Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan.
Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur."Pasti kamu sangat senang, bukan?"Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak tahu siapa dia. Dokter tidak mau memberitahuku tadi."Prita mengelus-elus tangan putranya. "Ya sudah tidak apa-apa yang penting kamu sudah mendapatkan donor."Akarsana mengangguk. Sekarang perasaannya lega dan bisa memulai lagi kehidupannya secara normal dan mencari keberadaan Naomi."Mama pulang dulu untuk menyampaikan kabar gembira ini secara langsung pada saudara-saudaramu," ujar Prita yang masih nampak begitu bahagia.Akarsana mengangguk dan menatap punggung ibunya sampai menghilang dibalik pintu.***Di rumah keluarga Maheswara, Prita berpapasan dengan Kayla. Tentu saja Prita segera mengatakan kabar gembira tersebut kepada saudara kembarnya. Kayla ikut merasa senang mendengarnya. "Selamat, Prita! Aku ikut senang mendengarnya. Semoga operasinya berjalan dengan lancar dan Akarsana bisa hidup dengan normal." Prita menyipitkan matanya. Entah kenapa Prita merasa tersinggung dengan kata-kata saudara kembarnya. "Maksud kamu Akarsana bukan orang normal selama ini, Kayla?!" Prita tiba-tiba marah. "Anakku dari dulu normal! Dia tidak idiot," maki Prita. Kayla diam karena bingung. Ada yang salah dengan kata-katanya? Kayla mengucapkan doa baik dengan perasaan yang tulus. Tidak berniat membuat saudara kembarnya tersinggung. "Aku tahu, selama ini kamu berharap Akarsana tidak selamat, lalu mati, kan? Itu keinginan kamu selama ini? Kamu pikir aku tidak tahu isi kepalamu!" tunjuk Prita penuh amarah.Perdebatan, pertengkaran antara kedua saudara itu sering terjadi di rumah itu. Selama ini Kayla tidak pernah ambil pusing mengenai sikap Prita padanya. "Prita, kamu ini kenapa sebenarnya? Aku tulus mendoakan kesembuhan Akarsana. Salahku di mana? Kenapa kamu malah marah-marah?" Kayla jengah juga lama-lama. "Sekali pun aku tidak pernah menginginkan Akarsana meninggal seperti yang kamu ucapkan. Aku juga menyayangi Akarsana seperti anakku sendiri." "Halah! Tidak usah pura-pura lagi! Aku tahu sebusuk apa hatimu, Kayla!" Prita tetap pada pendiriannya. Di matanya, Kayla itu nenek sihir. "Terserah kamulah, Prita! Aku lelah menghadapi sifat burukmu ini. Kamu selalu beranggapan bahwa aku berniat buruk kepadamu dan anak-anakmu." "Karena kenyataannya memang begitu!" sembur Prita semakin menjadi-jadi. Sofia yang baru saja datang melihat kembali pertengkaran ibu dan tantenya. Gadis itu berusaha melerai."Sudah kalian jangan bertengkar lagi. Tidak enak di dengar tetangga, meskipun Sofia tahu tetangga tidak akan bisa mendengarnya, karena jarak rumah tetangga dan rumah tantenya berjarak ditambah lagi rumah mereka yang besar.Pertengkaran mereka berakhir. Setelah semuanya tenang kembali, Prita memberitahu Sofia tentang kabar baik Kakaknya."Benarkah itu, Ma?" seru Sofia kegirangan.Prita mengangguk."Syukurlah Kak Akarsana akan segera sembuh."*** Sedari tadi Diana melirik arloji di tangan kirinya. Tidak hentinya gadis itu uring-uringan, karena angkutan umum yang ia tunggu sejak tadi tidak kunjung muncul. Kaki Diana sudah pegal sekali ingin segera pulang dan beristirahat di kamar, namun angkutan umum yang ditunggunya tidak kunjung muncul juga. "Duh! Lama banget, sih! Kaki aku sampai pegal karena berdiri dari tadi." Diana mendumel sambil menggerakkan kakinya untuk mengurangi rasa pegal. Lagi-lagi Diana mengkhayal bagaimana seandainya Diana terlahir dari keluarga kaya raya. Ia tidak perlu menunggu angkutan umum sampai lelah begini. Ke mana-mana pergi mengendarai mobil. Tidak khawatir takut telat masuk kampus. Namun