Share

3. Melabrak di Kamar Hotel

Melabrak di Kamar Hotel

Sesak! 

Wanita yang sama pada dua foto di gawai Dean.

Dengan langkah yang ditarik-tarik Linar mendudukkan dirinya di meja kosong di luar restoran yang sama. terletak cukup jauh, namun mudah melihatnya dan syukurlah. Di atas meja mereka terlihat piring-piring makanan yang sudah kosong.

 Linar menggerutu dalam hati. Sedetik kemudian ia mencoba menggunakan teknik pernapasan dilanjutkan berdzikir, agar lebih kuat dan tak menggila di sini.

"Hufth!"

Ia masih menatap lemah mereka dan memilih akan mencoba sekali lagi. Linar melihat suaminya sedikit tersentak mendapat panggilan telepon darinya. Si wanita itu menatap bertanya, lalu Dean membuka mulutnya entah bicara apa, dan Dean mengangkatnya ponselnya.

"Iya halo, Mas. Kamu di mana?"

"Aku lagi di kantor, nih. Aku harus lembur lagi,"

"Masih di kantor? Jadi benar hari ini kamu lembur lagi?" tanyanya mendesah.

"Iya, lagi. Kamu nggak perlu tungguin aku pulang. Kemungkinan aku menginap di kantor,"

"Oh, ya? Sesibuk itu?"

"Iya, dan nggak usah khawatir tentang baju ganti, aku punya setelan baju kerja di ruang kantor aku. Jadi kamu nggak perlu repot ke kantor pagi-pagi, ok!"

Linar mengangguk lemah menanggung kecewa teramat sangat,  "Oh, ok!" 

Selang tak berapa lama Linar mengikuti mereka meninggalkan segelas teh ocha yang hampir habis. Ia terus mengikuti mereka dari belakang, hingga mobil berhenti pada sebuah gedung hotel elit.

Deg! 

'Kenapa harus berhenti di sini?' pikirnya dalam hati yang semakin menyesakkan Dada.

Namun, ia menolak untuk menyerah, walau sudah memulai dengan merakit sakit hati agar masih kuat demi meneruskan penyelidikan, dan masih terlalu awal baginya.untuk menyerah bukan?

Linar memastikan jarak aman dan tetap mengikuti mereka dari belakang jangan sampai tertinggal, hotel semewah ini sudah barang pasti menjaga ketat keamanan dan informasi pemiliknya bukan. 

Dengan tak sabaran ia segera keluar dari kotak hitam besi yang bisa mengantarnya ke lantai tiga belas, angka yang sama yang ku lihat pada penunjuk lift yang membawa mereka berdua. 

"Semoga aja masih terkejar." gumamnya.

Saat berbelok Linar melihat mereka di ujung lorong tengah membuka dan memasuki sebuah pintu unit yang ia tak tahu berapa deret angkanya, merasa tak penting karena sudah tahu letak pintunya di mana.

Deg ... Deg ... Deg 

Pelupuk mata Linar mulai panas, ia menyentuh dadanya yang berdegup sakit lebih terasa menyesakkan. Ia mematung di ujung dinding belokan.

Untung saja hotel ini sepi. Mungkin karena penyewanya para pekerja keras yang pulang larut malam. Hah, mewah sekali gedung ini. Kenapa harus pergi ke hotel atau siapa yang membayar kamarnya di antara mereka. 

Overthinking Linar bertebaran lagi di kepala dan seperti ada tangan yang memukul-mukul dadanya kembali.

 Linar melihat tangannya bergetar lebih parah, ia mengepalkan jemari seolah tengah mencengkeram dadanya yang berdegup cepat menyesakkan, agar lekas berhenti. 

Linar menarik napas dalam dan hembuskan perlahan berulang kali, ia menegakkan tubuh, lalu merogoh gawai kecil dan ia hidupkan kamera video. Ketika sudah pasti ia taruh di saku atas dadanya sebelah kiri kemejanya.

