Share

Bab 8. Ibu Kota Terres

‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati.

“Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan.

“Gapura…,” lirih Azura.

“Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.

Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'

"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.

Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?”

“Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat.

"Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran.

"Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.

“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok.

“Kau menertawaiku?”

“Tidak, aku tidak menertawaimu. Aku hanya bingung, memangnya seseram apa Hutan Florestia? Soalnya, selama aku di sana, aman-aman saja kok.”

“Benarkah? Hm, penuh misteri.” Ujar Elenio sambil menopang dagunya seakan berpikir keras.

“Ha ha, misteri apa? Kau ini, ada-ada saja,” sahut Azura dengan santai.

“Ya sudah deh, yang terpenting sekarang adalah kita sudah keluar dari hutan. Mari kita ke Ibu Kota Terres!” Ajak Elenio sambil berjalan meninggalkan Azura.

Azura menoleh ke belakang selama beberapa saat. ‘Aku harap, kita dapat bertemu lagi, Camaro, Camari.’

“Oy Azura! Cepatlah!” seru Elenio yang sudah berada jauh di depan.

“Ah iya. Tunggu!” Sahut Azura sambil berlari menghampiri Elenio.

***

“Orang-orang ini mau ke ibu kota juga?” bisik Azura kepada Elenio.

“Iya, memangnya kau pikir mereka mau antri sembako?” tanya balik Elenio dengan nyeleneh.

"Oh benar juga ya."

“Permisi, bisa tunjukkan tanda pengenalnya?” Tanya salah seorang penjaga gerbang sambil mencegat jalan Azura dan Elenio.

“Elenio Damon.” Kata Elenio sambil memperlihatkan tanda pengenalnya.

Para penjaga gerbang lantas saling bertatapan satu sama lain.

“Ada apa?” tanya Elenio.

“Hormat kami, Pangeran.” Kata para penjaga gerbang secara serempak sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat.

“Ah ya, senang bertemu dengan kalian juga,” sahut Elenio.

“Silahkan, Pangeran!” Para penjaga tersebut mempersilahkan Elenio untuk memasuki gerbang, tetapi tidak dengan Azura.

“Hei Nona, bisa tunjukkan tanda pengenalmu?” tanya seorang penjaga gerbang dengan tatapan yang tajam.

Glek!

Azura tertegun dan gemetar.

‘Tanda pengenal? Ah maksud dia kartu tanda penduduk? Eh tapi aku bukan penduduk asli sini. Apa aku kasih kartu tanda penduduk yang aku punya saja? Ah jangan, nanti heboh,’ timbang Azura di dalam hati.

“Hei Nona, kau bisa mendengar saya?” Penjaga gerbang itu kembali bertanya dan mendesak jawaban dari Azura.

‘Ah aku ada ide!’ kata Azura di dalam hati.

Azura seketika tersenyum manis, lalu berteriak. “Elen sayang, aku tidak boleh masuk sama penjaga ini.”

Para penjaga gerbang lantas tercengang setelah mendengar perkataan Azura.

“Sa-sa-sayang?” tanya salah seorang penjaga dengan terbata.

Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“A-a-ah maaf, dia temanku.” Kata Elenio sambil menggenggam tangan kanan Azura.

Para penjaga gerbang masih terpaku membisu.

“Kami pergi dulu ya, dah!” pamit Elenio.

‘Yeah! Akhir berhasil,’ kata Azura di dalam hati.

Setelah menjauh beberapa meter dari gerbang perbatasan, tiba-tiba Elenio menghempaskan tangan Azura dari genggamannya.

“Hei kau! Pelan-pelan dong! Kasar banget,” kesal Azura.

Elenio menatap Azura dengan tajam.

“Ada apa? Kau marah denganku?” tanya Azura.

“Aku hanya kesal kepadamu. Mengapa kau memanggilku dengan sebutan sayang? Ah menjijikkan sekali.”

“Ya habisnya, kau seenaknya berjalan sendiri dan membiarkanku dicegat oleh para penjaga gerbang itu.”

“Lah mengapa kau khawatir? Tinggal tunjukkan tanda pengenalmu saja, bukan? Ribet banget jadi perempuan.” Ujar Elenio sambil bertolak pinggang.

“Hah.” Azura menghela napasnya sejenak.

‘Sepertinya aku harus bersandiwara lagi,’ kata Azura di dalam hati.

“Hei Azura, mengapa kau diam?” Elenio mendesak jawaban.

“Aku dari negara lain, aku rasa kau ingat itu.”

“Ya kalau dari negara lain memangnya kenapa? Tinggal tunjukkan tanda pengenal,” sahut Elenio.

“Itu masalahnya. Tanda pengenalku hilang.”

“Hilang?” Elenio seketika kaget.

Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat, lalu memasang raut wajah sedih.