sayangnya, itu cuma khayalan Diana saja, karena fakta yang sebenarnya, Diana terlahir dari keluarga miskin! Diana membenci fakta itu. Diana mengentakkan kakinya sangat kesal. Kapan ada keajaiban datang dalam kehidupannya? Jujur saja dia sudah muak hidup sebagai orang miskin! Sepasang mata Diana nenyipit saat sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat di depannya. Diana menundukkan punggung, menatap si pengendara. Tadinya Diana pikir pemilik mobil itu ingin menanyakan sebuah alamat padanya. "Hai, boleh kenalan? Mau ke mana, cantik?" Diana terpana untuk sesaat. Selain mobil yang dikendarai lelaki itu kelihatan mahal dan baru, pemilik mobilnya juga sangat tampan. Diana melirik mobil di depannya sekali lagi. Dalam hati gadis itu berkata "Kesempatan yang bagus. Kapan lagi dapat gebetan dari keluarga kaya?" Salah satu keinginan Diana yang dianggap bisa mengeluarkannya dari kemiskinan dengan cara memacari lelaki kaya raya dan kesempatan yang baru saja datang padanya tidak boleh ia sia-siakan. Dengan sukarela gadis itu menghampiri mobil lelaki itu. Tanpa basa-basi Diana mengatakan bahwa ia hendak pulang. "Jangan langsung pulang, deh. Bagaimana kalau kamu ikut denganku dulu? Kita bisa senang-senang." Lelaki itu menaik turunkan alisnya. Diana mengulum senyum penuh arti. Gadis itu dipersilakan masuk ke dalam mobil. Ia mengambil duduk di samping kursi kemudi. Walau Diana belum tahu akan diajak ke mana, Diana mengiyakan saja. Asal setelah ini ia dan lelaki itu memiliki hubungan yang lebih dekat. Pengendara sedan mewah itu mengenalkan dirinya sebagai Renjana. Mereka akhirnya saling menyebutkan nama satu sama lain. "Ayo, minum lagi!" teriak Renjana di dekat telinga Diana. Renjana membawa Diana ke sebuah kelab malam. Lebih dari satu jam mereka menghabiskan waktu di meja bar. Renjana mengajak Diana minum. Mulanya Diana menolak, tampak sangat ragu sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk meminumnya. "Jangan bilang, kamu belum pernah minum?" Ditanya begitu Diana menjadi gugup. Dia tidak boleh kelihatan seperti orang yang belum pernah pergi kelab dan minum alkohol. Jelas saja Diana tidak ingin kehilangan lelaki kaya di depannya. "Tidak mungkin." Diana mengibaskan tangan ke udara. "Tentu saja aku sudah terbiasa." Jadilah Diana mabuk sekarang. Dia takut ketahuan belum pernah ke kelab, lalu akan kehilangan kesempatan menggaet seorang lelaki kaya. Maka dari itu Diana akan melakukan apa saja. Renjana turun dari kursinya, lalu menghampiri Diana di kursinya. Ia menepuk Diana yang kini tidak sadarkan diri karena terlalu banyak minum. Setelah membayar minumannya kepada bartender, lelaki itu membawa Diana pergi dari sana. Tujuan utama Renjana sekarang adalah membawa gadis itu ke sebuah ranjang dan menghangatkannya. Sampai di sebuah kamar yang telah ia sewa, Renjana merebahkan Diana ke atas ranjang besar. Lelaki itu tidak berhenti menyeringai dan membuka satu per satu kancing kemejanya.Kepala Diana berdenyut hebat. Ia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti remuk, Diana sontak meringis saat menggerakkan kedua kakinya. Hawa dingin seketika menyapa kulit tubuhnya. Diana tanpa sadar menyentuh lengannya, kemudian kebingungan sendiri, karena saat ia tidak mengenakan apa-apa. Tubuh Diana dibungkus selimut tebal. Di sampingnya ada Renjana sedang tertidur pulas. Diana panik, ia memegangi kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Diana menggigit ujung jarinya. Ia memukul kepalanya sendiri dengan gemas karena tidak kunjung mengingat apa pun. "Apa yang terjadi? Aku dan Renjana ....," gumam Diana menggigit bibir bawahnya. Renjana sama sekali tidak bergerak di atas tempat tidur. Diana hanya mendengar dengkuran halus dari lelaki tampan itu. Diana memungut bajunya di lantai, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari menunggu Renjana bangun, Diana akan mandi lebih dulu. Baru setelah itu meminta pertanggungjawaban lelak
