Share

Penakhluk Hati sang Miliarder
Penakhluk Hati sang Miliarder
Author: Suzy Ru

Kecelakaan

Natasha mendongak menatap ke arah mall yang berdiri kokoh di hadapannya. Sebuah perusahaan yang mungkin bisa menerimanya untuk bekerja.

"Semoga saja aku mendapatkan pekerjaan di sini. Entah itu menjadi apa, aku akan menerimanya. Meskipun gajinya sedikit sekalipun, tak apa. Yang penting aku mempunyai pemasukan untuk makan sehari-hari. Sungguh, rasanya sangat lelah tubuhku ini, hampir satu minggu mencari pekerjaan, tak ada satupun perusahaan yang mau menerimaku. Apalagi, uangku sudah menipis," gumam batin natasha seraya mengerucutkan bibirnya.

Huft

Helaan nafas mulai keluar dari hidung dan mulutnya. Sudut bibirnya mengembang dan mulai melangkah memasuki mall tersebut.

"Semangat natasha semangat! Kamu pasti di terima!" ucap Natasha mengepalkan tangannya untuk menyemangati dirinya sendiri.

Sesaat, langkah kakinya terhenti ketika melihat lelaki yang begitu tak asing baginya. 

"Bukankah itu om Angga?" Natasha berjalan mendekat. Memastikan orang berseragam serba hitam itu pamannya atau bukan.

"Om Angga?" Panggil Natasha. Lelaki itu berbalik dan terkejut melihat orang yang memanggilnya adalah Natasha amora, keponakannya sendiri.

"Natasha!" tunjuk om Angga yang terkejut ketika natasha tiba-tiba memeluknya.

"Om Angga, akhirnya aku bertemu om juga!" kata natasha senang bercampur haru. 

Dahi om Angga mengerut. Terkejut tak terkira melihat tingkah laku keponakannya itu yang tak seperti biasanya.Perlahan, ia mulai menjauhkan tubuh lansing natasha.

"Why? Ada apa denganmu? Kenapa ada air mata yang jatuh dari kedua mata kamu?" cecar om Angga memegang kedua bahu natasha. Yah, dari dulu natasha tak pernah menangis. Malahan, setiap keluarga besar berkumpul, natasha lah yang membuat orang menangis.

Natasha mencoba untuk tersenyum tapi bibirnya terus bergetar dan air matanya terus saja mengalir.

Alih-alih tak mau menjadi tontonan semua orang, om Angga membawa natasha dalam kantornya.

Hampir setengah jam, natasha meluapkan amarah yang hampir seminggu itu menyesakkan dada pada pamannya itu. 

"Jadi, kedua orangtua kamu menjodohkanmu dengan Devan, Duda kaya yang umurnya terpaut 20 tahun dari kamu?" tanya om Angga.

"Heem. Malahan, papa mengusirku dari rumah karena aku menolak. Parahnya lagi, semua akses pemberian mereka pun aku tak bisa membawanya pergi," ucap natasha tanpa sadar menghabiskan camilan yang tersaji di meja pamannya itu.

"Kenapa kamu menolaknya? Bukankah kamu pernah bilang sama om, kalo kamu ingin mempunyai suami yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mewah kamu itu? Pak Devan sudah masuk kriteria kamu, lho!" tutur om Angga meledaek.

"Om Angga!" acap Natasha jengkel.

"Becanda! Jangan di buat serius, dong!" ucap Om Angga seraya menaikkan alis tebalnya itu."Lalu, seminggu ini kamu tinggal di mana? Apa kamu kelaparan?" 

"Saat ini, aku tinggal di rumah yang ukurannya lebih kecil dari kamarku, Om. Itu pun aku belum bisa membayarnya."

"Seriously?" tanya om Angga melihat keponakannya mengangguk. 

"Dan itulah sebabnya aku mencari pekerjaan, Om!" 

Om Angga menghela nafas panjang. Ia tak menyangka natasha melewati masa sulit seperti dirinya waktu dulu.

"Ya sudah, kamu bisa tinggal sama om saja!" tawar om Angga.

"Tidak, Om. Terimakasih! Tapi, jika om Angga ingin menolong natasha, alangkah baiknya jika om membantu Natasha mendapatkan pekerjaan di mall ini. Apapun pekerjaannya, Natasha akan menerimanya," pinta natasha mulai tersenyum seraya memohon.

Dua jam berlalu, Natasha duduk termenung di halte bus. Termenung sembari menatap barang belanjaannya yang terbungkus dengan tas kresek berwarna hitam.

"Beristirahatlah! Om akan menghubungimu jika ada lowongan pekerjaan di sini. Dan, terimalah uang dari om. Walaupun sedikit, setidaknya kamu memegang di situasi seperti ini!" Perkataan om Angga kembali terlintas dalam benaknya. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat sakit untuk di telan jika mengingat masalah yang sedang ia hadapi.

