Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
“Lelet sekali sih buka pintunya. Pasti dari pagi kerjamu molor terus!” bentak Arka sambil menutup pintu mobil.Arka tidak tahu. Berjam-jam Kumi Janitra terkantuk-kantuk di ruang tamu menunggu Arka pulang kerja. Sementara jam di dinding terus berdetak, beberapa detik lagi jarum jam menunjukkan ke angka 12. Wanita ayu itu berulang kali menguap menahan kantuk dan rasa lelah. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian merenggangkan kedua tangannya ke depan supaya dia tetap terjaga. Kumi tidak menjawab, dia mengikuti Arka yang langsung duduk di ruang makan. Dia lalu membukakan sepatu dan kaus kaki Arka, setelah itu menyiapkan makan malam untuknya. “Jangan sentuh! Biarkan tasku di situ!” bentak Arka saat melihat Kumi hendak memindahkannya.&nb
Tamparan itu mengagetkan Kumi. Kesadarannya langsung pulih dan menyadari lelaki yang berada di atasnya adalah Arka! Bau alcohol menyeruak dari mulut pria itu. Kumi tidak tahan dan hanya bisa menangis diam-diam.Esok paginya, room service datang membawakan sarapan untuk mereka tepat jam 7 pagi. Arka sudah bangun. Wajahnya sangar dan dingin seperti biasa. Pria itu menikmati sarapan nasi goreng tanpa peduli dengan mata sembab Kumi.Kumi hanya memperhatikan dari jauh. Ketika lelaki itu hendak pergi. Ia memberanikan diri untuk bicara.“Mas Arka tolong jangan kunci kamarnya, aku mau jalan-jalan ke pantai,” pinta Kumi hati-hati. Padahal dia jenuh dan kelaparan di kamar.“Oke! Tapi aku tidak mengijinkan kamu jalan-jalan keluar.” Dia lalu melemparkan 5 lembar uang ratusan ribu ke wajah Kumi. “Pesanlah makanan sepuasmu dengan uang itu! Awas kalau kamu langgar, kamu akan kupukul!&rdq
Kumi menoleh dan melihat mama mertuanya pergi dengan membawa ponselnya. Kumi mengejarnya. “Ma, Kumi janji akan mematuhi perintah Mama. Tapi tolong kembalikan ponsel Kumi. Kumi mau lihat resep masakan ayam lengkuasnya,” katanya. “Nih!” Perempuan itu melemparkan ponsel Kumi di rerumputan. “Lucu sekali anak zaman sekarang, semua gak bisa. Beda sekali dengan zamanku dulu,” gerutunya. Hati Kumi giris. Tangannya memegang dada. “Sabar… sabar!” Dia tak boleh cengeng. Butuh waktu hampir dua jam buat Kumi memasak permintaan mertuanya. Penampilannya sangat berantakan, muka Kumi yang cantik dihiasi jelaga sedangkan tangannya rusak terkena parutan kelapa.&n
Rini mendekati Kumi yang berjalan-jalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Dia memandang Kumi dengan sinis. “Jadi perempuan kok banyak ngomong, gimana suaminya mau senang?” cibirnya lagi. Kumi tak menanggapi perkataan mama mertuanya. Dia menunduk menekuri dinginnya lantai ubin. Rini terus menatap Kumi dengan bengis. “Ingat! Kamu tidak bisa bertingkah seenak perutmu. Kamu tinggal di rumah mertua dan harus mematuhi peraturan di sini! Kamu tidak boleh menolak melakukan apapun yang kami mau!” “Baik Ma!” “Besok siang kami mau mengundang teman-teman sekitar 20 orang. Menunya sudah mama buat dan mama tempel di kulkas. Tugasmu hanya memasa
Sepanjang perjalanan Kumi memilih diam. Arka beberapa kali menerima panggilan telepon.“Apa? Pak Sakha sudah sampai? Oke – oke 5 menit lagi aku sudah sampai.”Lelaki itu terlihat gugup. “Ini semua gara-gara kamu! Dasar perempuan tak berguna!” gerutu Arka dengan rahang mengeras.Kumi menyembunyikan rasa gugupnya saat Arka berhenti di depan Lobby Hotel Cantika. Seorang petugas valet datang dan membawa mobil Arka ke tempat parkir.Arka berjalan cepat, dan Kumi mengikutinya dengan langkah tergesa. Di depan lounge hotel, mereka bertemu dengan seorang gadis cantik, tinggi semampai. Penampilannya sangat sempurna, membuat Kumi minder melihatnya.“Rhea, mana Pak Shaka?” Mata Arka celingak-celinguk di lounge hotel.“Katanya sih menemui temannya, sebentar lagi datang.” Rhea melihat Kumi dari atas ke bawah. Senyumnya mencibir. “Ndeso banget, pantesan Arka gak betah sama kamu.”Kumi
Shaka memberinya catatan. Kumi membacanya dengan tak mengerti. “Seminggu?” “Maaf Ma, Kumi tidak bisa. Mas Arka menyuruh Kumi menemani bosnya selama seminggu.” “Apa!! Tidak bisa kamu harus pulang!” Perempuan itu berteriak kebingungan di seberang. KLIK. Kumi mematikan ponselnya. Hati Kumi puas. Shaka duduk di sebelah Kumi. “Aku semalam telah meminta ijin pada Arka. Aku beritahu dia aku puas dengan servis kamu dan memintamu menginap selama seminggu. Aku pikir kamu bisa beristirahat di sini, sekalian memeriksa kehamilanmu. Sorry dari semalam aku khawatir kamu belum memeriksakan kehamilanmu ke dokter.”
Kumi menoleh dan mulutnya terkunci saat melihat Ibu dan Ayahnya berdiri di depan pintu. Dia langsung menubruk Ibu dan Ayahnya yang belum dilihatnya selama berbulan-bulan. “Ibu, Kumi kangen sekali.” Putri memeluk anaknya sambil berlinang air mata. Hatinya hancur sekali melihat Kumi diperlakukan jahat oleh menantu dan besannya. “Maafkan Ayah dan Ibu Nak. Ibu tidak menyangka mereka memperlakukanmu buruk seperti ini.”Rini ketus, ia marah sekali melihat besannya mendadak datang. ”Tamu kok gak punya sopan-santun, langsung masuk ke rumah orang tanpa permisi. Lagipula, Kumi itu menantu kami, kami berhak melakukan apa saja kepadanya. Sedangkan kalian tidak punya hak sama sekali!”Teguh datang. “Benar apa kata istri saya, kalian tidak usah ikut campur dengan rumah tangga anak kami. Sebaiknya Tomo dan Putri pulang, daripada memperk