Share

7. (Bukan) Kabur Dengan Pria Lain!

Ponsel yang aku taruh di dalam saku dadaku, berdering. ia dapat mendapati bahwa Dean meneleponnya. Dengan cepat, ia langsung menolak panggilan tersebut.

Beberapa detik kemudian, ponselku menerima panggilan dari orang yang sama lagi, yang sama seperti sebelumnya. Aku tolak tanpa pikir panjang. Aku sedang tidak ingin menerima panggilan dari siapapun, terutama dari Mas Dean.

Buru-buru aku mematikan ponselnya agar Dean tidak dapat menghubunginku lagi. Tapi kemudian, suara klakson dan lampu tinggi yang diberikan oleh kendaraan di belakangnya mendapatkan perhatiannya. 

Aku semakin yakin melihat mobil yang melaju bersisian dengan mobil kami adalah mobil milik Dean, membayangkan wajah marah Dean dari balik kaca film gelap mobilnya membuat aku semakin ingin menantangnya.

“Sepertinya, Dean nggak akan melepaskanmu begitu saja, Linar.”

“Pastikan saja kita nggak tertangkap, lebih cepat lagi, Erwin! atau kamu akan mendapatkan beberapa pukulan darinya.” ucapku menakutinya.

Menghapus air mata, aku minta dipercepat laju kendaraannya. Mengamati melalui kaca spion, Dean kembali memberikan lampu tinggi dan membunyikan klakson, meminta Erwin untuk menepi.

Karena jalanan yang cukup sepi, Dean menambah kecepatannya lagi dan mengambil lajur di sebelah kanan sehingga mobil mereka kini beriringan. 

Dari ekor mataku terlihat Dean membuka kaca di sisi kursi penumpang. Pria itu mengatakan sesuatu dan menggerakkan tangannya yang ku anggap sebagai perintah untuk menghentikan kendaraan.

Erwin menoleh pada Linar yang langsung dibalas anggukan dan tatapan menyemangati. la kembali menambah kecepatan kendaraan dan meninggalkan Dean di belakang. Sial baginya karena Dean tidak menyerah. Air mata yang belum benar-benar hilang dari mata aku lalu menghalangi pandangannya.

la mengerjapkan matanya berkali-kali guna menjernihkan pandangannya. Tepat pada saat itu, tiba-tiba saja sebuah kendaraan beroda dua muncul di sebelah kirinya. Secara refleks, Erwin menginjak rem dan sedikit membanting kemudi ke sebelah kiri untuk menghindari pengendara tersebut.

Benturan kecil pada trotoar jalan menghentikan mobilnya. Tubuhnya sedikit terayun ke depan, tapi Erwin dan aku baik-baik saja. Matanya lalu menangkap mobil Dean yang menepi di depan kendaraannya, pria itu mematikan mesin dan turun.

Ekspresi wajah Dean terlihat marah ketika pria itu berjalan menghampirinya dengan langkah panjang. Dean menggedor sisi pintunya dan mencoba untuk membuka pintu mobil yang terkunci dari dalam.

"Buka kuncinya, brengsek!" teriakan Dean terdengar jelas dari dalam mobil.

Aku menolehkan kepalanya, menatap Dean. Ia lalu kembali memandang ke depan, memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini. Jarak antara mobilnya dan Range Rover Dean cukup jauh, ada cukup jarak baginya untuk melaju pergi dari sini.

"Linar!" teriak Dean lagi. "Buka pintunya sekarang juga, Linar!"

Gedoran pada kaca mobilnya tidak berhenti, dan kami mendengar kemarahan pria itu dalam suaranya. Pergi dari tempat ini jelas tidak akan membuatnya terhindar dari kemurkaan Dean. Pria itu pasti akan mengikutinya lagi dan usahaku untuk menghindarinya hanya akan menjadi sia-sia.

Menghela napas, Erwin menekan sebuah tombol untuk membuka kunci mobil. Begitu suara kunci yang terbuka terdengar. Dean langsung menarik pintu dan membukanya lebar-lebar. Menarik kerah baju milik Erwin yang mengikutinya pasrah.

Buuughhh!!!

Aku membekap mulutku, melihat Dean memukul Erwin tepat pada bibirnya.

"Apa lo udah gila? Menyetir dengan kecepatan seperti itu?!" semprotnya marah. "Lo bisa menyebabkan istriku kecelakaan, brengsek!"

"Mas, berhenti! Aku yang memaksanya untuk terus mengebut." Aku menoleh memandang Dean yang sudah meninggalkan Erwin dan berjalan memutar mendekat, berdiri di sampingku dengan tubuh sedikit dibungkukkan. 

Melihat sikap arogan Dean membuat ku tak peduli pada kemarahannya. "Well, aku nggak akan memaksanya mengebut kalau bukan karena kamu!"

