“Ng ....” Erangan Visha menandakan kesadarannya sudah muncul.
Matahari telah tinggi ketika gadis itu akhirnya terbangun karena lapar.
Ia pun segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, berharap bisa menghilangkan raut lelah yang masih terlihat di wajahnya.
Ketika Visha keluar dari kamar mandi, ia terkejut karena tidak memperhatikan sebelumnya kalau di pojok ruangan sudah ada sebuah rak gantung berisi pakaian yang tak pernah berani ia impikan untuk ia kenakan.
Visha melangkah cepat menghampiri rak tersebut dan langsung membolak-balik setiap baju yang tergantung di sana.
Netranya membulat kaget melihat nama merek-merek yang tersemat di setiap pakaian itu. Ia pun berseru nyaring, “Wow! Ini merek yang biasa dipakai Nyonya.”
Merasa tak mungkin kalau baju-baju tersebut bisa ia gunakan semua, Visha pun mencoba mencari Javier atau siapapun yang bisa ia tanyai.
Tapi begitu ia membuka pintu kamarnya, hanya ada Javier di sana. Dengan malu-malu Visha menyapa, “Uhm, ha—halo, Javier.”
“Ada yang bisa saya bantu, Nona Visha?” tanya Javier dengan tatapan dinginnya.
Visha membuka lebar pintu kamarnya dan menunjuk ke arah rak gantung yang berisi belasan pakaian mewah, sambil berkata, “Ah ... anu ... itu ... baju yang di sana—“
“Ah, saya baru saja membelinya dan Nona bisa mengenakan yang mana saja. Apa ada yagn tidak sesuai dengan gaya Nona?” tanya Javier memotong ucapan Visha.
Ia terlihat bersiap untuk berbelanja lagi, kalau-kalau jenis pakaian yang ia pilih tidak sesuai dengan keinginan nona mudanya itu.
Dengan buru-buru gadis itu menggeleng. “Sa—saya kira ha—hanya boleh pilih satu.”
“Nah, itu hadiah dari saya atas kepulangan Nona Visha.” Javier membungkuk dengan penuh hormat pada Visha, mmebuat gadis itu merasa canggung dan memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa bicara apapun.
Setelah pintu kamar itu tertutup lagi, Javier terlihat menutup matanya sesaat dan membatin, ‘Mata biru itu cantik sekali. Nona Visha sejak kecil memang menggemaskan, tapi aku tak tahu, ia bisa tumbuh secantik itu.’
Lalu netranya tiba-tiba terbuka dengan tatapan penuh amarah. Ia teringat informasi yang diberikan padanya oleh Luca mengenai kehamilan Visha tadi pagi.
‘Pria brengsek yang menghamilinya dan membuangnya begitu saja, aku ingin meremukkan orang itu! Bajingan!’ rutuknya dalam hati sambil mengepalkan tangannya.
“Javier! Apa yang kau lakukan, memelototi pintu putriku, hm?” Luca yang baru saja keluar dari kamarnya, mengerutkan dahi melihat postur Javier yang sudah seperti akan mendobrak hancur pintu di depannya.
Javier pun segera menenangkan raut wajahnya dan menghadap Luca dan membungkuk sedikit sambil berkata, “Saya hanya kesal mengingat pria yang sudah merusak Nona Visha.”
Luca menepuk pundak Javier dan mencengkeramnya erat. Pria tua itu membenarkan ucapan Javier,“Kau benar. Kita punya semua kuasa untuk menghancurkan keluarga itu, tapi ini pertarungan milik Navisha. Aku takkan merebutnya dari putriku. Dan kau sebaiknya juga tidak mencobanya, Javier.”
“Ya, Bos. Saya paham.” Luca mengangguk singkat, senang karena bawahan kepercayaannya itu memahami posisinya.
Ia pun lanjut bertanya lagi pada pria yang sudah puluhan tahun menjadi orang kepercayaannya, “Lalu, apa yang kau lakukan terhadap para pengejar Navisha semalam?”
“Ah ... Dom yang mengurusnya, Bos. Tapi kusuruh Dom mengancam mereka untuk membuat laporan palsu kalau Nona Visha sudah ... maaf ... sudah tiada, detailnya tak kutanya—“
“Kusuruh mereka mengatakan kalau Nona terjatuh di sungai dan meninggal.” Seseorang tiba-tiba menyela obrolan mereka.
“Dom. Kau sudah bangun, eh?” sindir Luca dengan satu alis terangkat naik.
“Selamat pagi, Bos. Tidurku nyenyak.” Cengiran kekanakan yang ditunjukkan Dom benar-benar tidak cocok untuk tubuh besarnya yang bahkan terlihat lebih berotot ketimbang Javier.
