“Bos ... nona Navisha sudah tiba.”Salah seorang anak buah Luca membisikkan informasi itu dengan suara sangat pelan, hingga tak seorang pun mendengar. Tak juga wanita tua yang sedang dipeluknya itu.Luca pun hanya mengangguk sedikit, lalu menepuk punggung wanita itu dengan sabar. Ia pun memberitahunya, “Suocera*, cucumu sudah datang.” [*Suocera berarti ibu mertua, dalam bahasa italia]Mendengar ucapan menantu laki-lakinya itu, wanita tua yang ternyata adalah ibu mertuanya—ibu dari Vivien, menyentak kepalanya. Kaget dengan ucapan Luca.Netranya menatap Luca seolah tak percaya. Seolah ia berpikir bahwa Luca sedang memperdayanya. Ia pun mengkonfirmasi ucapan Luca, “Kau sudah menemukannya?!”“Ya, Bu. Kami akhirnya menemukan Navisha.” Luca mengulang kembali ucapannya, meyakinkan sang ibu mertua kalau ia tidak sedang mempermainkannya.Setelah kematian Vivien, keluarga Wijaya semakin tak terjangkau. Tapi ibu mertuanya secara berkala menghubungi Luca, perihal keberadaan Visha.Ibu mertua Luca
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian di depan pintu kamarku tadi siang.”Luca terkekeh mendengar nada ketus Visha. Bukan berarti ia ingin menyembunyikan kenyataan bahwa dirinya sudah menikah lagi. Hanya saja, ia ingin memberitahunya saat mereka tiba di Italia.“Yeah? Salahku, Nak. Aku tak bermaksud membicarakan hal seperti itu untuk kau dengar secara tak sengaja. Setidaknya, tiba di Italia, aku berniat memperkenalkan kalian dengan lebih formal, Navisha Sayang.”Visha mengangguk. Ia mencoba menghilangkan rasa minder dalam dirinya, tapi tentu saja, itu bukan yang mudah.Selama ini Visha dibesarkan oleh sepasang suami istri yang sangat miskin. Hidup mereka hanya bergantung pada hasil penjualan barang bekas.Setelah gadis itu tinggal di kediaman Adinata pun, semakin jauhlah ia merasa perbandingan dirinya dengan orang-orang itu.Tak disangka, air mata meluncur membasahi pipinya kala mengingat mantan majikannya itu. Ingatannya langsung membuka kenangan manis yang pernah ia miliki
“Thanks Damian.” Luca menggosok pelan netranya dan segera menyesuaikan dengan cahaya ruang kabin pesawat. Ia menambahkan, “Tolong minta Ludwig menemuiku jam 11 siang nanti, di kantor.” Pria bernama Damian—yang baru saja membangunkan Luca pun mengangguk paham dengan perintah sang atasan. Kalau Javier adalah orang yang paling Luca percayai dalam organisasi Cavallo, maka Damian adalah orang kepercayaannya di perusahaan Viensha—perusahaan yang Luca dirikan untuk mengenang sang istri tercinta. “Apa Visha sudah bangun? Di mana Javier?” tanya Luca pada Damian. “Nona Visha sedang bersiap di kamarnya, Bos. Dan ... Javier ... sedang mengobati lukanya sebentar.” Damian menjawab dengan sedikit keraguan di kalimat akhirnya. Manik mata Damien bahkan bergulir ke samping, tanda ia merasa bersalah atas suatu hal. Tentu saja. Damian lah yang membuat Javier harus menerima pengobatan sederhana. Pria tenang—setenang gunung es itu, sudah menghajarnya karena menggoda Madoka tepat di bawah hidungnya.
