"Nak Arkan, Ibu tidak tahu ada kesalahpahaman apa antara kamu dan Ainun hingga rumah tangga kalian menjadi kacau seperti ini. Tapi yang Ibu lihat, kalian sama-sama orang baik. Ibu berdoa semoga kalian segera dipertemukan dan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada." Itulah doa tulus yang diucapkan oleh Bu Ratna saat melihatku tergugu di hadapannya.Aku tak bisa lagi membendung tangis begitu mulai menyantap menu makan siang yang katanya biasa dimakan oleh Ainun. Rasa sesal itu semakin membuncah tak terkendali hingga aku kesulitan mengontrol emosi. Aku menangis tersedu seperti seorang anak kecil yang takut dihukum setelah melakukan Kesalahan. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan. Tak sanggup rasanya jika Ainun dan Farhan benar-benar pergi selamanya dari hidupku, padahal sebelumnya mati-matian aku menolak mereka.Sanubari itu layaknya lautan misteri, sesuatu yang tak bisa dimengerti, pun oleh sang pemilik hati itu sendiri. Begitulah aku yang kini tak mengerti dengan apa ya
Pagi ini, aku datang ke kantor dengan agak tak bersemangat. Semalam mataku nyaris tak bisa terpejam setelah kedatangan Mama dan Papa ke rumah. Kepalaku juga terus dipenuhi oleh permintaan mereka yang ingin aku melepaskan Ainun, lalu menikah lagi. Aku tahu Mama dan Papa hanya menginginkan kebahagiaanku. Lima tahun terakhir, bisa dikatakan hidupku sangat tak manusiawi. Seluruh waktuku hanya dihabiskan untuk bekerja dan mencari keberadaan Ainun. Tak ada waktu untuk diriku sendiri, bahkan sekedar untuk bersantai melepaskan penat sekalipun. Aku hanya makan dan tidur sekedar untuk memenuhi kebutuhan tubuh, tanpa menikmatinya sama sekali. Hidupku tenggelam dalam kehampaan. Kujalani semua rutinitasku tanpa menikmatinya layaknya sebuah robot yang mengerjakan tugasnya. Memperihatinkan memang, pantas saja jika Mama dan Papa sampai menyarankan ku untuk menikah lagi.Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Selama mencari keberadaan Ainun, tak pernah sedikit pun aku berniat untuk menyerah. Meski selam
Cukup lama aku mematung dengan mata yang tak beralih dari sosok di hadapanku saat ini. Wajah teduh yang selama lima tahun ini selalu hadir dalam setiap tidurku, kini berada tepat di hadapanku. Ingin rasanya aku menampar pipiku sendiri untuk memastikan jika saat ini aku tidak sedang bermimpi."Apa kabar, Pak Arkan?" Kembali kudengar suara itu. Begitu lembut terdengar di telinga, sama seperti lima tahun lalu saat dia masih tinggal bersamaku. "Baik," jawabku setengah bergumam.Ainun sedikit menipis bibirnya, hampir menyerupai sebuah senyuman. Sosoknya terlihat semakin matang dan dewasa. Penampilannya juga lebih tertutup. Ia telah mengenakan hijab dan menutup auratnya dengan sempurna. Terlihat begitu menyejukkan mata sekaligus menentramkan hati.Perasaan rindu yang selama ini kusimpan rapi di dasar hatiku, kini tiba-tiba menyeruak tak tertahankan. Hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk menarik dan merengkuhnya ke dalam pelukanku."Maaf, saya mengganggu. Apa Pak Arkan punya waktu?" t
"Kenapa?" tanyaku. Lima tahun lalu Ainun lebih memilih pergi daripada harus melakukan tes DNA, meskipun aku tahu saat itu semua memang salahku. Aku yang telah mempermalukannya di hadapan seluruh keluarga besarku hingga dia lebih memilih untuk menghilang dari kehidupanku.Lalu sekarang, dia tiba-tiba datang dan memohon untuk dilakukan tes DNA. Sebenarnya apa tujuannya?"Saya punya alasan ...." Ainun menjawab dengan agak tertahan. Sangat terlihat jelas jika saat ini dia sedang berusaha untuk menutupi sesuatu."Apa alasannya? Waktu itu kamu pergi tanpa ragu saat aku ingin melakukan tes DNA, kenapa sekarang malah ingin melakukan itu?""Sudah saya katakan, saya punya alasan. Saya akan mengatakan alasan saya itu jika sudah dilakukan tes dan hasilnya sudah keluar."Aku terdiam. Kutatap lekat Ainun hingga dia sedikit memalingkan wajahnya kearah lain karena merasa kurang nyaman. Hatiku bertanya-tanya, apakah kiranya yang membuat Ainun berubah pikiran hingga ingin membuktikan jika Farhan memang