Pelangi menekan bel sekali. Ia menunggu dengan tenang di pintu sembari menunggu pemilik rumah membukakannya. Tidak menunggu terlalu lama, Pelangi mendengar suara kunci yang dibuka dari dalam. Pelangi menggerakkan kedua kakinya berjalan mundur ke belakang bersamaan dengan pintu dibuka. Pelangi dan si pemilik rumah sama-sama tersenyum ketika keduanya saling menatap. Pelangi mengangguk kecil menyapa Kayla. Wanita itu mengajak Pelangi masuk ke dalam rumahnya untuk mengobrol. "Kita ngobrol di taman belakang yuk, Pelangi," ajak Kayla berjalan di depan. "Oh, ya. Kamu mau minum apa? Bagaimana perjalanannya tadi? Kamu naik apa?" tanya Kayla panjang lebar. "Lumayan macet, Bu. Tadi saya kemari naik angkutan umum." Pelangi menjawab sambil tersenyum. "Saya minum air putih saja sudah cukup, kok." Kayla melangkah ke arah dapur. "Lho, jangan air putih saja dong! Di sini ada banyak minuman yang lebih enak. Saya buatkan jus buah saja, ya?" "Apa tidak merepotkan, Bu?" tanya Pelangi. "Sama
"Iya, Om Ardi. Wanita itu mirip Josefina, tapi aku belum bertemu langsung dengannya." "Jika kamu sudah kembali bertemu dengannya segera hubungiku." "Baik." Ginny memutuskan sambungan teleponnya. Ardiyanto sangat penasaran seberapa mirip perempuan itu dengan Josefina, karena Ginny menceritakannya dengan penuh keyakinan. Marien melihat suaminya keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang bingung. Marien menyapa Ardiyanto mengajak lelaki itu untuk minum teh bersama di ruang keluarga. Ardiyanto mengiyakan, mengikuti langkah Marien yang ada di depan. Pasangan suami dan istri tersebut telah duduk di sofa panjang, bersebelahan. Marien menyodorkan secangkir teh kepada suaminya, tapi Ardiyanto kelihatan seperti orang linglung. "Pa?" Marien menegur Ardiyanto. Lamunan Ardiyanto pun buyar. Ia menerima cangkir yang diberikan Marien kepadanya. "Terima kasih." Ardiyanto menyesap tehnya dengan hati-hati. "Tidak mungkin. Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh? Tehnya?" tanya Marien. Ard
Prita baru saja tiba di rumah sakit keesokan harinya dan menemui dokter terlebih dahulu sebelum menemui Akarsana di ruang perawatannya. Di ruang dokter, Prita mendapat kabar bagus yang disampaikan oleh dokter yang akan menangani Akarsana selama di meja operasi. Dokter telah menentukan jadwal operasi Akarsana. "Dua minggu lagi." Sepasang mata Prita seketika berbinar. Bibir wanita itu yang dipoles merah menyala tampak tertarik, membentuk sebuah senyuman lebar. Ia begitu bahagia, karena sebentar lagi Akarsana akan sembuh setelah melakukan operasi. "Terima kasih." Prita mengucapkan dua kata itu lagi sebelum menghilang di balik pintu ruangan dokter. Prita mempercepat langkah. Wanita itu berjalan riang, perasaannya lebih ringan, kini Prita tidak menahan beban, karena memikirkan kesehatan Akarsana lagi. Tangan kanan Prita menggapai gagang pintu ruang perawatan Akarsana. Ia membukanya dengan cepat, berjalan menghampiri ranjang Akarsana. Putranya sedang berbaring sembari menatap ke