"Kalau begitu kamu seharusnya berhenti saat aku memintanya baik-baik dan bukannya malah menolak semua panggilanku!"

"Dan kau seharusnya tidak mengejarku!" balasku dengan emosi. "Aku sudah muak denganmu, Mas! Seharusnya kamu membiarkanku pergi. Dan kembali pada wanita simpananmu! Dan biarkan aku pergi!”

Dean menggeram marah. "Kamu sedang emosi dan kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi begitu saja? Dengan pria lain tepat di depan mataku, hah?!"

"Ya!" aku menjawab dengan mantap. "Ya, seharusnya kamu membiarkan aku, Mas!"

Aku masih memperkirakan kemarahan Dean, apakah sudah berada pada puncaknya, namun tidak sama sekali karena mata pria itu kembali berkilat, lebih tajam daripada sebelumnya.

"Keluar!" perintah Dean dengan nada yang sangat rendah.

"Nggak!"

"Sekarang, Linar!" desisnya. "Jangan buat kesabaranku habis."

Aku hampir berpikir bahwa kesabaran pria itu memang sudah habis. Dari posisiku sekarang ini, kali ini aku yakin aku bahwa Dean memegang tali terakhir yang menggantung kesabaran pria itu.

Aku lalu melepaskan sabuk pengaman dan mengayunkan kakiku turun dari mobil.

"Sekarang, kamu mau apa?" tanyaku kesal.

Aku langsung mendapatkan jawabannya saat Dean menarik tanganku dengan erat. Pria itu membawaku memutari mobil dan membuka pintu kursi penumpang.

 Aku sempat menoleh ke belakang, pada Erwin yang tak berdaya tak lama dengan dorongan yang secara mengejutkan lembut, berbanding terbalik dengan emosinya, Dean menyuruhku masuk.

Pria itu langsung mengulurkan tangan, memasangkan sabuk pengaman untukku.

"Jangan bergerak," perintah Dean menatapku dominan.

“Aku benar-benar butuh waktu sendiri, Mas. Atau aku akan meledak lebih dari ini karena muak mengingat kebersamaan kalian berdua di kamar hotel!” seruku tercekat. 

Aku menoleh pada Dean dengan air mata yang terus jatuh di pipi. Aku sengaja membiarkannya melihat tangisanku, bahkan aku sudah bergetar dengan dada kembang kempis karena sesak.

“Berapa lama?” tanya Dean dengan nada lebih rendah.

“Entahlah, yang jelas aku masih mengingat statusku sebagai seorang istri, dan aku akan pulang begitu aku siap.”

“Seharusnya kita bicarakan ini semua di rumah, Linar! Bukannya kamu pergi meninggalkanku bersama pria lain!”

Aku tertawa sinis. Menatapnya tajam. “Aku mengenal dirimu dengan baik, Mas. Kamu dengan egomu yang tinggi itu nggak akan mau mendengarku! Dan aku masih terlalu emosional menghadapi kesombonganmu! Dan Erwin. Aku sendiri yang memohon untuk menjemputku, biar kamu bisa kembali pada wanita simpananmu dan menenangkannya, eh.”

Mas Dean tersinggung, ia balas menatap tajam padaku. Di detik berikutnya ia menghela nafas berat. “Ok, hanya dengan aku yang mengantarmu, dan aku akan meninggalkan kamu ditempat yang kamu mau. Dengar! Kamu adalah istriku dan aku berhak menjemputmu kapanpun ketika aku membutuhkanmu.”

Aku membuang wajahku ke samping. Aku tahu negosiasi kali ini sudah final, atau dia akan benar-benar membatalkannya.

Mas Dean kembali memutari kendaraannya dan masuk ke kursi pengemudi. Aku sudah akan membuka bibir untuk protes karena tak tega meninggalkan Erwin sendirian dalam keadaan bibir yang mengeluarkan sedikit darah. 

Namun, melihat rahang Dean terkatup rapat, aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk berdebat. Aku pasrah ketika Range Rover milik Dean meninggalkan Erwin.

***

Dddrrtt ..ddrrt ..

"Lin?" Panggil Tita memutus lamunan Linar yang sedari tadi membiarkan gawainya berdering hingga mengganggu ketenangannya.

Linar menoleh dengan wajah bertanya. "Itu suami lo nelpon dari tadi kalau nggak mau diangkat minimal setting mode silent gawai kamu biar nggak berisik!" saran Tita.

Linar mengerjap sekali dan memilih menggapai gawainya yang memunculkan nama 'suamiku' di layar gawainya. Ia menghela napas gusar dan menggeser tombol hijau. "Halo"

"Kamu dimana Lin, kamu masih sama lelaki itu? Dan kenapa belum pulang hah?" 

