Shaka memberinya catatan. Kumi membacanya dengan tak mengerti. “Seminggu?”
“Maaf Ma, Kumi tidak bisa. Mas Arka menyuruh Kumi menemani bosnya selama seminggu.”
“Apa!! Tidak bisa kamu harus pulang!” Perempuan itu berteriak kebingungan di seberang.
KLIK. Kumi mematikan ponselnya. Hati Kumi puas.
Shaka duduk di sebelah Kumi. “Aku semalam telah meminta ijin pada Arka. Aku beritahu dia aku puas dengan servis kamu dan memintamu menginap selama seminggu. Aku pikir kamu bisa beristirahat di sini, sekalian memeriksa kehamilanmu. Sorry dari semalam aku khawatir kamu belum memeriksakan kehamilanmu ke dokter.”
Perhatian Shaka membuat wanita itu menitikkan air mata. Dia merasa sedih sekali, kenapa bukan suaminya yang bersikap seperti itu?
“Ssshhhh… jangan menangis.”
“Aku terharu bertemu malaikat sepertimu.” Kumi mengusap air matanya. “Tapi masalahnya aku tidak membawa pakaian.”
“Kamu bisa membelinya online. Aku yang akan membayarnya. Anggap saja sebagai hadiahku karena kamu mau menemaniku bercanda. Hosh aku sudah lama tidak mengobrol santai seperti ini,” canda Shaka.
“Oh ya? Apakah teman-teman kamu alien yang kaku.”
“Hahahahaha, bukan begitu. Aku hanya tidak suka melihat muka-muka palsu, contohnya seperti suamimu itu. Aku tahu dia orangnya sangat ambisius dan melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya.”
Kumi menganguk-angguk. Ia mengamini perkataan Shaka. “Lantas, kalau kamu tahu sikap Arka begitu, kenapa kamu malah menjadikan dia sebagai CEO?”
Shaka menarik napasnya dalam-dalam. “Entahlah, mungkin bayimu yang menggerakkan aku untuk melindungimu. Sudahlah, lupakan soal Arka untuk sementara.”
“Terima kasih,” kata Kumi.
***
Matahari pertengahan bulan Februari mulai panas, cahayanya yang kekuningan menyengat wajah Kumi yang baru sampai di rumah Arka. Seminggu berlibur, dan tak mendengar cacian Arka dan mertuanya membuat kewarasan wanita muda itu kembali.
Dia melangkahkan kakinya dengan ringan dan tersenyum sinis saat melihat mobil Arka parkir di garasi. “Tumben dia tidak keluar kota. Padahal ini hari minggu,” ia berkata pada dirinya sendiri.
“Kelihatan sekali kamu bersenang-senang bersama Shaka.” Dia memandangi Kumi dengan seksama. Penampilan Kumi sangat berbeda, wajahnya sangat cantik dan pakaian ketat yang membalut badannya sangat pas sekali membentuk lekuk tubuhnya.
“Tentu saja, dia memperlakukanku seperti ratu,” kata Kumi, dia mulai berani menatap mata Arka.
Mama mertuanya datang, dan pandangannya jatuh ke perut Kumi yang terlihat membuncit.
“Kumi… a-apakah k-kamu h-hamil?” tanyanya dengan suara tersendat. Rini tak percaya dengan penglihatannya.
“Iya Ma!”
Jawaban Kumi mengagetkan Arka. “Anak siapa dia Kumi!” tanyanya setengah berteriak.
“Tentu saja ini anakmu Mas!!” kata Kumi geregetan sembari menuangkan air ke dalam gelas.
Pria itu menoleh. “Mana mungkin! Aku yang punya pelurunya. Aku yang mengendalikannya.” jawabnya enteng. “Kamu pasti melakukannya dengan orang lain kan?” tuduhnya tanpa alasan.
Kekesalan Kumi yang berbulan- bulan disimpan seketika berhamburan keluar. Ia menaruh gelasnya dengan kasar di atas meja. “Kamu sembarangan menuduhku Mas. Yang bejat itu kamu! Bukan aku! Kamu tega menukar diriku dengan jabatan yang kamu incer, terus siapa yang tiap malam meminta jatah ke kamarku?”
