Aresha merasa tegang dan menahan cemasnya. Sikap Herdion membuat perasaan jadi was-was . Sangat khawatir andai jari panjang itu kembali bertingkah tidak sopan di dadanya. Apapun alasan, itu sudah dianggap pelecehan jika tanpa ucapan minta maaf.
Sangat lega, tangan itu telah menjauh. Diikuti badan Herdion yang juga mundur selangkah. Kembali memandang Hisam sekian detik di wajah putihnya."Hisam, untuk apa terlalu menawar? Apa kamu tidak risih mendengar tangis ponakanmu? Kenapa kamu tidak mengantar gadis itu menemuiku saja? Atau kamu sendiri yang menyampaikan keinginannya padaku?" Syahfiq Herdion bertanya dengan pandangan kaku pada Hisam."Kupikir sudah tidur. Ini sudah sangat larut malam, Bang," sahut Hisam dengan nada yang canggung."Justru sudah larut malam, Hisam. Tidak baik menahan wanita yang belum jelas siapa lebih lama di sini." Syahfiq mengalihkan pandangan dari Hisam pada Aresha."Ikutlah denganku, Nona. Siapa namamu?" tanya Syahfiq. Memandang Aresha dengan picingan matanya."Aresha," sahut Aresha pendek. Lelaki itu mudah lupa pada sebuah nama yang dianggapnya tidak penting. Padahal Hisam sudah mengenalkannya sore tadi."Ikutlah ke ruang kerjaku, Nona Aresha."Lelaki gagah itu telah berbalik badan dan berjalan lambat keluar kamar. Seolah sedang menunggu Aresha mengikuti agar tidak ketinggalan jejaknya."Pak Hisam, saya permisi." Aresha berpamitan pada lelaki yang berdiri mematung memandangnya. Hisam pun mengangguk."Maaf, Aresha," ucap Hisam saat Aresha berlalu dengan bayi Venus yang masih terus didekap gadis itu. Kakinya berjalan pelan mengikuti keluar kamar. Hisam menutup pintu pelan dan meninggalkannya.Ucapan minta maaf lirih itu Aresha mendengarnya. Berpikir bahwa Hisam memang ingin membayarnya sendiri untuk merawat bayi Venus. Padahal Syahfiq Herdion telah terus terang ingin mengulurkan dana sendiri untuk keponakan mereka. Apa tujuan Hisam...."Silahkan masuk, Nona Aresha."Aresha melewati lelaki yang sedang menahan daun pintu dengan punggungnya. Membiarkannya masuk dan menggeser diri hingga pintu menutup sendirinya."Duduklah jika ingin," ucap Syahfiq Herdion dengan datar. Lelaki itu duduk di depan meja di depannya."Terima kasih," sahut Aresha.Aresha pun menghempas diri di kursi empuk dengan meja sebagai penyeberang mereka. Memundurkan lagi kursi sebab Venus sedang di pangkunya, menghindarkannya dari posisi terhimpit. Lelaki di kursi seberang terus memandang dengan tatapan yang datar. "Aku tidak ingin bertele-tele, Nona Aresha. Katakan lagi padaku, berapa yang kamu inginkan?" Syahfiq menatap Aresha dengan tegas. Mata di wajah cantik itu seketika menyipit."Asal Anda paham, Pak Herdion, ini sebenarnya tidak pernah kuinginkan. Tolong berbicaralah lebih sopan," sahut Aresha dengan cepat.Syahfiq seketika mengatup rapat bibirnya. Menaikkan kedua alis dan tersenyum masam kemudian."Tidak munafiq, sangat kubutuhkan relamu untuk mengurus keponakanku, Nona Aresha. Aku menghargai jerih payahmu dan akan memberimu gaji sebagaimana kamu bekerja pada Jack. Sekarang, katakan lagi padaku, berapa harus kubayar tenagamu untuk Venus?" Herdion berbicara yang menurut dia lebih baik dan detail."Sebenarnya aku jauh lebih