Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja."Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana."Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan lua
Bedug maghrib sayup bertalu dari sebuah masjid nun jauh di seberang. Menyusul alun adzan yang juga sayup setelahnya. Pulai Marina sedang membangun sebuah masjid untuk fasilitasnya. Sedang sebelumnya telah ada sebuah mushola kecil saja sebagai fasilitas. Sebab di awal pembukaan, hanya sedikit orang-orang yang berminat menghuni di sana. Sedang sekarang, sudah melimpah ruah jumlah penghuni yang tinggal.Meski status mereka hampir sama, yakni sebagai warga pendatang sementara alias sebagai investor tanah dan bangunan. Belum ada sistem pemerintahan serta perwakilan daerah sendiri di sana. Semua masih dikelola oleh pihak investor pusat yang menyewa pada pemerintahan pulau Batam.Herdion menutup smart phone canggihnya setelah menyimaknya cukup lama. CCTV pemantau beberapa kali diputar ulang di bagian teras rumah besar. Terlihat jelas bagaimana cara adik lelaki tersayang memeluk erat Aresha dari belakang. Apa yang dikatakan gadis itu sangat benar seluruhnya. Taufik sedang mengalami pubertas
Ruang kerja Herdion memang di dalam kamarnya. Lebih tepat lagi harus menyeberangi isi dalam kamar. Kini Aresha telah bersama pemiliknya di ruang kerja yang menghadap laut lepas di bawah sana. Kamarnya menghadap sisi belakang rumah.Ternyata, kamar Herdion berada di atas kamar Aresha dengan tangga tersembunyi di balik dapur. Entah kenapa, sebagaian kamar di rumah ini di desain mengelilingi ruang dapur. Lalu, di mana kamar Taufiq?"Aresha, kamu tidak ingin duduk?" Herdion menegur setelah agak lama Aresha hanya mengamati dan berdiri. Sedang kursi di depan meja lelaki itu diabaikan."Aku sudah duduk," ucap Aresha. Lelaki di depannya tidak lantas bicara setelah dirinya duduk sekian detik dari tadi."Baiklah, akan kumulai bincang denganmu, Aresha," ucap Herdion tanpa memandang lawan bicaranya."Soal Taufiq yang sempat berkelakuan meresahkan denganmu, aku sebagai abangnya minta maaf dan menyayangkan. Juga mewakili keluargaku, minta maaf yang besar padamu," ucap Herdion yang kali ini sambil m
Sejak revisi kerja bersama waktu lalu, belum sekali saja Herdion terlihat kelebatnya. Siti Yasmin bilang sedang mengurusi banyak masalah serta setumpuk pekerjaan. Memang seperti itulah kebiasaan si putra sulung, waktu dihabiskan di luaran. Wanita itu juga mengeluh sekilas akan hal pribadi anak lelaki, logikanya ... susah dipercaya jika seorang pria mapan, tampan dan hartawan, betah melajang tanpa satu pun wanita. Namun, seperti itulah nyatanya. Sang mama begitu yakin jika Herdion adalah lelaki bersih dan lurus. Kukuh jika putranya adalah lelaki normal yang tidak sembarang bermain wanita."Baiklah, Mama keluar dulu. Mata tua ini sangatlah mengantuk. Diabetes di tubuhku benar-benar sangat mengganggu." Siti Yasmin berdiri dari duduk di ranjang Venus yang sudah lumayan lama. Baru saja berbincang nyaman dengan Aresha saat Venus terlelap di ranjang khusus bayi."Iya, Bu. Terima kasih sudah ditemani mengobrol dan menjaga Venus," sahut Aresha yang juga turun dari ranjang. Ingin mengantar wani
Aresha masih berdiri di dapur bersama Herdion saat terdengar jelas bunyi suara Venus yang bangun. Hanya ocehan dan gumaman, bukanlah tangisan. "Permisi, Pak," pamit gadis itu melewati sang tuan.Berjalan cepat menuju kamar, pintunya tidak jauh dari dapur dan menghadap kolam renang. Pintu yang telah dibuka dan akan ditutup kembali setelah menyelip diri ke dalam, terasa terpental. Ternyata tangan besar lelaki itu sedang menahannya.Hal yang memang sering dilakukan Herdion saat berada di rumah. Memantau langsung bayi Venus di kamar. Meski kehadirannya hanya berdiri, mengamati dan pergi, cukup membuat Aresha merasa sedikit senam jantung saja terasa. Sejinak apapun sang atasan, pasti juga masih timbul rasa segan dan was-was. Resah andai dijumpai kesalahan sekecil pun saat bekerja!Bayi cantik itu telah lelap kembali meskipun sempat tersenyum-senyum dan memainkan kedua kaki serta kedua tangan mungilnya. Sebotol susu penuh nutrisi dengan kandungan padat gizi, telah cukup mengganjal perut si
Rengek tangis Venus seketika redam dan senyap. Bayi itu menelungkup di pundak Aresha dengan sisa isak dari hidung merahnya. Sedang Miana, telah berlalu pergi saat datangnya Herdion dan Taufiq di antara mereka di taman. Berlalu diam, tanpa izin pada Hisam, abangnya. "Ehemm! Maaf, Bang Fiq. Aku ingin meminta Aresha untuk bersiap. Akan kubawa Venus ke Nagoya. Oma dan Opanya sudah sangat rindu," ucap Hisam tampak buru-buru."Kalian menginap di rumah Venus?" Herdion memicingkan matanya."Iya, Bang. Venus belum memiliki dokumen untuk perjalanan ke luar negeri. Sementara ini aku akan mengurusinya. Minggu depan biar bisa kubawa menyeberang. Aresha, apa kamu sudah memiliki passport?" Hisam menatap lekat Aresha."Sudah, tetapi hilang. Belum kucari," sahut Aresha. Meski sangat ingat jika passport-nya tidak hilang, tetapi ada di rumah orang tua."Sekalian kita uruskan saja punyamu nanti," sahut Hisam."Ah, tidak perlu, Pak Hisam. Lagi pula saya tidak berminat bepergian ke luar negara," sahut Ares