“Apa-apaan kamu ini?!! Dasar perempuan tak berguna!” bentak Arka tersinggung dengan sikap Kumi. Dia menarik baju Kumi dan hendak menampar wanita itu.
“Ayo tampar Mas, tampar aku! Bukankah Mas Arka tidak pernah cinta aku!” tantang Kumi berapi-api. Dia yang biasanya pendiam berubah menjadi serigala yang menakutkan.
PLAK
Tangan Arka menampar keras pipi Kumi, perempuan itu terhuyun. Dia tidak menangis! Tapi tersenyum menyeringai kepada Arka. Jijik sekali Kumi melihat laki-laki itu.
“Masih mau lagi ku tampar lagi eh?” Arka kini menjambak rambut Kumi. “Apa kamu tahu, aku sudah bosan dengan kamu. Tubuhmu seperti bab* gendut, penampilanmua seperti babu. Kamu juga tak pandai melayaniku di ranjang! Malu aku punya istri seperti kamu! Mati saja kau!” Arka meludahi muka Kumi.
Kumi mengusap mukanya, hatinya semakin diselimuti kemarahan. “Teruskan, supaya hatimu puas mengejekku!” kata Kumi dengan suara tertekan.
Arka melepaskan tangannya, dia berdiri dengan kaku dan pongah, tangannya berkacak pinggang. “Apa kamu tahu aku sudah bekerja keras sampai di posisi ini, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu hanyalah perempuan bodoh yang bisanya minta uang dan uang. Kamu tidak bisa apa-apa tanpa aku?”
“Apa kamu amnesia?? Sejak kapan kamu memberiku uang Mas? Selama kita menikah, belum pernah sekalipun aku menerima uang darimu!! “Dada Kumi bergemuruh.
Air mata yang ditahannya akhirnya jebol. Perempuan itu berdiri di depan Arka. “Aku juga susah payah berdiri supaya bisa bersisian denganmu Mas. Kurelakan karir dan mimpiku supaya aku bisa mengabdi kepada keluargamu. Aku diam meski mamamu memperlakukan aku seperti pembantu di depan teman-temannya.”
Mulut Kumi terasa kering
“Selama ini aku tidak pernah mengeluh, aku tidak pernah meminta apapun kepadamu. Aku berusaha sebaiknya mengurus keluarga, tidak pernah merecoki pekerjaanmu. Tapi apakah kamu memikirkan kebahagiaanku? Apakah kamu memikirkan mimpiku? Tidak! Kamu hanya sibuk dengan dirimu sendiri Mas. Coba tanya dirimu sendiri, apa yang telah kamu berikan untukku? Kamu hanya pintar mengamcam dan marah-marah, tapi NOL dalam tindakan. Kamu mengejekku seperti bab* gendut, sayangnya kamu lebih suka menghamburkan uang untuk selingkuhanmu daripada istrimu sendiri!” Kumi memuntahkan uneg-unegnya. “Mana ada istri yang kamarnya di kamar pembantu!” Setelah itu dia menangis meraung-raung.
“Nak Arka, kami ikhlas melihat Kumi menjadi janda daripada kalian siksa di rumah ini.”