“Ya, ya. Dom, kau sudah urus mata-mata yang kau tempatkan di rumah itu?” Luca bertanya langsung, mengecek kinerja anak buahnya yang punya sifat asal-asalan itu.
Dom memutar bola matanya sambil menjelaskan, “Sudah, Big bos. Dia sudah bekerja dengan kita sejak kita tahu keberadaan Nona di rumah itu. Aku memberinya satu kesempatan lagi karena sudah memberikan laporan palsu. Walau dia sangat bersyukur, tapi katanya bukan dia yang memberikan laporan palsu.”
Kekehan Dom pun menjadi kode bagi Luca bahwa kesalahan tidak terdapat pada sang mata-mata, melainkan pada si penyampai informasi. Yaitu Ernesto—anak laki-laki Luca dari istri keduanya, Bianca.
“Bos, saya yakin tuan Ernesto tidak bermaksud demikian—“
“Javier. Kau atau aku yang jadi ayahnya, hm?! Aku tahu seperti apa putraku.” Luca pun berlalu sambil mengeraskan rahangnya.
Tapi sebelum Luca melangkah jauh, ia berseru, “Katakan pada Navisha untuk bersiap, karena dokternya akan segera datang, Javier!”
“Baik, Bos!”
Setelah Luca tak lagi tertangkap mata oleh kedua anak buahnya, mereka mulai saling memukul bahu rekannya.
Javier menegur kebiasaan buruk Dom, “Kau! Bicara yang benar, kalau dengan Bos!”
Tapi sepertinya Dom pun tak ingin kalah. Ia pun berkomentar, “Kau! Jangan berpikir bisa mengencani istri kedua Bos! Berpikir bisa jadi ayah Tuan Ernesto, eh?”
Baru saja Javier akan mulai menghajar Dom, pintu kamar Visha terbuka dengan cepat dan mengejutkan mereka.
“Sial! Itu mengejutkanku! Ah—maaf, Nona. Tidak bermaksud menyumpahimu. Aku permisi, kalau begitu.”
Dengan luwes Dom pun segera pergi dari lorong itu, tak memberi kesempatan pada Visha untuk bertanya banyak hal yang ada di kepalanya saat ini.
Tentu saja, tanpa mereka sadari, Visha mendengarkan perbincangan mereka dari dalam kamar.
Sedikit banyak sepertinya Visha memahami, seperti apa rumah tangga baru, yang dibangun sang ayah setelah ibunya meninggal.
“Apa itu berarti Ernesto adalah adikku?” tanya Visha tanpa basa-basi pada Javier.
Javier menatap Visha cukup lama, sebelum menjawab, “Benar, Nona.”
Bukannya ia sedang mempertimbangkan soal perlu atau tidak berkata jujur pada Visha, tapi Javier hanya belum terbiasa dengan wajah Visha yang benar-benar di luar prediksinya.
Cantik. Sangat cantik.
‘Tapi memang, Nyonya Vivien dulu juga cantik sekali. Hanya saja aku masih tak menyangka, Nona Visha—‘ Javier menggantung pemikirannya melihat wajah Visha yang menggemaskan.
Gadis itu mengerucutkan bibir, sepertinya kesal dengan jawaban singkat dari Javier.
Masih memasang raut wajah kesalnya, ia lanjut membombardir Javier dengan pertanyaan beruntun, “Apa dia membenciku? Apa aku pernah bertemu dengannya? Apa aku—“
“Nona, sebentar lagi dokter Nona datang. Bersiap-siaplah. Saya akan menjemput beliau,”potong Javier yang semakin pusing karena ia tak bisa menahan diri menatap cantiknya Visha ditambah lagi dengan dengan pertanyaan-pertanyaan Visha.
Merasa diabaikan Visha pun melempar sepatunya ke arah Javier dengan kesal, lalu buru-buru mengunci pintu kamarnya.
Jantung Visha bergemuruh seperti sedang di dalam air dengan banyak gelembung. Ia sadar kalau ia sudah melempar pria yang menolongnya itu dengan sepatu dan sekarang ia menyesali perbuatannya itu.
‘Mati aku! Aku terlalu emosi tadi. Apa sepatuku mengenai kepalanya?! Apa dia akan menguburku hidup-hidup?!’ batin Visha sambil bersandar lemas pada pintu kamar yang sudah dikuncinya tadi.
Ia membenamkan wajahnya dalam telapak tangan sambil bergumam, “Aduh! Kenapa juga aku tersulut emosi. Dia menyebalkan sekali sih! Ditambah lagi, dia memotong ucapan—“
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu kamarnya, memotong gumaman Visha. Gadis itu menyentak napasnya, kaget karena pikirannya langsung menebak kalau orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah Javier.
“Nona Visha ....”
