbeda-beda setiap orang. “Selamat pagi, Pangeran Elzenath.” Sapa seorang wanita muda yang telah berdiri di depan pintu masuk. “Selamat pagi, Elizabeth.” Kata Elzenath sambil tersenyum tipis. “Anu…, Pangeran….” “Ah maaf aku sampai lupa ha ha. Perkenalkan, ini Azura,” ujar Elzenath. “Azura Amalthea.” Ucap Azura sambil mengulurkan tangan. “Saya Elizabeth, senang bertemu denganmu.” Seloroh Elizabeth sambil membalas uluran tangan Azura. “Sesuai janji temu yang aku buat kemarin, apakah Guru bersedia? Soalnya sampai saat ini, pengawal u
“Guru, sepertinya kau menakuti Azura he he,” kata Elzenath.La Gramarye mengalihkan tatapannya dari Azura, lalu ia bersandar di kursi kayu.“Lalu, apakah Pangeran mengajak Nona itu untuk menemui saya, hanya untuk bercerita mengenai pertemuannya dengan pangeran ketiga?” tanya La Gramarye.Prok!Elzenath bertepuk tangan dan tersenyum lebar. “Kau memang sangat pandai, Guru.”“Berhentilah basa-basi!” seru La Gramarye.“He he, maaf. Sabarlah, bukankah di usiamu yang sekarang, kau harus mengurangi amarahmu?” goda Elzenath kepada La Gramarye.La Gramarye hanya terdiam sambil menaikkan kedua alisnya.“Aku mengajak Azura kesini, selain memperkenalkannya kepadamu. Aku ingin merekomendasikan dia untuk menjadi muridmu.” Ucap Elzenath sambil tersenyum manis.“Saya menolak!” seru La Gramarye dengan tegas.“Wah Guru sangat bla
“Hah.” Azura menghela napas beratnya seraya membangkitkan tubuh dari dipan minimalis yang berada di sudut ruangan. Azura menoleh ke sisi kirinya dan menatap sinar jingga yang mendominasi langit. “Sudah sore saja, cepat sekali,” gumam Azura. Rasa bosan meliputi hati Azura saat ia berada di menara sihir. Sesuai kesepakatan, Azura bersedia untuk menaklukan labirin sihir yang akan dilakukan esok hari. “Kalau saja di dunia ini ada ponsel. Mungkin aku bisa bermain game online,” lirih Azura. Azura beranjak berdiri dan membuka jendela. Semilir angin tanpa permisi langsung mengibaskan rambut tanggungnya. “Hm, lumayan sejuk. Akan tetapi, aku bingung mau apa di sini. Mungkin aku berjalan-jalan saja deh.” Kata Azura sambil berjalan keluar dari kamar. Lorong panjang menyambut Azura dengan penuh kemistisan. “Seram juga,” gumam Azura. Ketika di tengah lorong, tiba-tiba Azura berpapasan dengan Elizabeth. “Hai Elizabeth!” sapa Azura dengan ceria. Elizabeth menghentikan langkahnya, lalu menat
Azura tercengang menatap serangkaian tumbuhan yang menjulang tinggi."Bagaimana, apakah kau ketakutan?" Cibir La Gramarye sambil menghisap lintingan tembakau yang ia pegang.Azura pun bertolak pinggang dan tersenyum tipis. "Tidak Guru, aku tidak mungkin takut."'Labirin seperti ini mah seperti wahana di tempat wisata,' decak Azura di dalam hati."Hoo saya apresiasi keberanianmu, Nona. Tapi, jangan panggil saya Guru, karena Anda belum resmi menjadi murid saya," sahut La Gramarye."Hm, baiklah. Yosh, jadi kapan aku mulai?" Tanya Azura sambil meregangkan kedua tangannya."Jangan terburu-buru, Nona Muda," ujar La Gramarye.Azura hanya terdiam menatap pria baya berkumis putih.'Lama banget sih,' umpat Azura di dalam hati. La Gramarye menoleh Elizabeth sambil memainkan alisnya sebagai isyarat. Elizabeth pun hanya menganggukkan kepalanya."Izinkan saya menjelaskan mekanismenya, Nona Azura," ucap Elizabeth."Ya.""Jadi, tujuan Anda melewati labirin sihir hanya satu Nona," tutur Elizabeth."S
“Sebenarnya kita mau kemana?” Tanya Azura sambil berjalan beriringan bersama Elizabeth.“Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda, Nona Azura,” jawab Elizabeth dengan kaku.“Iya aku tahu, tetapi siapa? Apakah Guru La Gramarye?” Azura mendesak jawaban yang gamblang dari Elizabeth.“Nanti juga Anda tahu,” sahut Elizabeth.‘Hm, ada apa sih? Memang serahasia itu?’ Tanya Azura di dalam hati sambil menoleh menatap halaman menara sihir.“Kita telah sampai. Silahkan masuk, Nona!” Seru Elizabeth sambil membukakan pintu suatu ruangan.‘Oh, ini bukan ruangan Guru La Gramarye,’ kata Azura di dalam hati.Azura menganggukkan kepalanya sambil memasuki ruangan.“Hai!” sebuah sapaan menyambut Azura dengan ceria.Azura hanya terpaku menatap kedua pria yang terduduk di sofa cokelat di sudut ruangan. Kedua pria itu terlihat mirip, tetapi memiliki sifat yang berbanding terbalik.“Hei Azura! Apakah kau mendengarku?” Teriak Elzenath sambil melambaikan tangan.Azura pun menggelengkan kepalanya dengan cep