menyukai bekerja pada pak Jack," sambut Aresha sengaja mengulur. Syahfiq membanting punggung di sandaran kursi besarnya."Segera katakan berapa kompensasi yang kamu ingin? Lupakan sementara atasan dan tempat kerjamu itu," ucap Syahfiq tegas dengan mengangkat alis tebalnya. Aresha paham memang begitu sifatnya. Tidak mungkin berbicara lebih lembut sedikit. Hanya nada tegas sajalah favorit dari gaya ucapannya."Permisi Pak Herdion, jika Anda setuju, aku hanya ingin satu juta per malam Anda berikan. Bagaimanapun, pekerjaan merawat bayi adalah hal baru sekaligus perlu mental yang bagus. Aku pun belum pernah melakukannya sebelum ini. Sebetulnya aku belum punya pengalaman," sahut Aresha menguatkan dirinya. Hati berdebar menunggu sahut bicara lelaki di depannya."Saat ini bukan pengalaman yang kucari. Namun, orang yang bisa menenangkan keponakanku. Jika ada yang lain yang sepertimu dan berpengalaman, aku sudah pasti mengambilnya. Sayangnya belum ada," tutur Syahfiq. Kali ini dengan nada yang datar. Permintaan Aresha akan jumlah upah, seperti bukan masalah baginya."Kenapa kamu ingin penghitungan tiap malam? Kenapa tidak penghitungan satu minggu, atau satu bulan?" Lelaki itu kembali bicara sambil mengetik sesuatu di ponselnya."Sebab ... sebab aku tidak ingin terikat. Bagaimanapun, aku masih memiliki banyak rencana dan urusan. Bisa jadi tiba-tiba aku memerlukan waktu untuk urusan pribadiku. Bukankah ini akan lebih mudah?" Aresha sambil membenarkan posisi duduk Venus."Apa kamu sudah memikirkan jika pekerjaan ini adalah dua puluh empat jam?" Syahfiq sedikit merendahkan nada bicara, sepertinya juga baru sadar akan fakta ini."Tentu, bahkan adikku yang saat itu berusia satu tahun pun, disewakan jasa baby sitter dua puluh empat jam oleh mamaku," sahut Aresha dengan yakin.Syahfiq terdiam, memandang Aresha cukup lama. Coba menilai dari penampilan, menduga jika gadis itu bukan dari kalangan miskin. Namun, lelaki itu enggan mengoreknya."Baiklah, bertanda tanganlah. Baca dulu jika ingin. Yang kutuliskan adalah garis isi percakapan kita. Ini hanya kontrak dua minggu. Setelahnya akan kuperbarui kembali," jelas Syahfiq sambil mengulur ponsel pintarnya.Aresha mengambil dan membaca. Alis cantik sedikit lengkung dan alaminya sedang menaut perlahan. Sangat fokus pada isi bacaan di ponsel."Tidak ada kalimat yang menjamin hari cutiku," protes Aresha dengan landai."Itu bisa dibincangkan." Syahfiq tegas menyahut."Selama dua minggu aku harus mendekam di sini?" Protes Aresha dengan pertanyaan cepatnya."Bahkan bukan di sini. Kamu dan Venus akan ikut denganku," ralat Syahfiq tak kalah cepat."Ke mana?!" Aresha menegakkan punggung sambil berseru. Kepala bayi Venus bahkan hampir membentur kisi meja. Segera disandarkan lagi dirinya ke kursi."Jaga gerakanmu, Nona Aresha. Jika kamu gegabah, keselamatan Venus terancam," ucap Syahfiq menegur dengan raut yang kecut."Ke Pulau Marina. Aku sedang ada pekerjaan di sana, rumah keluargaku juga di sana," jelas Syahfiq mendetail."Maksudmu, anak-anakmu dan istrimu?" Aresha merasa berharap hal itu. Membayangkan di tempat jauh dengan lelaki seperti Herdion, rasanya tidak bersemangat dan malas. Bahkan dengan uangnya