Share

Bab 7. Mabuk

Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. 

Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. 

Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. 

"Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. 

Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur.

"Pasti kamu sangat senang, bukan?"

Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak tahu siapa dia. Dokter tidak mau memberitahuku tadi."

Prita mengelus-elus tangan putranya. "Ya sudah tidak apa-apa yang penting kamu sudah mendapatkan donor."

Akarsana mengangguk. Sekarang perasaannya lega dan bisa memulai lagi kehidupannya secara normal dan mencari keberadaan Naomi.

"Mama pulang dulu untuk menyampaikan kabar gembira ini secara langsung pada saudara-saudaramu," ujar Prita yang masih nampak begitu bahagia.

Akarsana mengangguk dan menatap punggung ibunya sampai menghilang dibalik pintu.

***

Di rumah keluarga Maheswara, Prita berpapasan dengan Kayla. Tentu saja Prita segera mengatakan kabar gembira tersebut kepada saudara kembarnya. Kayla ikut merasa senang mendengarnya. 

"Selamat, Prita! Aku ikut senang mendengarnya. Semoga operasinya berjalan dengan lancar dan Akarsana bisa hidup dengan normal." 

Prita menyipitkan matanya. Entah kenapa Prita merasa tersinggung dengan kata-kata saudara kembarnya. 

"Maksud kamu Akarsana bukan orang normal selama ini, Kayla?!" Prita tiba-tiba marah. "Anakku dari dulu normal! Dia tidak idiot," maki Prita. 

Kayla diam karena bingung. Ada yang salah dengan kata-katanya? Kayla mengucapkan doa baik dengan perasaan yang tulus. Tidak berniat membuat saudara kembarnya tersinggung. 

"Aku tahu, selama ini kamu berharap Akarsana tidak selamat, lalu mati, kan? Itu keinginan kamu selama ini? Kamu pikir aku tidak tahu isi kepalamu!" tunjuk Prita penuh amarah.

Perdebatan, pertengkaran antara kedua saudara itu sering terjadi di rumah itu.  Selama ini Kayla tidak pernah ambil pusing mengenai sikap Prita padanya. 

"Prita, kamu ini kenapa sebenarnya? Aku tulus mendoakan kesembuhan Akarsana. Salahku di mana? Kenapa kamu malah marah-marah?" Kayla jengah juga lama-lama. "Sekali pun aku tidak pernah menginginkan Akarsana meninggal seperti yang kamu ucapkan. Aku juga menyayangi Akarsana seperti anakku sendiri." 

"Halah! Tidak usah pura-pura lagi! Aku tahu sebusuk apa hatimu, Kayla!" Prita tetap pada pendiriannya. Di matanya, Kayla itu nenek sihir. 

"Terserah kamulah, Prita! Aku lelah menghadapi sifat burukmu ini. Kamu selalu beranggapan bahwa aku berniat buruk kepadamu dan anak-anakmu." 

"Karena kenyataannya memang begitu!" sembur Prita semakin menjadi-jadi. 

Sofia yang baru saja datang melihat kembali pertengkaran ibu dan tantenya. Gadis itu berusaha melerai.

"Sudah kalian jangan bertengkar lagi. Tidak enak di dengar tetangga, meskipun Sofia tahu tetangga tidak akan bisa mendengarnya, karena jarak rumah tetangga dan rumah tantenya berjarak ditambah lagi rumah mereka yang besar.

Pertengkaran mereka berakhir. Setelah semuanya tenang kembali, Prita memberitahu Sofia tentang kabar baik Kakaknya.

"Benarkah itu, Ma?" seru Sofia kegirangan.

Prita mengangguk.

"Syukurlah Kak Akarsana akan segera sembuh."

*** 

Sedari tadi Diana melirik arloji di tangan kirinya. Tidak hentinya gadis itu uring-uringan, karena angkutan umum yang ia tunggu sejak tadi tidak kunjung muncul. Kaki Diana sudah pegal sekali ingin segera pulang dan beristirahat di kamar, namun angkutan umum yang ditunggunya tidak kunjung muncul juga. 

