Share

Bab 8. Rasa cemas Pelangi

Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. 

Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. 

Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. 

Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. 

"Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. 

Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelaki itu karena sudah menidurinya. 

"Akh! Aku kenapa, sih! Seharusnya aku mengingat kejadian semalam walau cuma sedikit. Apa yang terjadi semalam? Apa yang telah aku dan Renjana lakukan?" pekik Diana menarik rambutnya gemas. 

Hampir saja Diana membenturkan kepalanya ke dinding, karena tidak mengingat apapun walau ia telah mencobanya. 

Diana hanya ingat Renjana menggodanya saat ia menunggu angkutan umum. Renjana mengajak Diana ke sebuah tempat untuk bersenang-senang, karena Diana pikir Renjana bisa mengeluarkannya dari kemiskinan, Diana tidak menolak ajakan Renjana itu, lalu mereka mengobrol dan berkenalan di mobil. Kemudian ...., 

"Hmm ...." desis Diana memiringkan kepalanya. Ia menepuk kepalanya lebih dari dua kali. "Dasar bodoh!" Diana memaki dirinya sendiri. 

Selesai mandi dan memakai bajunya yang semalam, Diana merangkak naik ke atas ranjang hendak membangunkan Renjana yang belum bangun juga. Diana menepuk lengan lelaki itu, beralih ke pipinya. Sontak Renjana pun bangun dan menatap wajah Diana yang telah segar sehabis mandi. 

"Bangun, Renjana! Jelaskan padaku apa yang terjadi semalam di antara kita?!" Diana menggoyangkan lengan Renjana agak kasar. 

Lelaki itu menepis tangan Diana. "Kamu sudah melihatnya saat bangun, kan? Mau meminta penjelasan apa lagi?!" balas Renjana sengit. 

"Jadi ..., kita berdua semalam?" Diana menunjuk hidungnya. 

"Iya! Kamu bukan anak kecil yang harus dijelaskan dulu, kan? Jangan ganggu aku. Aku mau tidur lagi," peringat Renjana. 

Diana merasa tidak terima. Renjana bersikap sangat berbeda dari yang semalam. Diana menyambar bantal lantas memukulkannya ke arah Renjana. 

"Kamu harus tanggungjawab! Kamu sudah meniduriku!" seru Diana memukuli Renjana dengan penuh amarah. 

"Tanggung jawab? Kita melakukannya tanpa paksaan. Untuk apa aku bertanggungjawab?" Secara mengejutkan, lelaki itu menolak untuk bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya kepada Diana. 

*** 

Pelangi menunggu kepulangan Diana sejak semalam. Ia sudah berusaha menghubungi nomor Diana, tapi tidak diangkat. Pelangi bahkan menghujani nomor Diana dengan banyak pesan, namun tetap saja tidak juga dibalas. 

Saking khawatirnya Pelangi kepada adik perempuannya, ia sampai menunggu di ruang tamu hingga ketiduran. Saat  bangun pun, Diana belum pulang juga. 

Lamunan Pelangi buyar ketika mendengar suara pintu rumah dibuka. Detik itu Pelangi mendekat ke arah pintu dan menegur Diana. 

"Kamu dari mana?! Kenapa semalam tidak pulang?" Pelangi tidak kuasa menahan amarahnya. 

"Kakak menunggu kamu sampai ketiduran, tapi kamu tidak kunjung pulang. Semalam kamu ada di mana? Kamu tidak disakiti orang, kan?" Pelangi mendekap kedua bahu adik perempuannya. 

Diana menepis tangan Pelangi dengan kasar. Suasana hati Diana sedang tidak baik mendengar Pelangi mengomelinya, padahal dia baru saja sampai rumah membuatnya semakin kesal. 

"Tidak ada yang menyuruh Kakak menungguku. Itu salah Kakak sendiri," ujar Diana sinis. 

"Aku khawatir sama kamu," gumam Pelangi.

Dalam hati Diana mengumpat. "Telat!" 

"Sudahlah! Tolong jangan terlalu banyak bicara. Kepalaku pusing sekarang!" bentak Diana sambil berlalu pergi meninggalkan kakaknya begitu saja. 

*** 

Ginny masih penasaran dengan perempuan muda penjual bunga yang dilihatnya di lampu merah beberapa waktu yang lalu. 

Wajah perempuan muda itu sangat mirip dengan wajah sahabatnya. Walau Ginny hanya melihatnya sekilas, namun kata hatinya mengatakan perempuan itu sama persis seperti sang Sahabat yang telah meninggal dunia. 

Ginny mengamati lampu merah. Orang-orang yang lalu-lalang, pengamen kecil di jalanan tidak lepas dari pandangan mata Ginny. Wanita itu berharap bisa bertemu dengan perempuan penjual bunga itu lagi. Ia ingin memastikan apakah penglihatannya benar atau hanya sekadar halusinasinya saja karena sedang merindukan sahabatnya? 