yang banyak sekali pun. Atau dengan paras rupawannya yang di atas rata-rata."Tidak, hanya dengan orang tua dan adikku," sahut Syahfiq meralat dugaan Aresha."Segeralah bertanda tangan. Kurasa kamu pasti lelah, istirahatlah dengan Venus di kamarnya," ucap Syahfiq kembali. Mungkin sudah sangat ingin mengakhiri perbincangan."Apa aku tidak memiliki kamar sendiri?" sela Aresha cepat."Maaf, untuk sementara tidak. Bukankah sudah kaulihat kamar Venus? Kurasa tidak kurang luas lagi di sana.""Tolong tanda tangan saja segera. Upah jasamu akan segera kukirim malam ini juga," pinta Syahfiq sekali lagi.Aresha tidak segera bertanda tangan, sebab sedang merasa terkejut. Teringat lagi pesan dan ucapan Jack. Andai benar apa yang dikatakan Herdion jika dirinya akan dibayar juga start malam ini, bermakna prediksi Jack tidak meleset. Keroyalan Herdion terbukti bukan isapan jempol belaka."Bayarkan upah jasaku malam ini, Pak Syahfiq. Anda jangan lupa ...," ucap Aresha jual mahal. Sembari mencoretkan jari telunjuk cantiknya di layar ponsel mewah itu dengan ekspres."Pergilah dan temani Venus di kamarnya. Segera kirimkan data akun uangmu di sini."Syahfiq menyodor di meja sebuah kartu nama. Ada nomor email, nomor telepon serta sebuah nomor aplikasi. Lelaki itu berdiri dan keluar dari kursi. Berjalan meninggalkan Aresha yang masih duduk di dalam ruang kerja. Termangu memandang kartu sederhana yang tertera nama Syahfiq Herdion di sana.🕸🍓🕸Harap follow akunku dan subscribe bukuku, yaaTerima kasih beloved readers...🙏Aresha kebingungan saat sudah keluar dari ruang kerja Herdion. Lupa benar-benar ke arah mana harus kembali ke kamar Venus. Berharap bayi dalam gendongan terus saja terlelap. Hingga kakinya berjalan dan melewati banyak pintu.Sebuah ruangan tanpa daun pintu yang kemungkinan adalah dapur dengan lampu terang benderang menyala. Seorang wanita setengah baya sedang di sana dan membelakangi Aresha. Kemudian berbalik cepat sebab mendengar langkah mendekat. Ekspresi wajahnya terkejut."Haaah...! Kamu sudah datang?! Venus sudah tidur? Pantas sudah tidak menangis." Wanita itu berjalan menghampiri Aresha dengan senyum yang cerah. Seolah malam tidaklah larut."Selamat malam ...," sapa Aresha dengan membalas tersenyum. Mereka pun saling menghampiri. "Hisam bilang namamu Aresha? Aku adalah ibu Syahfiq, Siti Yasmin." Wanita dengan nama Siti Yasmin, ibunda Syahfiq, mengulur tangan untuk bersalaman dengan Aresha."Benar, Bu Yasmin. Saya Aresha," ucap Aresha menyambut. Mereka berdua sangat erat saling b
Aresha beringsut turun dari ranjang, tidak ingin Venus yang nyenyak terganggu oleh gerakannya. Segera melangkah menjauhi ranjang dan memburu pintu. Menghindar akan ketukan berikutnya. Ketenangan tidur si bayi adalah ptioritasnya saat ini.CeklerkTertegun. Bukanlah Hisam, bukan pula Herdion, juga bukan Siti Yasmin. Namun, adalah wanita gemuk agak tua yang sempat dilihat bersama Hisam sebelumnya. Mungkin adalah asisten di rumah itu."Selamat malam. Anda, ada apa?" Merasa jauh lebih muda, Aresha menyapa dahulu dengan sopan. Wanita itu menyambut dengan anggukan dan senyum."Selamat malam, Nona Aresha. Boleh aku masuk? Tuan Syahfiq memintaku untuk ikut menjaga Venus malam ini. Kamu tidak apa-apa?" Wanita gemuk itu memandang Aresha dengan segan."Oh, aku justru suka, Bu. Silahkan masuk," sahut Aresha cepat. Buru-buru menepikan diri menjauhi pintu. Wanita gemuk melenggang masuk melewatinya. Pintu pun kembali ditutupnya merapat. Kemudian mengikuti masuk ke dalam jantung kamar. Wanita itu sin