"Ayah." Suara Farhan menyadarkan ku.Gegas kuhapus airmataku dan menahan isakan sebisa mungkin. Kuhela nafas panjang berulang kali untuk menenangkan diriku sendiri. Aku tak ingin Farhan kebingungan karena aku menangis sambil memeluknya.Aku mengurai pelukanku. Kulihat Farhan mendongakkan wajahnya, manik jernihnya menatapku seakan sedang menilai apa saja yang melekat di wajahku. Sekali lagi kuhapus sisa-sisa airmata yang menggantung di sudut mata. Kuulas senyuman semanis mungkin pada bocah itu. "Apa Ayah sedih bertemu dengan Farhan?" tanyanya dengan polos. Usianya baru lima tahun lebih, tapi bicaranya tidak cadel seperti anak-anak pada umumnya.Aku menggeleng cepat."Tidak, Ayah justru sedih karena baru bisa bertemu dengan Farhan sekarang," jawabku."Farhan senang akhirnya bisa bertemu dengan Ayah," ujarnya lagi. "I-iya, Ayah juga." Aku sedikit terbata karena terlalu senang mendengar kata-kata Farhan barusan. Dia bilang senang karena akhirnya bisa bertemu denganku.Farhan tersenyum,
Setelah makan siang, kami melanjutkan jalan-jalan mengelilingi mall. Karena bertepatan dengan liburan sekolah, banyak film anak-anak yang sedang diputar di bioskop. Aku pun membawa Ainun dan Farhan untuk menonton film animasi kesukaan bocah itu.Sepanjang film berlangsung, bukan layar bioskop yang aku lihat, melainkan memperhatikan wajah Farhan dan Ainun secara bergantian. Ekspresi kedua ibu dan anak itu benar-benar menghipnotisku hingga aku tak mempedulikan jalan cerita yang disuguhkan film tersebut.Enam puluh menit kemudian, film akhirnya selesai. Keluar dari bioskop, aku kembali menggendong Farhan untuk kembali membawanya jalan-jalan ke sudut mall yang lain."Tv tadi hebat, ya, Ayah. Ukurannya besar ... sekali, jadi gambar robotnya juga ikutan besar." Farhan bercerita dengan polosnya sambil masih berada dalam gendonganku. Ia merentangkan kedua tangannya saat mengatakan kata besar. Terlihat sangat menggemaskan."Itu bukan tv, Sayang. Itu namanya layar bioskop, ukurannya memang jauh
"Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku
"Aku ingin tes DNA!" seruku lantang di hadapan seluruh keluarga. Suasana yang tadinya hangat dan penuh senda gurau, tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata tertuju padaku. Terutama mata kedua orang tuaku yang beberapa detik tadi terlihat sangat bahagia merayakan kelahiran bayi yang mereka yakini sebagai cucu."Arkan?" Mama menatapku dengan raut tak percaya. Perempuan yang telah melahirkan ku itu tampak terkejut dengan apa yang didengarnya tadi.Aku menatap sekeliling. Saat ini di rumahku masih ada beberapa tamu karena Mama baru saja selesai mengadakan syukuran. Sebuah acara sederhana setelah satu bulan lebih perempuan yang belum lama ini kunikahi melahirkan seorang bayi lelaki. Bayi yang katanya sangat mirip denganku disaat aku sendiri tak yakin jika dia benar-benar darah dagingku.Wajah Mama terlihat sedikit gusar. Untung saja tamu yang tersisa saat ini semuanya masih keluarga, begitu mungkin pikirnya saat aku melontarkan kalimat mengejutkan tadi."Apa maksudmu, Arkan?" Kali ini suara Pa