Diana bisa menghela napas lega sekarang. Lelaki yang dia cari selama ini kini tengah duduk di sebelahnya sembari menyetir mobil. "Kalau kamu memang sedang sibuk harusnya bilang sejak awal. Supaya aku tidak berburuk sangka sama kamu." Diana mengatakannya dengan nada merajuk. "Kamu tiba-tiba menghilang tidak ada kabar. Teleponku sama sekali tidak kamu respons. Siapa yang tidak curiga?" desak Diana. Renjana menahan geram dengan tingkah laku Diana. Siapa juga yang mau bertanggung jawab kepada gadis itu. Dia cuma pura-pura saja agar Diana tidak terus mengganggunya. Siapa yang tidak terkejut melihat Diana ada di depan gerbang kampusnya. Diana bahkan memarahinya di depan umum dan membuatnya seketika menjadi panik. Akhirnya Renjana membuat siasat dengan mengiyakan permintaan Diana dan bersedia bertanggung jawab. Daripada nantinya dibuat malu lebih baik Renjana pura-pura saja. "Maaf, Diana. Aku terlalu sibuk sampai tidak pegang ponsel," jawab Renjana. "Biasanya aku akan menyimpan pon
Marien memberi Winarto sebuah tugas melalui telepon. Lelaki berusia lima puluh tahun itu baru saja tiba di Bandung, tempat temannya tinggal dulu, Danurdara. Iya, Danurdara adalah teman Winarto yang dia titipkan putri dari mendiang Josefina di masa lalu. Kedatangan Winarto ke Bandung jelas bukan tanpa sebab. Dia mencari bayi Josefina. Winarto tiba di sebuah pemukiman dan sudah lama sekali tidak datang kemari. Ada banyak sekali perubahan di sana. Winarto harus mengingat lagi keberadaan rumah Danurdara. Winarto memasuki sebuah gang kecil. Dia mulai ingat dimana letak rumah Danurdara berada. Namun, saat Winarto sampai di tempat yang dia tuju, dia terkejut karena Danurdara ternyata sudah pindah cukup lama. "Pindah?" pekik Winarto terkejut. Seorang tetangga menghampiri Winarto yang kelihatan kebingungan sejak tadi. "Iya, Pak. Sejak rumahnya kebakaran, Pak Danurdara pindah dari sini." Winarto mendesah dan merasa putus asa. "Bapak tahu di mana Pak Danurdara beserta anak-anaknya pin
Hari ini Pelangi datang ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya. Perempuan itu mengajak ayahnya mengobrol berdua. Berbicara tentang apa saja asal ayahnya tidak merasa kesepian. Danurdara menjawab setiap pertanyaan Pelangi dengan linglung. Lelaki setengah baya itu sedang menimbang. Apakah ia perlu memberitahu Pelangi sekarang? Danurdara telah lama menyimpan rahasia ini dari Pelangi beserta kedua saudaranya. Mulanya Danurdara ingin menyimpan rahasia itu saja sendiri. Namun, melihat Pelangi kesusahan karena dirinya, Danurdara menjadi tidak tega. Tidak seharusnya Pelangi hidup susah seperti ini. Mungkin sudah saatnya perempuan itu tahu asal-usulnya. Danurdara tidak tahan menyembunyikan rahasia ini. "Pelangi, Ayah mau—" Pelangi menatap ayahnya. Namun, belum sempat pria itu berkata pada sang putri, seorang dokter baru saja masuk ke dalam ruang perawatan Danurdara. "Yah, aku tunggu di luar, ya." Pelangi pamit kepada Ayah dan dokter. Dia tidak mau mengganggu dokter yang memeriksa kea
Naomi sedang membongkar isi lemarinya. Tanpa sadar perempuan itu menjatuhkan sesuatu dari dalam lemari. Sebuah ponsel lama miliknya yang sudah tidak pernah ia aktifkan setelah tinggal di New York. Naomi, mantan calon istri Akarsana kini tinggal di New York dan memilih menikahi lelaki asing, jadi Naomi tidak berniat kembali kepada Akarsana sekalipun lelaki itu berlutut dan mencium kakinya. Ia menggenggam ponsel lamanya sembari berjalan ke arah tepi ranjang. Tiba-tiba ia penasaran siapa saja yang menghubunginya setelah pindah kemari. Baterai ponselnya telah habis. Naomi mengisi daya baterainya lebih dulu sembari menunggu baterai terisi sedikit demi sedikit. Ia mendengar suara denting ponselnya mulai berisik. Satu persatu pesan masuk setelah Naomi menyalakan ponselnya. Ia membuka kotak pesan. Sebagian cuma teman-teman yang berbasa-basi menanyakan kabar, ada juga yang berniat ingin pinjam uang, dan ada satu nama yang memenuhi kotak pesan di ponselnya. Akarsana. Naomi mendesah panjang