Share

07. Obrolan di Dapur

Aresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini.

Ceklerk

Tertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu.

"Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum.

"Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan.

"Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu singgah di ranjang dan memperhatikan Venus yang pulas.

"Venus tidur sangat nyenyak. Tetapi tuan Syahfiq menemuiku dan memintaku mamantaunya bersamamu ...," ucap wanita berambut pendek itu dengan lirih. Seperti bergumam pada Aresha.

"Tuan Syahfiq mungkin belum percaya padaku, Bu. Saya masih pengasuh baru untuk Venus," sahut Aresha juga lirih.

"Baiklah Nona Aresha, kamu tidurlah dengan Venus di ranjang. Aku akan tidur di sana," ucap Wanita gemuk sambil menunjuk sebuah matras tebal di pojok kamar. Kemudian mengambil bantal sebuah dari ranjang. Aresha buru-buru menangkap tangannya.

"Bu, namamu siapa? Bisakah memanggilku dengan nama saja? Juga tidurlah di ranjang, di itu sangat luas. Bahkan muat untuk lima orang." Aresha menahan gerak wanita itu dengan berbicara sangat lirih.

"Baiklah, kupanggil namamu saja, Aresha. Namaku, Salamah. Panggil saja Mak Sal. Tetapi aku akan tetap tidur di sana, ranjang itu terlalu empuk. Aku justru akan susah tidur nantinya," jelas wanita gemuk yang bernama mak Salamah.

"Mak Sal tidak masuk angin?" Aresha sungguh merasa risau akan mak Sal. Sebab merasa jika dirinya paling tidak bisa tidur di lantai. Selain sangat keras, sebab juga dingin dan masuk angin. Ranjang empuk dan hangat adalah sarana tidur idolanya.

"Jangan khawatir, Aresha. Mak Sal sudah lihai dan terbiasa tidur di lantai." Mak Sal segera menjauh dan merebah diri di matras pojok kamar. Tidur miring menghadap tembok dan menunjukkan punggung saja. Namun, Aresha sempat melihat jika mata wanita itu berair saat berbicara dan lalu berpaling.

Rasanya iba juga, mungkin teringat pada baby sitternya Venus yang lama. Rekan kerjanya yang juga tiada bersama sang majikan. Mak Sal pasti sedang merasa sangat sedih.

Meski perasaannya sudah jauh lebih tenang sebab adanya mak Sal menemani di kamar, kedua mata Aresha tetap saja terjaga. Berkedip-kedip memandang bayi Venus dan punggung mak Sal bergantian. 

Berpikir juga pada si paman dingin, Syahfiq Herdion. Menduga barangkali mak Sal disuruhnya ke kamar Venus demi membuat Aresha jadi tenang dan tidak lagi merasa takut. Namun, lelaki itu beralasan pada mak Sal sebab Venus. Jika seperti itu, ternyata Herdion adalah pria yang cukup responsif dan memiliki empati yang baik. Hanya saja memang angkuh dan kaku sekali model orangnya.

Aresha yang akhirnya sempat tertidur, terbangun bukan sebab alarm. Namun, sebuah hantaman lembut yang berkali-kali di perut. Ternyata, baby Venus sedang menendangi perutnya dangan melonjak-lonjak dan tertawa. Mulutnya juga mengeluarkan bunyi gumam-gumaman nyaring tidak jelas. Keterkejutan Aresha melayang bersama rasa gemas akan kelucuan bayi Venus yang gembira.

"Selamat pagi Venus, apa kamu sudah mengucap doa bangun tidur. Ayo kita doa bareng-bareng...," ucap Aresha langsung saja bersemangat. Rasa lelah dan pening saat bangun tidur seperti biasanya, sama sekali tidak ada. Senyum Venus seperti sihir bahagia baginya.

"Ayo kita cari minum di dapur ya, Venus. Tante haus banget ...," ucapnya setelah berdoa dan sambil turun ranjang.

"Ma ... Mamma ...," sahut Venus tiba-tiba. Raut dan ekspresi wajah lucu itu cemberut dan terlihat tidak suka. Aresha pun terkekeh karenanya.

"Kamu tidak suka panggil aku dengan tante? Maumu, mama? Ya udah, yuk, gendong mama ke dapur," bujuk Aresha yang kemudian meraup bayi Venus di gendongan.