Kumi menoleh dan mulutnya terkunci saat melihat Ibu dan Ayahnya berdiri di depan pintu. Dia langsung menubruk Ibu dan Ayahnya yang belum dilihatnya selama berbulan-bulan. “Ibu, Kumi kangen sekali.” Putri memeluk anaknya sambil berlinang air mata. Hatinya hancur sekali melihat Kumi diperlakukan jahat oleh menantu dan besannya. “Maafkan Ayah dan Ibu Nak. Ibu tidak menyangka mereka memperlakukanmu buruk seperti ini.”Rini ketus, ia marah sekali melihat besannya mendadak datang. ”Tamu kok gak punya sopan-santun, langsung masuk ke rumah orang tanpa permisi. Lagipula, Kumi itu menantu kami, kami berhak melakukan apa saja kepadanya. Sedangkan kalian tidak punya hak sama sekali!”Teguh datang. “Benar apa kata istri saya, kalian tidak usah ikut campur dengan rumah tangga anak kami. Sebaiknya Tomo dan Putri pulang, daripada memperk
Kumi membuka tas, mengambil uang lima ribuan dan memberikannya pada perempuan tersebut. Tanpa sadar Kumi mengelus perutnya. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya. Tidak-tidak, dia tak mungkin terlempar di jalanan seperti wanita itu.Putri memegang tangan anak perempuannya. “Kamu jangan khawatir Nak. Ibu dan Ayah akan menjagamu. Kamu sekarang aman bersama kami, juga anak yang ada dalam perutmu.”“Bagaimana Ibu dan Ayah bisa pas datang saat kami bertengkar?” tanya Kumi mengalihkan pikiran sedih yang mulai menginvasi otaknya.Ayah menjawab pertanyaan Kumi.“Ibu dan anak itu punya ikatan bathin kuat Nduk. Ibumu sering bersedih dan menangis tanpa sebab. Tiap tengah malam ia selalu terbangun dan ingat sama kamu. Dia memaksa Bapak untuk menengokmu. Tapi Bapak tunda terus. Kemudian seminggu yang lalu, ibumu menyuruh Khandra datang diam-diam mengecek keadaanmu. Dia melihatmu lari ke sana ke mari mempersiapkan acara makan-maka
Yuni berdiri di depan pagar, matanya yang belok melihat ke Kumi. “Siang Tante,” sapa Kumi ramah. “Hati-hati Kak, dia tukang gossip, jangan disuruh masuk,” bisik Khandra. “Oh ya, Khandra punya uang, uang Kakak sebaiknya disimpan saja.”“Beneran? Darimana dapat uangnya?” Kumi mengernyitkan dahi. “Aku buat stiker dan kujual online. Hasilnya kutabung buat bayar kuliah nanti,” kata Khandra bangga. “Kakak mau makanan apa, biar sekalian Khandra belikan.” Ada gerimis di mata Kumi, ia terharu dengan kebaikan adiknya. “Tidak usah, Kakak tidak pengen apa-apa.”Khandra l
Bab 10 Kumi lalu berlutut di depan ayahnya sambil berurai air mata. “Ayah, tolong sekali ini saja, bantu Kumi mengurus perceraian Kumi. Maaf, Kumi tidak bisa menyenangkan hati Ayah tapi Kumi ingin hidup bahagia sesuai dengan keinginan Kumi.” Walaupun usianya masih muda, Kumi selama ini mengamati lelaki setelah menikah kebanyakan condong kepada keluarga istrinya, karena keterikatan dengan istri dan anak perempuannya. Contohnya seperti Ibu, setiap ada masalah atau keperluan, Ibu lebih memilih bercerita pada ibunya sendiri daripada dengan mertuanya. Sementara Arka adalah anak semata wayang keluarga Teguh. Ia memahami kasih sayang mertuanya terutama mama mertuanya yang begitu besar pada Arka sehingga sulit bagi Arka untuk melepaskan perhatian dan pemikiran kedua orang tuanya. Sedikit banyak Arka mencontoh apa yang orang tuanya lakukan. Kumi bisa melihat itu, setelah tinggal bersama mertuanya. Mertuanya adalah tipe keluarga konservatif