“Hilang di mana? Mengapa kau tidak mengatakannya dari tadi kepadaku?”

“Kau sendiri tidak bertanya.”

“Memangnya harus aku tanya?”

“Tidak juga sih.”

“Ah perempuan memang sangat menyebalkan,” umpat Elenio.

Azura hanya terdiam membisu.

‘Setidaknya dia percaya kalau tanda pengenalku hilang,’ kata Azura di dalam hati.

“Ya sudah, mari ikut aku!” Seru Elenio sambil berjalan lebih dulu dan meninggalkan Azura.

“Elen, kau mau kemana?” tanya Azura.

Elenio menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan menatap Azura.

“Kau ini bodoh ya! Kau bilang tadi tanda pengenalmu hilang, bukan?” tanya balik Elenio.

Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Ya sudah, mari aku antarkan bikin tanda pengenal,” ucap Elenio.

“Benarkah? Wah terima kasih.” Kata Azura sambil menghampiri Elenio.

Azura berjalan beriringan dengan Elenio sambil memperhatikan beberapa manusia yang berlalu-lalang di sekelilingnya.

'Kata Camaro, Negara Tirakia diisi oleh berbagai macam makhluk, tetapi sejauh ini aku hanya melihat manusia,' kata Azura di dalam hati.

"Azura, sebenarnya kau mau kemana?" tanya Elenio.

"Hah? Maksudnya? Buat tanda pengenal, bukan?" tanya balik Azura.

"Tidak, bukan begitu. Maksudku, sebenarnya tujuanmu mau kemana? Lalu, dari mana kau berasal?"

Azura tersenyum tipis. 'Aku seperti sedang diinterogasi.'

"Hei, kau melamun?"

Azura dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak melamun. Aku mendengarkan pertanyaanmu kok."

"Kalau begitu jawablah!"

"Iya iya, ini mau aku jawab. Aku berasal dari negeri yang sangat jauh. Mungkin kau sendiri juga belum pernah kesana. La-," perkataan Azura seketika dipotong oleh Elenio.

"Sombong sekali kau! Aku ini seorang pangeran! Memangnya negeri mana yang tidak aku tahu, hah?!"

"Ya, bukan seper-."

Bruk!

Tiba-tiba terlihat seorang anak kecil berpakaian lusuh ditendang oleh seorang pria gemuk di depan kedai makanan. Azura pun dengan refleks langsung berlari menghampiri anak kecil tersebut.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Tanya Azura sambil membantu anak kecil itu berlari.

Anak kecil itu hanya menggelengkan kepalanya sambil terus tertunduk lesu.

"Woi Nona, siapa kau? Apakah kau kenal dia?" tanya pria gemuk sambil bertolak pinggang dengan angkuhnya.

"Aku tidak mengenalnya, tetapi mengapa kau tega memperlakukan dia sejahat itu?" Tanya balik Azura sambil menatap tajam pria gemuk di depannya.

"Dia itu rakyat jelata! Dia masuk ke kedaiku, meminta makanan dengan tidak tahu malu dan mengotori kedaiku dengan dirinya yang bau!" jawab pria gemuk itu.

"Jika kau tidak ingin memberinya makan, tidak usah menendangnya sekasar itu!"

"Ha ha, apa pedulimu? Kau juga hanya dapat berbicara, bukan?"

Azura mengepalkan kedua tangannya dengan penuh kekesalan.

"Bawakan dia makanan yang paling enak! Kerajaan akan membayarnya." Seru Elenio sambil menunjukkan tanda pengenalnya.

"Da-da-damon?" Pria gemuk itu seketika kaget dan terpaku.

"Mengapa kau diam? Apakah kau hanya memiliki mulut tanpa melengkapinya dengan telinga?" 

"Ba-ba-baik! Saya akan buatkan makanan yang Anda minta." Kata pria gemuk itu sambil berlari masuk ke dalam kedai.

Sejenak Elenio menoleh dan menyengir kepada Azura.

'Dia bisa diandalkan juga,' kata Azura di dalam hati.

"Pangeran, ini makanan yang Anda minta." Ucap pria gemuk sambil memberikan sebungkus makanan yang masih hangat.

"Baiklah terima kasih." Kata Elenio sambil menerima sebungkus makanan itu.

Pria gemuk hanya menganggukkan kepalanya.

"Ini buat kamu!" Ujar Elenio sambil memberikan sebungkus makanan pada anak kecil itu.

"Te-te-terima kasih." Ucap anak kecil itu sambil menerima sebungkus makanan, lalu berlari pergi dengan tunggang langgang.

"Hei tu-." Azura berusaha menghentikan anak kecil itu, tetapi Elenio dengan cepat melarangnya.

"Sudah, tidak usah dipanggil!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status