‘Eh?! Bukan suara Javier ...,’ batin Visha dalam hatinya.Dengan tergesa ia pun membuka pintu kamarnya dan mendapati seorang pria tua bermata sipit berdiri di depan kamarnya sambil mengelus-elus janggut panjang di dagunya.“Erm ... ca—cari siapa ya, Koh?”Alih-alih mendapat jawaban, Visha mendengar ledakan tawa bernada dalam di belakang pria tua itu. Tentu saja ia kenal suara berat itu.“Javier!” sentak Visha dengan pipi yang menggembung. Walau demikian, wajah manis gadis berusia 21 tahun itu tetap terlihat mempesona di mata Javier.Pria dingin itu—tak diduga oleh Visha, terus saja mentertawainya, “Ha! Ha! Ha! Nona, ini ... Ha! Ha! Ha! Ini dokter anda—pfft! Oh, gosh! Aku sudah lama tidak tertawa sekeras ini. Sial! Rahangku sakit.”‘Senang sekali sih melihatku bertindak bodoh ... mengesalkan!’ keluh Visha dalam hatinya.Javier meredakan tawanya dan menepuk pundak pria tua yang disebutnya sebagai dokter tadi. Ia berkata dengan nada santai, “Dok, masuklah. Kau harus memeriksa kandungan
“Ya, Nona? Apa yang menyusahkanmu?” Visha mendengus geli. Bukannya dia meremehkan peran Javier dalam melindunginya, tapi karena ia merasa pria itu terlalu perhatian padanya, untuk ukuran seorang anak buah ayahnya. Ia jadi merasa seperti sudah bersikap jahat karena melempar pria itu dengan sepatu. Jadi, ia berkata, “Maaf, soal sepatuku. Aku tidak seharusnya melakukan itu.” Padahal sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan. Javier mengangkat salah satu alisnya, heran dengan permintaan maaf yang menurutnya tak perlu. Dia adalah majikannya, apapun yang diperbuat pada dirinya, tidak akan menjadi masalah. Walau demikian Javier mengangguk kaku. “Oke. Aku tak masalah kau mau melempar apapun, selama tidak membunuhku, Nona.” Visha menghela napas panjang mendengar jawaban yang dilontarkan Javier padanya dengan nada super datar. ‘Apa sejak dulu dia seperti ini ya?! Bagaimana mau punya pacar kalau kaku begini?!’ keluh Visha dalam hatinya. “Apa ada lagi yang kau butuhkan, Nona Visha?” tan
“... tempat peristirahatan terakhir istri bos, ibu Nona,” ungkap Javier, setelah ia berpikir sesaat, sedikit menimbang jawabannya.Sepertinya ia tidak berencana memberitahu Visha secepat ini. Ia tidak mau merusak suasana sepanjang perjalanan ini.Mendengar jawaban Javier, Visha langsung merasa bersalah.‘Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Apa aku anak yang tidak berbakti? Tapi aku saja tidak ingat siapa ibuku, bagaimana rupa wanita yang melahirkanku itu.’ Visha membatin sambil menunduk.Madoka yang melihat Visha tertunduk sedih itu pun segera menyerahkan sebuah ponsel pintar pada putri sang bos sambil berkata, “Aku punya beberapa video seperti apa ibu Nona. Jangan bersedih, oke?”Visha menyentak naik kepalanya dan menerima benda itu dengan penuh haru. Ia merasa sepertinya Madoka bisa membaca pikirannya.“Te—terima kasih.”“Tak masalah, Nona.”Sepanjang perjalanan Visha pun menonton semua video yang ada di ponsel tersebut. Bukan hanya beberapa video, karena ternyata ponsel itu adalah
“Bos ... nona Navisha sudah tiba.”Salah seorang anak buah Luca membisikkan informasi itu dengan suara sangat pelan, hingga tak seorang pun mendengar. Tak juga wanita tua yang sedang dipeluknya itu.Luca pun hanya mengangguk sedikit, lalu menepuk punggung wanita itu dengan sabar. Ia pun memberitahunya, “Suocera*, cucumu sudah datang.” [*Suocera berarti ibu mertua, dalam bahasa italia]Mendengar ucapan menantu laki-lakinya itu, wanita tua yang ternyata adalah ibu mertuanya—ibu dari Vivien, menyentak kepalanya. Kaget dengan ucapan Luca.Netranya menatap Luca seolah tak percaya. Seolah ia berpikir bahwa Luca sedang memperdayanya. Ia pun mengkonfirmasi ucapan Luca, “Kau sudah menemukannya?!”“Ya, Bu. Kami akhirnya menemukan Navisha.” Luca mengulang kembali ucapannya, meyakinkan sang ibu mertua kalau ia tidak sedang mempermainkannya.Setelah kematian Vivien, keluarga Wijaya semakin tak terjangkau. Tapi ibu mertuanya secara berkala menghubungi Luca, perihal keberadaan Visha.Ibu mertua Luca