Syhafiq Herdion merasa tidak tenang saat keluar dari kamar mandi. Sayup terdengar olehnya lengking tangis bayi, menyadari jika itu adalah suara Venus. Kemeja panjang abu-abu tua dipakainya sambil berjalan keluar dari kamar. Menduga jika Venus mulai bosan pada Aresha dan kini teringat pada kedua orang tuanya."Kenapa dia menangis, Mak Sal?" Herdion tidak menjumpai Aresha di kamar keponakannya. Hanya ada mak Sal sedang menggendong Venus yang kembali menangis."Aresha masih ke mushola, sholat subuh, Tuan," sahut mak Sal. Wajah wanita itu terlihat sembab dengan kelopak mata yang bengkak. Herdion menduga jika wanita itu habis menangis yang lama."Kenapa wajahmu sembab?" Herdion bertanya kaku sambil tangannya terulur mengambil Venus dari mak Sal. Meski tidak serta merta berhenti menangis, tetapi bayi itu mencondongkan dirinya pada sang paman. Namun, tangisnya terus saja terdengar."Saya teringat dengan almarhum nyonya dan tuan, serta dua rekan kerja saya," sahut mak Sal dengan menyimpan waj
Perjalanan dari Nagoya menuju Sekupang di wilayah Batam hanya menghabiskan waktu kurang dari tiga puluh menit. Herdion membawa sendiri kendaraannya dengan kencang tanpa istirahat semenit pun. Lelaki berkulit cerah dan berambut tebal dengan hidung runcing itu sangat lihai mengemudi. Aresha hingga tertidur nyaman menyusul Venus yang terlelap di pangkuannya sejak awal keberangkatan sebab kenyang.Meski tidak lupa akan informasi dan pesan Hisam sebelum berangkat padanya, Herdion tidak berhenti dan enggan membangunkan Aresha. Bukan tidak ada toko baju atau juga toko kosmetik di sisi jalan, melihat pulasnya tidur Venus dan Aresha dari kaca, membuatnya kian kencang mengemudi. Ingin segera sampai di tujuan lebih cepat lagi.Pantai Marina di Sekupang yang samar terlihat, pertanda sudah hampir sampai di destinasi. Kecepatan mobil dipelankan, tetapi pandangan mata dipertajamkannya. Suasana jalanan pantai cukup ramai pagi ini.Setelah mengambil jalan kecil yang membelok, Herdion akan membawa kend
Rumah besar yang megah laksana puri indah dengan cat putih bersih itu sedang bising oleh lengking tangis bayi. Ya, Venus kembali menangis panjang tanpa henti setelah bangun tidur sore hari. Sebab, gadis kecintaan yang dianggapnya mama tidak kunjung tampak unjuk gigi.Sementara, gadis mama yang dicari masih sampai di jembatan. Dalam perjalanan dari Pantai Marina menuju Pulau Marina. Herdion memberinya kebebasan berbelanja selama dua jam, maka dipilihnya jauh di kawasan pantai yang banyak menyebar toko baju dan butik.Tangis Venus yang terdengar jauh hingga ke gerbang, membuat perasaan Aresha trenyuh dan cemas. Dimintanya pada sopir Herdion agar menurunkannya dekat teras di halaman. Aresha pun berjalan cepat setelah meletak belanjaannya begitu saja di teras. "Maaf, Aresha. Tuan Syahfiq meminta agar aku terus mengurusi bayi Venus. Kamu diminta hanya untuk meredam tangisnya saja." Wanita berbadan agak pendek dengan umur sekitar empat puluh tahun, berbisik hal penting itu pada Aresha. "B