'Semoga bukan seperti apa yang aku pikirkan, Tuhan mohon kuatkanlah hati hamba." gumamnya.

Linar berbalik dan mengangkat dagu dengan tangan yang dingin saling bertaut menguatkan. Ia melangkah pelan sembari merakit kekuatannya kembali. 

Aku terkesiap ketika petugas kebersihan keluar dari pintu unit di depanku, dia bahkan ikut terkejut dengan reaksiku. 

Linar mencoba tersenyum dan ah, "Maaf, Mas. Boleh minta tolong?" pintanya mencegat.

Setelah menjelaskan apa dan bagaimana, selanjutnya Linar mengambil posisi setengah meter dari pintu unit yang dimasuki Dean dan wanita itu, tak berhenti mengintai.

Sudah dua kali si petugas kebersihan menekan bel, ia menoleh pada Linar yang segera diberi kode untuk terus menekan bel yang dipatuhi oleh lelaki itu.

Klik 

Suara pintu terbuka, Linar menahan napas gemuruh detak jantungnya semakin cepat. Penampakan seorang perempuan dengan pakaian tidur yang sangat terbuka muncul dari baliknya.

"Ada apa ya, Mas?" suara perempuan terdengar menyahut dari dalam kamar.

Sentak Linar menoleh, namun ia masih diam memaku dirinya bertahan.

"Maaf, Nyonya. layanan kamarnya," seru petugas kebersihan itu.

"Layanan kamar? Saya belum memesannya, dasar aneh!" tukas wanita itu judes.

"Maaf,"

"Ada apa?" suara Dean menginterupsi mereka yang membuat Linar dan dari suaranya wanita itu terkesiap juga dengan alasan berbeda.

Linar berjalan cepat membuat petugas lelaki itu mundur, melihat wanita itu sedang menoleh ke belakang menjawab interupsi Dean, dengan kasar ia mendorong pintu lebih lebar. 

Linar nyaris kehilangan suara saat memindai tubuh perempuan berjubah putih dengan sebagian besar tangan dan paha putihnya terpampang. 

"Kamu?" tuduh wanita itu terperangah.

Linar segera menyadarkan dirinya dan berjalan lagi sengaja menabrak bahu wanita itu kasar. 

Linar menerobos masuk dan Dean menoleh cepat. Mereka saling balas menatap dengan cara yang berbeda, Linar dengan pandangan menatap nyalang tapi rapuh dan Dean yang terkejut. Dengan wajah yang terlihat kalut Dean berjalan mendekati Linar. 

"Linar?" panggil Dean parau ia mulai tampak kebingungan.

Linar seperti telah kehilangan banyak darah saat ini. Kulitnya  memucat, kepala pening bukan main. Pandangan matanya mengabur, dada ini bergemuruh kian hebat.

Hal itu lantaran Linar yang baru sadar kalau ia bahkan belum makan apa-apa sejak tadi siang, tapi itu tidak cukup menyiksa, yang paling menyiksa adalah pemandangan yang tersuguh di depan kedua matanya saat ini.

Seorang pria dewasa bertelanjang dada berada di dalam satu kamar dengan perempuan berpakaian terbuka. Bagaimana mungkin Linar yang istri sahnya harus bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya. Apa yang dilakukan suaminya dengan perempuan itu di kamar ini?

Dera dan Linar tenggelam dari keterkejutan dan berbagai ocehan spekulasi di kepala keduanya, hingga terlambat menyadari Dean melangkah cepat dan meraih lengan Linar sebelum ia benar-benar ambruk, namun ia segera menepis kasar tangan Dean. 

Linar mendongak menatap kedalaman bola mata yang sarat akan keterkejutan dan kekalahan hingga kecemasan.

Dera yang melihatnya, tersulut cemburu ia menggeram kesal lalu menoleh pada petugas lelaki tadi.

"Jadi kamu diperalat sama dia? Dasar bodoh!" desis Dera dan langsung membanting pintu, tak butuh saksi atas labrakan yang dialaminya.