“Ha?! Menyusahkan bagaimana, Nona?”Javier menggaruk acak kepala belakangnya, sedikit tak mengerti dengan pertanyaan Visha.“Ayah terlihat tak nyaman membawaku ke kantor. Dia sampai mempertanyakan hal itu padamu.”Mendengar penjelasan lanjutan dari Visha, Javier pun tergelak.Ia kemudian menjelaskan, “Bukan seperti itu, Nona Visha. Bos hanya overprotektif. Kuharap Anda sadar di mana sekarang Anda berada. Italia bukan hanya rumah klan Cavallo, tapi juga rumah musuh yang mengharapkan kemusnahan organisasi kami.”"Lalu, untuk apa ayah bertanya padamu, Javier?" Kening Visha berkerut. Kali ini giliran gadis itu yang bingung.Kekehan jahil pun keluar dari bibir pria kekar yang duduk di samping pengemudi yang sejak tadi diam saja seperti patung itu.Javier pun menambahkan, “Bos bertanya padaku untuk memastikan aku bisa melindungi Nona, kalau-kalau ada musuh yang mengetahui keberadaan anak perempuan dari klan Cavallo.”Mendengar penjelasan Javier, hati Visha terasa lega. Dirinya masih penuh k
“Nyo—nyonya Bianca?” Kerutan di dahi Visha berkumpul. Tapi sebuah pertanyaan lewat di benaknya. ‘Apakah dia istri ayah?’ batin Visha. Bak menjawab pertanyaan yang muncul di dalam hati Visha, Javier berkata, “Ya, Nona. Nyonya Bianca adalah istri Bos Luca. Tidak ada yang membatasi pergerakannya, jadi tidak ada yang tahu kalau beliau sedang ada di sini. Maaf.” Visha pun cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada yang perlu dimintai maaf, Jav. Mungkin memang sudah semestinya aku bertemu dengan beliau.” Javier meletakkan tangannya pada gagang pintu lalu menatap Visha dan bertanya, “Kau yakin?” Terdiam sejenak, Visha pun akhirnya mengangguk diikuti gerakan Javier yang membuka pintu ruangan itu. “Selamat pagi, Nyonya Bianca. Maaf mengganggu. Saya tidak tahu Anda ada di kantor,” sapa Javier sambil membungkuk hormat. “Yeah. Kudengar kalian pulang, jadi aku ingin langsung pergi dengan Madoka. Aku ada acara minum teh dengan istri walikota siang ini—“ Ucapannya terpotong ketika Bianca berbalik dan
'Adikku?! Apakah yang disebut-sebut sudah memberikan laporan palsu atas keadaanku?' Visha membatin panik.Ia belum siap jika harus menghadapi kebencian dari adik yanh tak pernah dikenalnya. Rasanya menakutkan, bertemu orang asing yang tidak kita kenal tapi mengenal seluk beluk tentang kita."Navisha? Ayo, Sayang!" ajak Luca yang berbalik lagi, padahal ia sudah mencapai pintu keluar.Visha pun mengerjapkan netranya dengan cepat sementara tubuhnya bergerak dari kursi, mengikuti ke mana ayahnya pergi. Dengan sengaja, Luca melambatkan langkahnya supaya Visha bisa mengejar ketinggalan dan berjalan di sisinya. "Apa ada yang sedang kau pikirkan, Navisha sayang?" tanya Luca sambil merangkul bahu anak gadisnya itu."Mmm ... aku hanya belum siap bertemu dengan adikku. Aku takut dia tidak menyukaiku."Luca terdiam sesaat. Ia mulai paham kondisi mental Visha. Ia terlihat baik-baik saja namun menyimpan banyak trauma dan rasa tidak aman terhadap sekitarnya.Bagi Luca, hal ini adalah bagian pentin
'Huh? Bahasa Italia kah?' batin Visha saat mendengar kalimat aneh yang diucapkan seorang pria muda berperawakan tinggi.Wajahnya sangat tampan. Terlihat seperti malaikat. Benar-benar tampan. Tidak seperti pria umumnya yang biasa Visha temui.Gadis itu terkekeh dalam hati, karena pikirannya mengejek dirinya sendiri, 'yang selama ini kau temui, kan, laki-laki pengantar galon, supir tua keluarga Adinata. Yang paling tampan ya, Raffael.'Detik kemudian, lamunannya dibuyarkan dengan suara Celez yang bernada tenang."Tuan muda, selamat siang," sapa Celez sambil membungkuk, diikuti oleh Eugene dan Javier.'Wow! Ternyata mereka sangat fasih berbahasa Indonesia. Apa memang bahasa Indonesia sudah jadi bahasa dunia saat ini? Aku tidak terlalu mengikuti perkembangan ini.' Visha keheranan."Ya, Celez." Pria itu membalas sapaan Celez, pun dengan bahasa Indonesia.Tidak tahu harus berbuat apa, Visha pun ikut membungkuk ke arah seorang pria muda yang kemungkinan besar adalah adiknya.Lagipula, Celez
"Aku lapar, Jav. Apa Eugene sudah datang?" Visha terlihat tersipu, karena Javier terkekeh mendengar pertanyaannya. "Tak perlu menunggu Eugene, kalau memang Nona sudah lapar. Ayo, kuantar ke ruang makan." Javier mengedikkan kepalanya dan langsung mendapat anggukan dari Visha.Ia segera menutup kamarnya dan menyusul langkah Javier yang sudah lebih dulu berjalan."Jav, kenapa semua orang di sini bisa bahasa negara Indonesia? Aku bahkan baru menyadari kalau kau bukan orang Indonesia. Benar, kan?" tanya Visha sambil menyusuri lorong yang sama seperti yang ia lewati saat tiba tadi.Javier pun tersenyum. Ia sudah menunggu-nunggu kapan Visha akan menyadari hasil didikan Luca atas semua orang yang bekerja di bawahnya."Dari cerita ayah, bos sengaja melatih semua orang berbahasa Indonesia, ketika ia jatuh cinta pada nyonya Vivien. Beliau tak ingin nyonya merasa tak nyaman dengan orang berbicara bahasa asing disekitarnya," jelas pria kekar itu sambil mengingat-ingat lagi bagaimana dulu mereka b