Taufiq bukan sekadar memeluk dengan wajar. Namun, mengerah segenap kekuatan. Aresha benar-benar merasa terjepit oleh bocah bongsor di belakangnya.Tangan bocah yang gagal dilonggarkan dan dilepas, membuat Aresha berpikir untuk mencakar atau mencubit, juga menendang ke belakang. Namun, sekali lagi rasa tidak tega tetap saja meraja."Kamu jangan nakal ya, Taufiq. Kakak jadi sakit perutnya. Lepas dong, nanti kakak bisa pingsan...," rintih Aresha terengah dan panik.Mata beningnya telah berair, sangat bingung harus bagaimana bersikap. Sedang di rumah ini, rasanya tidak satu pun teman ataupun saudara di pihaknya. Bocah abnormal itu benar-benar membuat simalakana."Arrgghh ...! Haha...ha ...!" Taufiq bereaksi menjerit dan tertawa saat Aresha berhasil menggelitik pinggangnya.Kesempatan itu tidak diabaikan, Aresha bergegas menjauhi bocah itu dengan setengah berlari. Namun, sungguh sial sekali, Taufiq juga berlari untuk mengejarnya dengan gesit.Hal itu membuat sangat cemas dan ketakutan lua
Bedug maghrib sayup bertalu dari sebuah masjid nun jauh di seberang. Menyusul alun adzan yang juga sayup setelahnya. Pulai Marina sedang membangun sebuah masjid untuk fasilitasnya. Sedang sebelumnya telah ada sebuah mushola kecil saja sebagai fasilitas. Sebab di awal pembukaan, hanya sedikit orang-orang yang berminat menghuni di sana. Sedang sekarang, sudah melimpah ruah jumlah penghuni yang tinggal.Meski status mereka hampir sama, yakni sebagai warga pendatang sementara alias sebagai investor tanah dan bangunan. Belum ada sistem pemerintahan serta perwakilan daerah sendiri di sana. Semua masih dikelola oleh pihak investor pusat yang menyewa pada pemerintahan pulau Batam.Herdion menutup smart phone canggihnya setelah menyimaknya cukup lama. CCTV pemantau beberapa kali diputar ulang di bagian teras rumah besar. Terlihat jelas bagaimana cara adik lelaki tersayang memeluk erat Aresha dari belakang. Apa yang dikatakan gadis itu sangat benar seluruhnya. Taufik sedang mengalami pubertas
Ruang kerja Herdion memang di dalam kamarnya. Lebih tepat lagi harus menyeberangi isi dalam kamar. Kini Aresha telah bersama pemiliknya di ruang kerja yang menghadap laut lepas di bawah sana. Kamarnya menghadap sisi belakang rumah.Ternyata, kamar Herdion berada di atas kamar Aresha dengan tangga tersembunyi di balik dapur. Entah kenapa, sebagaian kamar di rumah ini di desain mengelilingi ruang dapur. Lalu, di mana kamar Taufiq?"Aresha, kamu tidak ingin duduk?" Herdion menegur setelah agak lama Aresha hanya mengamati dan berdiri. Sedang kursi di depan meja lelaki itu diabaikan."Aku sudah duduk," ucap Aresha. Lelaki di depannya tidak lantas bicara setelah dirinya duduk sekian detik dari tadi."Baiklah, akan kumulai bincang denganmu, Aresha," ucap Herdion tanpa memandang lawan bicaranya."Soal Taufiq yang sempat berkelakuan meresahkan denganmu, aku sebagai abangnya minta maaf dan menyayangkan. Juga mewakili keluargaku, minta maaf yang besar padamu," ucap Herdion yang kali ini sambil m