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian di depan pintu kamarku tadi siang.”Luca terkekeh mendengar nada ketus Visha. Bukan berarti ia ingin menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah lagi. Hanya saja, ia ingin memberitahunya saat mereka tiba di Italia.“Yeah? Salahku, Nak. Aku tak bermaksud membicarakan hal seperti itu untuk kau dengar secara tak sengaja. Setidaknya, tiba di Italia, aku berniat memperkenalkan kalian dengan lebih formal, Navisha Sayang.”Visha mengangguk. Ia mencoba menghilangkan rasa minder dalam dirinya, tapi tentu saja, itu bukan yang mudah.Selama ini Visha dibesarkan oleh sepasang suami istri yang sangat miskin. Hidup mereka hanya bergantung pada hasil penjualan barang bekas.Setelah gadis itu tinggal di kediaman Adinata pun, semakin jauhlah ia merasa perbandingan dirinya dengan orang-orang itu.Tak disangka, air mata meluncur membasahi pipinya kala mengingat mantan majikannya itu. Ingatannya langsung membuka kenangan manis yang pernah ia miliki
“Thanks Damian.” Luca menggosok pelan netranya dan segera menyesuaikan dengan cahaya ruang kabin pesawat. Ia menambahkan, “Tolong minta Ludwig menemuiku jam 11 siang nanti, di kantor.” Pria bernama Damian—yang baru saja membangunkan Luca pun mengangguk paham dengan perintah sang atasan. Kalau Javier adalah orang yang paling Luca percayai dalam organisasi Cavallo, maka Damian adalah orang kepercayaannya di perusahaan Viensha—perusahaan yang Luca dirikan untuk mengenang sang istri tercinta. “Apa Visha sudah bangun? Di mana Javier?” tanya Luca pada Damian. “Nona Visha sedang bersiap di kamarnya, Bos. Dan ... Javier ... sedang mengobati lukanya sebentar.” Damian menjawab dengan sedikit keraguan di kalimat akhirnya. Manik mata Damien bahkan bergulir ke samping, tanda ia merasa bersalah atas suatu hal. Tentu saja. Damian lah yang membuat Javier harus menerima pengobatan sederhana. Pria tenang—setenang gunung es itu, sudah menghajarnya karena menggoda Madoka tepat di bawah hidungnya.
“Ha?! Menyusahkan bagaimana, Nona?”Javier menggaruk acak kepala belakangnya, sedikit tak mengerti dengan pertanyaan Visha.“Ayah terlihat tak nyaman membawaku ke kantor. Dia sampai mempertanyakan hal itu padamu.”Mendengar penjelasan lanjutan dari Visha, Javier pun tergelak.Ia kemudian menjelaskan, “Bukan seperti itu, Nona Visha. Bos hanya overprotektif. Kuharap Anda sadar di mana sekarang Anda berada. Italia bukan hanya rumah klan Cavallo, tapi juga rumah musuh yang mengharapkan kemusnahan organisasi kami.”"Lalu, untuk apa ayah bertanya padamu, Javier?" Kening Visha berkerut. Kali ini giliran gadis itu yang bingung.Kekehan jahil pun keluar dari bibir pria kekar yang duduk di samping pengemudi yang sejak tadi diam saja seperti patung itu.Javier pun menambahkan, “Bos bertanya padaku untuk memastikan aku bisa melindungi Nona, kalau-kalau ada musuh yang mengetahui keberadaan anak perempuan dari klan Cavallo.”Mendengar penjelasan Javier, hati Visha terasa lega. Dirinya masih penuh k
“Nyo—nyonya Bianca?” Kerutan di dahi Visha berkumpul. Tapi sebuah pertanyaan lewat di benaknya. ‘Apakah dia istri ayah?’ batin Visha. Bak menjawab pertanyaan yang muncul di dalam hati Visha, Javier berkata, “Ya, Nona. Nyonya Bianca adalah istri Bos Luca. Tidak ada yang membatasi pergerakannya, jadi tidak ada yang tahu kalau beliau sedang ada di sini. Maaf.” Visha pun cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada yang perlu dimintai maaf, Jav. Mungkin memang sudah semestinya aku bertemu dengan beliau.” Javier meletakkan tangannya pada gagang pintu lalu menatap Visha dan bertanya, “Kau yakin?” Terdiam sejenak, Visha pun akhirnya mengangguk diikuti gerakan Javier yang membuka pintu ruangan itu. “Selamat pagi, Nyonya Bianca. Maaf mengganggu. Saya tidak tahu Anda ada di kantor,” sapa Javier sambil membungkuk hormat. “Yeah. Kudengar kalian pulang, jadi aku ingin langsung pergi dengan Madoka. Aku ada acara minum teh dengan istri walikota siang ini—“ Ucapannya terpotong ketika Bianca berbalik dan