"Ya Tuhan, ternyata begini rasanya tak memiliki uang sepersenpun!" gumam natasha menghela nafas berat.

Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap menatap langit sambil menengadahkan tangan untuk menyambut air hujan yang telah jatuh.

"Hujan, segera mereda ya? Jangan lama-lama!" pinta natasha dalam hati.  Ia berjalan mundur dan mulai duduk di bangku panjang yang tersedia di halte. Menopangkan kedua tangan di dada seraya melihat lalu lintas kendaraan yang melintas di depannya. Namun, pandangan matanya beralih ke arah mobil yang tiba-tiba saja menabrak sebuah pohon yang berada tak jauh darinya.

Glek

Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Untuk yang kesekian kalinya, ia melihat sebuah kecelakaan tepat di depan mata kepalanya sendiri.

Tanpa banyak buang waktu, Natasha bergegas berlari menghampiri mobil tersebut. Memastikan keadaan orang yang ada di dalamnya baik-baik saja.

Klek

Natasha membuka pintu mobil tersebut. Dengan keberanian yang ia miliki, Natasha menempelkan jari jemarinya untuk memastikan keadaan orang itu masih hidup atau sudah meninggal.

"Hah, syukurlah!" ucap natasha yang mengetahui orang itu masih bernafas."Bertahanlah! Aku akan mencari pertolongan untuk membawamu ke rumah sakit."

Di rumah sakit,

Natasha tak berhenti mengerjap menatap ponsel milik orang yang ia tolong. Sejenak, ia juga memperhatikan sebuah tas dan dompet coklat yang terlihat berkelas di tangannya. Rasa penasaran kian menghampiri dengan isi dompet tersebut.

"Sambil menunggu keluarganya datang, tak salahnya juga aku melihat identitasnya," kata Natasha mulai membuka dompet itu secara perlahan.

Sejenak, dua bola matanya mengerling menatap deretan uang berwarna merah memenuhi isi dompet tersebut.

"Apa dia orang kaya?" tanya Natasha beralih melihat beberapa kartu yang juga berada dalam dompet tersebut.

Jemari tangannya pun dengan hati-hati mengambil KTP orang yang telah di tolongnya itu. Alisnya bertaut. Bibirnya merapat seraya memikirkan nama yang begitu tidak asing baginya.

"Darren Andaraksa! Sepertinya aku pernah mendengar nama ini?" ucapnya mengingat kembali.

Drt ... Drt ...

Lamunan Natasha buyar. Dua bola matanya mengerling saat melihat nama kontak seseorang yang bergerak ke atas ke bawah dalam ponsel miliknya.

"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Natasha menarik nafasnya secara perlahan. Mencoba membuang rasa gelisah yang datang menghampiri.

"Tenang Natasha tenang. Kamu pasti bisa mengatasinya!" ucapnya memberi semangat kepada dirinya dan mulai menjawab telepon tersebut.

Setengah jam kemudian, Natasha menoleh ke kanan saat mendengar hentakan kaki serasa mendekat ke arahnya. Senyum manisnya tertoreh, rasa lelah letih yang menguasai dirinya mulai menghilang secara perlahan.

"Akhirnya mereka datang juga!" gumam batin Natasha berdiri menyambut mereka.

"Apa Anda yang menolong Tuan Darren?" tanya orang bertubuh besar dan lebih tinggi darinya.

"Tuan?" gumam batin natasha menegak salivanya yang mengalir dengan paksa. Ia tak menyangka kalo orang yang di tolongnya benar-benar orang kaya.

"Iya. Dan ini dompet, tas beserta ponsel miliknya!" jawab Natasha seraya menyerahkan barang milik Darren Andaraksa.

***

Kost,

Natasha menguntai senyum manisnya. Jemari tangannya tak berhenti mengusap sepeda gunung kesayangannya itu. 

"Untung saja, pemilik toko mau menjagamu," ucap natasha senang.

"Akhirnya kamu pulang juga!" ucap Bu Dani selaku pemilik kost.

Natasha menoleh. Sudut bibirnya mengembang menyambut kedatangan Bu Dani yang terkenal akan kecerewetannya.

"Iya, Bu. Maaf, harus membuat Anda menunggu lama," tutur natasha.

"Aish, nggak usah basa-basi. Sudah buruan, bayar uang kost kamu," tukas Bu Dani seraya menengadahkan tangan. Berharap, tumpukan uang berwarna biru ataupun merah keluar dari saku natasha.

Tak perlu waktu lama, harapan bu kost itu benar-benar terkabul. Tumpukan uang biru melesat dalam genggamannya.

"Nah, kalo gini kan sama-sama enak!" ujar Bu Dani lantas berlalu.

Natasha menghela nafas panjang. Bibirnya merapat seraya menatap ibu kost yang mulai hilang dari hadapannya.