Bab 11 “Kalau kamu tahu siapa saya, antarkan Kumi sekarang! Jika tidak aku akan memporak-porandakan hidup Kumi!” Teguh langsung menutup telponnya. Ancaman Teguh tidak membuat Sutomo gentar. Dia mencari istri dan anaknya di kamar. “Keluarga Mas Teguh mengancam kita, Bu. Dia mau membuat hidup Kumi sengsara. Tapi Ayah sudah bulat mau mengurus perceraian Kumi secepatnya,” kata Sutomo kalem, meski hatinya takut. Putri tersenyum. “Nah, gitu dong Yah. Ibu sangat bangga sekali dengan tindakan Ayah,” pujinya haru. “Soal ancaman, Ibu gak takut, kita sudah punya bukti kuat. Seandainya kita beberkan ke public apa ya mereka gak tambah malu.” “Khandra juga telah mengumpulkan beberapa foto Mas Arka bersama pacarnya,” kata Khandra tiba-tiba. Dia memberikan beberapa lembar foto pada Kumi. Kumi mengambil dan memperhatikannya. “Eh, bukankan ini tempat hotel saat kami honeymoon dulu.” Dia tersenyum kecut. “Kenapa dia Nduk? Apa
“Bukan Ayah mau mengusirmu dari rumah ini. Hanya saja, Ayah mau jujur dengan kondisi keuangan Ayah. Hingga Ayah mau pensiun, hutang Ayah di Bank masih ada. Sekarang dengan kamu pulang ke rumah dalam kondisi hamil, beban Ayah semakin berat.” Mendengar penuturan Ayah, tangis Kumi jatuh. Ia tahu kondisi keluarganya. Ibu merangkul Kumi. “Kamu di sini saja Nduk, di rumah ini. Kamu perlu dukungan kami, gak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri.” Ibu menatap lurus-lurus wajah suaminya. dia tahu apa yang lelaki itu pikirkan. “Apa Ayah tega menelantarkan Kumi sendirian di kos. Dia sedang kesusahan dan hamil! Ibu tidak akan pernah mengijinkan Kumi keluar dari rumah ini!” “Ayah tidak usah takut kita kekurangan. Siapa tahu kehamilan Kumi membawa keberkahan bagi keluarga kita!” “Iya, Khandra setuju dengan Ibu. Khandra akan bantu Kakak. Biarkan Kakak tinggal bersama kita.” “Tapi Bu… bagaimana dengan gossip nanti?” Ayah masih keukeuh dengan pendiriannya. “Ngapain kita takut sama
“Pasti dengan wanita ini bukan?” Ibu datang dan melemparkan foto-foto Arka dan Rhea di atas meja saking jengkelnya. “Kami memang miskin, tapi kami masih punya attitude yang baik. Berani sekali Mba Rini mencaci maki dan menampar anak saya di rumah saya sendiri. Ck…ck… ck… saya makin gak respek dengan keluarga kalian!” Ingin sekali dia menjambak sanggul yang dipakai Rini. Sutomo ikut geram. “Mba Rini, biar nanti kita selesaikan masalah ini di pengadilan agama. Mba Rini pulang saja sekarang.” Shaka menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap mamanya Arka. Dia lalu menelpon Arka menggunakan video call. “Halo Arka, meeting besok saya batalkan. Saya masih ada urusan. Oh ya, apa kamu kenal dengan wanita cantik ini?” Shaka lalu menyorot ponselnya ke arah Rini. “Dia mama saya Pak,” tampak keterkejutan dalam mata Arka melihat mamanya bersama Shaka. Dia hendak bertanya tapi Shaka sudah menutup saluran telponnya. “Apakah Ibu sudah jela
Sesuai janjinya keesokan paginya Kumi pergi berbelanja di warung, Di warung Mba Narti, Kumi melihat ada Tante Yuni, Tante Ratih, dan beberapa-ibu-ibu yang tidak ia kenal. Kumi menyapa mereka. “Pagi Tante.” Kemudian ia mengambil ayam, tempe, sayur sop, dan kacang panjang. “Walah, Jeng. Saya denger-denger di sini ada yang baru jadi janda ya? Pantes saja mau keluar rumah, wong sudah siap-siap tebar pesona dan cari mangsa. Hati-hati lho Jeng, ntar suami kalian diambil. Hih… ngeri,” kata Yuni dengan sarkas. Matanya yang bulat besar melirik Kumi tak suka. Kumi tak menanggapi omongan Tante Yuni, dia membolak-balik sayuran dan melambatkan gerakannya memilih belanjaannya, lalu telinganya mendengar Tante Yuni membicarakan dia lagi. “Lihat itu ibu-ibu dia gak bereaksi, telinganya sudah budek kali ya. Jadi tambah ngeri gak sih dengan perempuan kayak gitu, kelihatan alim dan manis, tapi kelakuan kayak setan. Saya yakin dia sedang mencari laki-laki supaya bis