Aresha pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya dan Venus. Hanya sebasuh dua basuh yang sekadar untuk menyegarkan. Kemudian bergegas keluar tanpa mengelapnya. Menyadari jika dirinya tidak membawa baju dan handuk selembar pun.

Mak Sal terlihat tenang dengan tidur miring, tidak terusik oleh percakapannya bersama Venus. Jam di dinding yang menunjuk angka antara empat dan lima itu sempat diliriknya sebelum menyelip diri keluar dari kamar.

Lampu dapur yang semalam sudah dimatikan oleh Siti Yasmin, kini kembali terang benderang. Aresha menduga jika wanita itu sudah kembali ke dapur sepagi ini. Jiwa cipta konsumsi akan melekat pada wanita, meski sekaya dan setua apa pun. Juga, di manapun mereka berada.

Ternyata bukanlah yang diduga, justru Hisam orang yang sedang di dapur sana. Lelaki itu segera berdiri saat Aresha melewati pintu dan terkejut melihatnya.

"Aresha ... kalian sudah bangun? Venus, kamu sedang gembira?" Hisam bertanya sambil memandang Aresha sekilas kemudian saksama pada Venus. Bayi aktif itu sedang menarik-narik lengan baju Aresha sambil tersenyum-senyum lebar. Tampak gembira berada di gendongan gadis itu.

"Iya, Pak Hisam. Aku dibangunkan Venus, perutku ditendang-tendangnya. Dia atraktif sekali," ucap Aresha sambil memandang Venus dengan gemas.

"Ha... ha... ha, benarkah dia seganas itu padamu? Kenapa jika denganmu dia nakal? Tetapi jika denganku nangis terus, haaah...?" Hisam berbicara pada Aresha namun dengan wajah memandang Venus sangat dekat. Wajah putih dan tampan lelaki itu penuh senyum sangat lebar,  menggoda Venus yang telah dihadapkan ke depan oleh Aresha. 

"Ehemm...!" 

Senyum canda di wajah Aresha dan Hisam pun pudar seketika. Seorang pria gagah dengan baju koko dan bersarung, tengah masuk ke dapur dan mendekati kedunya. Rambutnya terlihat sempurna tanpa peci yang menutup di kepala.

"Hisam, kamu di sini? Kenapa tidak turun ke  bawah untuk subuhmu?"

Pria gagah itu adalah Herdion. Berjalan lebih mendekat dan menghampiri Aresha. Tentu saja untuk mengacak rambut Venus dengan jari-jarinya yang panjang. Kali ini Aresha tidak begitu tegang dan was-was. Semakin paham jika Herdion adalah lelaki prefect yang baik. Berharap waktu itu Herdion bertingkah tidak sengaja.

"Aku lambat bangun dan sudah akan turun, Bang. Namun, ketemu Venus di sini, membuatku jadi lupa," sahut Hisam sambil menyambar sebuah cangkir. Mungkin hanya sekadar berisi air putih.

"Tunggu Hisam. Aku ingin bicara sebentar," ucap Herdion saat Hisam akan menuju pintu dapur setelah mencium pipi Venus sekilas.

Hisam berbalik dan kembali agak mendekati Herdion. Memandang lelaki berekspresi datar itu penuh tanya. Sambil meneguk isi minuman dari cangkir yang sedikit dan meletaknya ke meja.

"Hisam, pagi ini aku akan menjenguk adikku sekaligus menyelesaikan gunungan kerja di pulau Marina. Tolong kamu handle urusan kirim doa untuk seluruh almarhum hingga segalanya selesai dan beres. Juga segala santunannya. Setelah itu susullah aku dan tolong bawa pulang orang tuaku sekalian," ucap Herdion menjelaskan.

"Sendirian?" tanya Hisam merespon. Seolah sudah maklum dan tidak merasa keberatan akan tidak adanya Herdion di acara penting keluarga. Sepertinya hal seperti itu sudah sering terjadi.

"Venus akan bersamaku di pulau Marina," jawab Herdion dengan tegas.

"Aresha!?" tanya Hisam merespon dengan cepat.

"Dia pun, Hisam. Dialah yang akan membawa Venus. Aku sudah membayarkan upahnya selama satu minggu," sahut Herdion dengan tenang.

Lelaki itu menyambar cangkir dari etalase penyimpanan pecah belah. Menuang air dan meminumnya dengan santai. Tidak peduli akan pandangan Hisam yang terlihat kaget dan kesal padanya.

🍓🍓🕸🕸🍓🍓

         

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status