Linar menyentuh keningnya gusar mendengar serentetan pertanyaan pengantar yang bernada marah. Hufth

Linar bangkit dari duduknya menjauh dari Tita, "Aku di tempat Tita Mas, berduaan aja sama dia dan aku ngga pulang malam ini,"

"Apa? Kenapa? Lin, aku ngga suka yah kamu kabur ke rumah teman kamu di saat kita ada masalah kayak gini!"

"Justru karena keadaan kita yang masih begini Mas, aku lagi kecewa dan muak lihat kamu sedangkan kamu pasti butuh waktu untuk nenangin simpanan kamu kan" ejek Linar pelan.

"LIN!" sentak Dean memekik tertahan tersinggung.

"Udah yah Mas, kita butuh jarak terutama aku butuh waktu, besok apulang kok. Dah Mas" tutup Linar kembali mengatur mode silent pada gawainya dan berjalan demi mendaratkan tubuhnya di atas kasur yang langsung disambut lirikan  mata oleh Tita.

"Sorry Ta, gue tidur duluan ya," seru Linar memposisikan dirinya untuk tidur tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya.

Tita menatap sendu sahabatnya yang terlihat resah dan lelah hingga memilih tidur lebih cepat dari orang dewasa pada umumnya.

"Lo yakin nggak mau berbagi  cerita sama gue, Lin?" Ujar Tita pelan.

Linar membuka matanya, membalas tatap dan menggeleng pelan.

"Belum saatnya Ta, lagian ini aib rumah tangga gue yang nggak akan gue umbar walau gimana pun kan gue harus jaga nama baik mas  Dean. Gue nggak mau gunjingan suami sendiri hahahaha" jawab Linar tertawa kering.

     ***

"Lin, hallo!" . Dean memanggil sekali lagi lalu mendesah keras karena sadar Linar menutup sepihak sambungannya. Ia menyugar rambutnya kasar, ia marah pada keadaan yang membuat istrinya memergokinya, fatal sudah istrinya itu tidak mentolerir isu perselingkuhan dan pengkhianatan.

"Brengsek! Harusnya Linar tetap di rumah dan siapa yang berani mempengaruhi Linar hingga Linar memergokiku di hotel?" tanyanya dalam gumamnya.

Dean melepaskan arloji dan ikat pinggang lalu membuang sembarang di atas ranjang kemudian ia berjalan ke arah pintu kaca balkon membuka dan melewatinya, ia memandang langit malam yang setia gelap  dan sendu  seolah mengejeknya karena biasanya ia ditemani oleh wanitanya, istrinya  memandang langit yang sama.

Dean menggeleng dua kali frustasi ia mencengkram tralis erat,  rasa pahit di lidah menginginkannya sebatang rokok untuk menghalau pahit dan sepinya sedetik kemudian Dean ingat jika sebungkus rokoknya telah ia buang karena gerutuan istrinya dan itu sudah dua Minggu yang lalu.

Sial!

            ***

"Mas Dean udah sampai Ta, gue pamit ya, dah. Tita" pamit Linar yang di balas pelukan erat oleh sahabatnya.

"Lin, kalau lo udah nggak kuat kapanpun kamu bisa langsung temui aku ya, gue akan dengerin keluhan lo biar lo nggak harus tanggung sendiri semuanya, ok!"

Linar mengangguk dan tersenyum ia berbalik dan mengambil tas selempang miliknya di atas nakas dan pamit untuk keluar kossan.

Linar berjalan dengan langkah gamang ini pertama kalinya ia merasa gamang saat melangkah menuju suaminya, jelas semuanya telah berubah dan tak akan lagi sama.

Linar menempatkan dirinya duduk tepat di sebelah kemudi lalu menutup pintu mobil dan mempertahankan diamnya selama perjalanan Linar memilih memperhatikan jalanan kota sesekali berbalas pesan ia memilih tak peduli saat sadar suaminya melirik sekian kali ke arahnya tahu pasti jika suaminya menahan diri untuk bertanya.

Linar tak mampu menahan diri saat mobil yang di tumpanginya semakin masuk ke komplek mami mertuanya.

"Kenapa ke sini, Mas?" Tanyanya menoleh

"Supaya kamu ada temannya dan mami juga ada teman ngobrol," ucapnya datar.

"Aku ada teman ngobrol meski di rumah kok, dan harusnya kamu tanya di awal aku mau atau nggak ke rumah Mami!" protes Linar

Dean menoleh "Emangnya kenapa kalau ke rumah Mami?"

"Kurang nyaman aja, karena aku lagi badmood. Aku mau tiduran di kamar seharian dan bakalan susah kalau aku di rumah Mami," balas Linar cemberut.

"Apapun itu lebih aman di sini," gumam Dean.

"Apa? Kamu bilang apa barusan, Mas?" tanya Linar tak cukup mendengar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status