"Duh! Lama banget, sih! Kaki aku sampai pegal karena berdiri dari tadi." Diana mendumel sambil menggerakkan kakinya untuk mengurangi rasa pegal. 

Lagi-lagi Diana mengkhayal bagaimana seandainya Diana terlahir dari keluarga kaya raya. Ia tidak perlu menunggu angkutan umum sampai lelah begini. Ke mana-mana pergi mengendarai mobil. Tidak khawatir takut telat masuk kampus. Namun sayangnya, itu cuma khayalan Diana saja, karena fakta yang sebenarnya, Diana terlahir dari keluarga miskin! Diana membenci fakta itu. 

Diana mengentakkan kakinya sangat kesal. Kapan ada keajaiban datang dalam kehidupannya? Jujur saja dia sudah muak hidup sebagai orang miskin! 

Sepasang mata Diana nenyipit saat sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat di depannya. Diana menundukkan punggung, menatap si pengendara. Tadinya Diana pikir pemilik mobil itu ingin menanyakan sebuah alamat padanya. 

"Hai, boleh kenalan? Mau ke mana, cantik?" 

Diana terpana untuk sesaat. Selain mobil yang dikendarai lelaki itu kelihatan mahal dan baru, pemilik mobilnya juga sangat tampan. Diana melirik mobil di depannya sekali lagi. 

Dalam hati gadis itu berkata  "Kesempatan yang bagus. Kapan lagi dapat gebetan dari keluarga kaya?" 

Salah satu keinginan Diana yang dianggap bisa mengeluarkannya dari kemiskinan dengan cara memacari lelaki kaya raya dan kesempatan yang baru saja datang padanya tidak boleh ia sia-siakan. 

Dengan sukarela gadis itu menghampiri mobil lelaki itu. Tanpa basa-basi Diana mengatakan bahwa ia hendak pulang. 

"Jangan langsung pulang, deh. Bagaimana kalau kamu ikut denganku dulu? Kita bisa senang-senang." Lelaki itu menaik turunkan alisnya. 

Diana mengulum senyum penuh arti. Gadis itu dipersilakan masuk ke dalam mobil. Ia mengambil duduk di samping kursi kemudi. Walau Diana belum tahu akan diajak ke mana, Diana mengiyakan saja. Asal setelah ini ia dan lelaki itu memiliki hubungan yang lebih dekat. 

Pengendara sedan mewah itu mengenalkan dirinya sebagai Renjana. Mereka akhirnya saling menyebutkan nama satu sama lain. 

"Ayo, minum lagi!" teriak Renjana di dekat telinga Diana. 

Renjana membawa Diana ke sebuah kelab malam. Lebih dari satu jam mereka menghabiskan waktu di meja bar. Renjana mengajak Diana minum. Mulanya Diana menolak, tampak sangat ragu sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk meminumnya. 

"Jangan bilang, kamu belum pernah minum?" Ditanya begitu Diana menjadi gugup. 

Dia tidak boleh kelihatan seperti orang yang belum pernah pergi kelab dan minum alkohol. Jelas saja Diana tidak ingin kehilangan lelaki kaya di depannya. 

"Tidak mungkin." Diana mengibaskan tangan ke udara. "Tentu saja aku sudah terbiasa." 

Jadilah Diana mabuk sekarang. Dia takut ketahuan belum pernah ke kelab, lalu akan kehilangan kesempatan menggaet seorang lelaki kaya. Maka dari itu Diana akan melakukan apa saja. 

Renjana turun dari kursinya, lalu menghampiri Diana di kursinya. Ia menepuk Diana yang kini tidak sadarkan diri karena terlalu banyak minum. 

Setelah membayar minumannya kepada bartender, lelaki itu membawa Diana pergi dari sana. Tujuan utama Renjana sekarang adalah membawa gadis itu ke sebuah ranjang dan menghangatkannya. 

Sampai di sebuah kamar yang telah ia sewa, Renjana merebahkan Diana ke atas ranjang besar. Lelaki itu tidak berhenti menyeringai dan membuka satu per satu kancing kemejanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status