Sejenak, ia mulai terbayang saat terpaksa mengambil beberapa uang milik orang yang telah ia tolong satu jam yang lalu. 

"Semoga saja aku bisa mengembalikan uangnya sebelum dia datang menagihku," gumam natasha mencoba untuk tersenyum.

Matahari mulai menampakkan cahayanya. Darren mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Dua bola manik matanya berputar menatap ruangan yang sama sekali tidak asing baginya.

"Ke sini lagi!" desah batinnya.

"Kamu sudah sadar?" tanya Bara menutup pintu secara perlahan."Bagaimana? Apa yang kamu rasakan saat ini? Apa masih pusing atau ...," kata Bara terhenti.

"Diamlah! Kepalaku akan tambah pusing jika kamu mulai menceramahiku," ucap Darren menahan rasa sakit di bagian kakinya.

"Oke-oke! Tapi, aku ingin bertanya kepadamu satu pertanyaan saja. Setelah itu, aku akan diam seribu bahasa," pinta bara memaksa.

"Haruskah aku menurutimu?" 

"Of course. Karena sekarang, kamu adalah tanggung jawabku. Apa kamu lupa, jika terjadi sesuatu pada kamu. Bukan jabatanku yang akan jadi jaminannya, melainkan aku juga akan terusir dari anggota keluarga. Kamu mengerti kan? Jadi, please! Bukalah mata dan hati nurani kamu untuk berbelas hati mengasihiku," tutur Bara seraya menaikkan kedua alisnya.

Darren menghela nafas panjang. Jujur, ia sangat tak tega jika hukuman dari kedua orangtuanya mengarah kepada sepupunya itu.

"Bicaralah!" ucap Darren yang membuat sudut bibir bara mengembang.

"Bagaimana bisa kamu mengalami kecelakaan?" tanya Bara yang begitu penasaran.

Darren menegak salivanya dengan paksa. Perlahan, ia mencoba  kembali mengingat dengan kejadian yang dialaminya sebelum kecelakaan.

"Bertahanlah! Aku akan mencari pertolongan untuk membawamu ke rumah sakit." Suara itu masih terngiang dalam telinganya. 

"Katakan! Apa yang terjadi?" desak Bara membuyarkan lamunannya.

Darren mendongak. Helaan nafas panjang mulai keluar dari hidung mancungnya. 

"Apa kamu melihat orang yang menolongku?" tanya balik Darren.

"Tidak! Ketika orang itu menghubungiku, aku sedang meeting dengan klien. Jadi, aku memerintahkan Farhan untuk ke sini terlebih dahulu!" tutur Bara menjelaskan."Dan, orang itu juga menyerahkan barang milikmu ini!"

Darren menegak salivanya dengan paksa. Dengan cepat, jemari tangannya membuka tas hitam yang terdapat dokumen penting perusahaan.

"Tenang saja. Semua aman! Aku sudah mengeceknya!"jawab Bara tersenyum.

"Syukurlah!" jawab Darren lega.

"Kamu sangat beruntung bertemu dengan wanita itu. Jika kondisimu sudah membaik, alangkah baiknya kamu menemuinya dan memberikan imbalan yang pantas atas pertolongannya kepadamu," tutur Bara sembari menaikkan kedua alisnya.

"Kamu tak perlu mengajariku! Aku sudah memikirkannya sebelum petuah itu keluar dari bibir tipismu itu." Perkataan Darreen seketika membuat senyum Bara memudar.

"Ya ya ya! I know. By the way, tenggorokanku kering, aku ingin minum. Dan di dompetku tak ada uang cash. Bolehkah aku meminjam uangmu dulu?"

"Kebiasaan!" gumam Darren menggerutu. Jemari tangannya dengan cepat meraih dompet yang tergeletak disampingnya. Mulai mengambil uang berwarna biru yang ada di dalam dompetnya. Namun, jari jemari tangannya terhenti ketika melihat sebuah lipatan kertas di sela-sela uang miliknya.

"Apa ini?" batin Darren bertanya. Dahinya mengernyit menatap secarik kertas kecil tersebut.

Perlahan, ia membuka lipatan kertas yang membuat dirinya semakin penasaran.

"Tuan Darreen Andaraksa, sebelumnya saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Anda. Karena tanpa ijin terlebih dahulu, saya sangat lancang mengambil uang Anda 1.000.000. Saya janji akan mengembalikan uang Anda secepatnya. Jadi, Saya harap Anda tidak menuduh saya sebagai pencuri dan melaporkan saya pada polisi. Dan ini alamat saya dan nomor handphone saya. 088***** jl. Anggur merah no 23 atas nama Natasha Amora."

Glek 

Tegakkan saliva Darreen mengalir. Sungguh, ia tak habis pikir jika ia akan mendapatkan surat aneh dari seseorang yang tidak di kenal dalam dompetnya.

'Natasha Amora! Siapa dia?' tanya Darren mengernyit heran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status