"Aku bisa jelasin, Lin!" kata Dean meraih tangan Linar yang segera dibalas dengan tamparan di pipi kanannya keras.

 Dean menunduk sebelum menoleh. Linar menamparnya lagi di pipi kiri sekeras mungkin.

 Linar bergerak mundur dua langkah, tersenyum masam dan mengangguk lemah. 

"Oh, tentu aja. Karena aku tahu gimana rasanya nggak dikasih kesempatan untuk menjelaskan, dan jadi orang bego yang ngga tahu apa-apa sehingga gampang dibohongi."

Kalimat terakhir yang terlontar berhasil membuat Dean terperanjat, wajahnya pias dan tersinggung. 

Pria itu menyugar rambutnya frustasi dan mendesis saat mengucapkan maaf, "Keluarlah, Dera!" titah Dean parau. 

"Apa? Nggak mau. Kamu tahu 'kan aku cuma pakai lingerie minim di balik jubah pendek ini. Nggak! orang-orang akan berpikir kalau aku wanita panggilan!" 

"Itu fakta 'kan?" sambar Linar cepat.

"Apa lo bilang?" 

"Kamu memang wanita panggilan. Jalang murahan yang dengan murahnya berzina sama suami orang, fakta 'kan?" sengit ku mengejek.

"Apa! Sialan! Beraninya lo dasar ...!"

"Keluar, Dera!" sentak Dean tegas menatap dalam tanda tak perlu penolakan berikutnya. 

Dera terkesiap. Ia menatap kesal pada Dean, ia melangkah mundur seraya mencebikkan bibirnya kesal. 

"Nggak perlu!" imbuh Linar. Menoleh malas pada Dera.

"Kamu udah bersikap jalang yang merusak rumah tangga aku, jadi ayo kita selesaikan semuanya dengan cara dewasa!" 

"LINAR!"

"Apa? Kenapa kamu nggak mau libatkan dia di saat dengan teganya kamu mempersilakan dia masuk dan merusak rumah tangga kita, Mas?" 

"Oh, atau ini cara kamu untuk menjaga jalang kamu dari kemarahan aku, begitu, Mas?" bentak Linar dengan suara bergetar, aku melotot dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Sebaiknya aku pergi," gumam Dera berbalik terburu-buru ke arah nakas untuk mengambil barang pribadinya.

"Suruh wanita kamu untuk tinggal, Mas. Atau aku akan membesar-besarkan masalah lebih dari ini!" ancam Linar berdesis.

Dean menatapnya marah, ia menghela napas kasar kasar dan berjalan menjauh, lalu berteriak.

"Linar dengar! ... brengsek!" amuknya menjenggut rambutnya frustrasi kemudian berbalik. 

"Kenapa kamu ada di sini sih, hah?" bentak Dean marah.

Linar sebagai istri sudah tahu bahwa suaminya akan semarah ini, dan ia bertekad akan tetap menuntaskannya meski terlampau alot.

"Dera, kamu jangan keluar atau aku akan labrak kamu di Derara's boutique, itu milik kamu dan saudara sepupu kamu kan? Pasti akan lebih seru kalau acara pelabrakannya di rekam dan diviralkan ke media sosial, gimana setuju?"

"Sialan! kamu dengar itu Dean?  Wanita ini baru aja mengancam aku!"

"Kita buat simple aja, kamu cukup ikuti apa kata aku sebagai istri sah dari pria yang sedang kamu serong suaminya!"

"Brengsek!" desis Dera melotot. 

"Lin,  jangan begini! kita bicarakan ini di rumah, sebentar aku bersiap dulu," seru Dean yang langsung berbalik untuk mendapatkan baju miliknya. 

"Terdengar ancaman kosong ya? Ok, aku udah tahu alamat toko offline dan media sosialnya Dera, dan mungkin aku akan menyewa beberapa orang untuk merekam aksi pelabrakan designer muda bersama salah satu petinggi perusahaan kamu, Mas dan menyebar luaskannya, the power of netizen,  right?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status