Ginny menurunkan kaca mobilnya hingga terbuka sepenuhnya. Ginny melempar pandangan ke sana kemari mengamati sekitar. Setiap kali menemukan perempuan dengan proporsi badan yang persis dengan perempuan itu, Ginny sampai keluar mobil lalu mengejarnya, namun saat perempuan yang dikejarnya menoleh, Ginny menjadi sangat kecewa. Bukan. Yang barusan bukan perempuan yang ia lihat beberapa waktu lalu. 

"Aku yakin perempuan itu mirip Josefina." Ginny meremas ujung bajunya. Sepasang mata Ginny seakan tidak lelah memerhatikan sekitar lampu merah. "Tapi, kenapa dia tidak ada di sini? Aku tidak mungkin salah lihat. Mereka mirip sekali!" seru Ginny penuh keyakinan. 

Sementara itu Pelangi, perempuan yang dicari Ginny di lampu merah memutuskan untuk libur berjualan bunga. Dokter mengatakan Pelangi harus menjaga kesehatan tubuhnya. Tidak disarankan untuk bekerja secara berlebihan dan mengonsumsi makanan sehat agar prosesnya berjalan dengan lancar. 

Tentu saja Pelangi menuruti kata-kata dokter. Keinginan Pelangi hanya untuk melihat Akarsana sembuh. 

Pelangi sedang mengobrol dengan Ardian di telepon. "Kamu libur menjual bunga?" tanya Ardian heran. 

Dia tidak mengira Pelangi akan segigih itu. Mendengar Pelangi bersedia mendonorkan hatinya tanpa meminta imbalan yang ada malah meminta pihak rumah sakit termasuk Ardian agar menjaga rahasianya. Tidak boleh ada satu orang pun yang mengetahuinya, bahkan Ayah dan kedua saudara Pelangi pun tidak tahu menahu mengenai hal ini. 

"Aku harus menjaga kesehatanku sebelum operasi dilaksanakan," ujar Pelangi di dalam telepon. 

"Dan kamu menurutinya." Ardian mendengus. "Baiklah, kalau begitu pergunakan waktu liburmu dengan banyak istirahat dan makan makanan yang bergizi." 

Pelangi mengangguk ringan. "Tentu." 

*** 

Danurdara tidak kuasa menahan rahasia yang telah ia simpan lebih lama. Lelaki itu merasa sedih, karena Pelangi harus hidup serba kekurangan. Pelangi harus giat mencari nafkah. Belum lagi harus mengurusnya dan adik lelakinya yang masih berusia sepuluh tahun. 

Pelangi selalu tersenyum di depan Danurdara, namun ia tahu Pelangi menahan segala perasaan di dadanya. Sebagai seorang Ayah, ia sangat memahami perasaan putrinya. Hanya saja Danurdara tidak bisa melakukan banyak hal. 

Maka dari itu untuk menghentikan segala situasi kurang mengenakan yang Pelangi alami selama ini, Danurdara berniat memberitahu Pelangi tentang asal usulnya. Siapa sebenarnya keluarga Pelangi. 

"Yah?" tegur Pelangi hati-hati. 

Sadari tadi ayahnya banyak melamun. Pelangi memanggil ayahnya sambil memegangi sebelah lengan ayahnya. 

Detik itu lamunan Danurdara pun buyar. Ia menatap wajah Pelangi dengan tatapan yang sedih. "Iya, Pelangi. Kamu panggil Ayah?" 

"Dari tadi," jawab Pelangi pura-pura cemberut. "Ayah sedang memikirkan apa? Jangan dipendam sendiri." 

"Harusnya Ayah yang mengatakan itu." Lelaki itu menatap Pelangi dengan serius. 

"Maksud, Ayah?" tanya Pelangi  bingung. 

"Pelangi, ada yang ingin Ayah katakan sama kamu." 

"Tentang apa?" Pelangi mengerjapkan matanya. 

Danurdara tidak langsung menjawab melainkan menatap wajah Pelangi dengan sorot mata yang sedih dan merasa bersalah, karena ia tidak jujur mengenai siapa Pelangi sebenarnya, karena hidup menjadi putri Danurdara, Pelangi harus hidup susah. 

"Sebenarnya, kamu itu ...." 

Pelangi melihat jam tangannya dan ia terkejut. "Ayah, aku pergi dulu. Aku sudah telat mau menemui seseorang. Bicaranya nanti saja."

"Tapi Pelangi, Ayah ingin...."

"Maaf, Ayah. Bisakah nanti saja? Ini sangat penting."

Melihat anggukan sang ayah, Pelangi pun tergesa-gesa keluar dari kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status