Share

Bab 4. Harus Mencukur Brewok

Meja nomor sembilan berubah menjadi meja pertemuan penting. Telah duduk pula seorang sekretaris kepercayaan keluarga Mahardhi bernama Paman Li. Dia datang menuju rumah makan tak lama setelah Levin menelpon.

“Paman Li, tolong catat apa pun yang menjadi kesepakatan kami dan tolong rahasiakan ini dari kakak dan ayahku. Aku berjanji akan memperbaiki segalanya ketika aku kembali ke perusahaan,” pinta Levin Mahardhi.

“Baik, Tuan Muda.”

Syarat agar Levin bisa kembali ke perusahaan adalah hadirnya seorang kekasih yang nantinya akan diajak menuju ke pernikahan. Lantaran Levin masih enggan menikah, maka dia hanya membuat kontrak perjanjian kekasih tiga bulan saja. Yang terpenting bagi Levin adalah bisa kembali masuk ke perusahaan. Urusan pernikahan, bisa dia pikirkan ulang agar nantinya sang ayah mau mengubah keputusan. Begitulah pikir Levin.

“Apa Paman Li akan membuatkan kontrak yang aku inginkan?” tanya Naomy, karena dia merasa tidak memiliki kenalan untuk membuat surat perjanjian seperti Levin.

“Iya. Serahkan saja pada Paman Li. Dia akan membantumu.”

Naomy manggut-manggut, lantas tersenyum sopan pada Paman Li. Setelahnya, pembahasan pun dimulai. Levin lebih dulu menyebutkan poin-poin kontrak yang sama sekali tidak menyudutkan Naomy. Bahkan, dari isi kontrak itulah perlahan Naomy menyadari bahwa Levin termasuk lelaki yang bisa menghargai wanita.

“Bagaimana, apa kau setuju dengan poin-poinnya?” tanya Levin.

“Iya. Aku setuju. Terima kasih telah membuat poin yang tidak terlalu rumit.”

“Baik. Sekarang, sebutkan nominal yang kau minta!”

“Tidak mau. Aku tidak mau memerasmu.”

Levin terheran dengan jawaban Naomy. Sekitar dua puluh lima menit dia habiskan untuk membahas poin-poin kontrak perjanjian, justru poin utamanya tidak mau Naomy sebutkan.

“Kalau kau tidak mau menyebutkan, kau tidak akan mendapat keuntungan.”

“Tidak juga. Kau belum mendengar poin perjanjian yang aku ajukan. Paman Li, tolong catat poin-poinku, ya.”

“Tunggu sebentar, Tuan, Nona. Saran saya, kontrak perjanjiannya kita jadikan satu saja. Semua poin yang menjadi syarat bagi Tuan Levin dan Nona Naomy akan tertera di dalam sana.”

“Aku setuju,” sahut Levin.

“Terserah Paman saja, deh. Yang penting permintaanku tolong ditulis semua di dalam sana, ya?”

Paman Li mengangguk dengan sopan, lantas mulai mencatat semua yang diinginkan oleh Naomy.

Naomy memiliki jalan pemikirannya sendiri. Dia juga tidak berniat memanfaatkan Levin untuk mendapat apa yang diinginkan. Naomy hanya ingin merasakan bekerja di perushaan dengan gaji wajar yang biasa didapatkan oleh karyawan kantoran. Meski hanya tiga bulan tidak mengapa. Modal itulah yang akan digunakan untuk melamar pekerjaan di tempat lain andai tidak bisa lanjut bekerja di perusahaan Levin.

“Naomy, apa kau bercanda?” tanya Levin usai Naomy berusaha menjelaskan.

“Untuk apa aku bercanda? Aku serius. Aku cuma ingin kerja sungguhan, biar tidak berbohong lagi pada nenek.”

Sebenarnya, tujuan Naomy datang ke rumah makan mewah yakni untuk membuat cerita bohong. Dia juga memesan beberapa makanan enak demi meyakinkan sang nenek. Usaha itu berhasil. Melalui video call, sang nenek yakin bahwa cucu kesayangannya itu telah mendapat pekerjaan, punya gaji, dan bisa memakan makanan enak.

“Rupanya kau seorang pembohong, ya?” tanya Levin setengah bercanda.

“Terserah kau mau bilang apa. Aku hanya tidak ingin membuat nenek kepikiran. Ya, meskipun sekarang aku harus membayar karma atas kebohonganku itu.”

“Karma apa yang kau maksudkan?”

“Berbohong adalah suatu kesalahan. Sekarang, aku mendapat balasan dengan terjebak bersamamu di sini.”

“Pertemuan kita pasti telah direncanakan oleh Semesta,” terang Levin dengan yakin.

“Dan, aku tidak menyukainya.”

“Aku yakin, suatu hari nanti kau akan menyukainya.”

Naomy terdiam. Sejenak, dia kembali memerhatikan Levin. Menurut dia, pria di hadapannya itu tidaklah seburuk yang diduga. Hidup Levin dipenuhi dengan keyakinan, bahkan sikapnya sering terlihat tenang.

“Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa kau mulai terpesona denganku?” tanya Levin sembari menampilkan senyum manisnya.

Pandangan Naomy seketika dialihkan. Bahkan, dia langsung membahas kembali poin kontrak perjanjian kekasih tiga bulan.

“Aku setuju dengan tidak saling menyentuh secara fisik. Tapi, tolong tambahkan juga pada poinnya tentang brewokmu,” pinta Naomy.

“Kenapa dengan brewokku?”

“Tolong dicukur! Sisakan bagian kumisnya saja, tapi tipis.”

“Aku menolak.”

“Kalau begitu, aku juga menolak. Hutangnya juga akan segera aku bayar.”

Naomy bersungguh-sungguh dalam ucapan. Dia sungguh tidak nyaman dengan tampilan Levin yang brewokan, apa lagi kumisnya begitu tebal.

Sementara itu, Levin dan Paman Li saling pandang. Seolah tengah terjadi kontak batin di antara mereka untuk sekian detik lamanya. Hingga kemudian, entah bagaimana bisa tiba-tiba saja Levin menganggukkan kepala.

“Baiklah. Aku akan mencukur brewokku, tapi setelah dua bulan dari dimulainya masa perjanjian.”

“Tidak mau. Sudah harus dicukur sejak perjanjian berlangsung.”

“Bagaimana jika satu bulan sejak perjanjian?”

“Tidak boleh dan aku tidak mau.”

“Iya, atau tidak aku cukur sama sekali? Kalau perjanjian ini batal, kau juga batal merasakan kerja di perusahaan besar.”

Batalnya perjanjian sama dengan kehilangan kesempatan. Naomy tidak ingin itu terjadi. Dia sudah menolak nominal imbalan besar. Dia tidak ingin pula kehilangan kesempatan. Alhasil, usai sejenak menimbang, dia pun berakhir dalam sebuah keputusan, lantas mengiyakan.

“Baiklah. Satu bulan setelah pernjanjiannya dimulai, ya?”

“Setuju. Akan aku cukur brewokku setelah perjanjiannya berjalan satu bulan.”

“Oh ya, apa aku bisa menambahkan permintaan satu lagi?”

“Silakan, Naomy.”

“Selama tiga bulan, bisakah aku mendapat makan siang gratis?”

Levin terdiam, lantas kembali beradu pandang dengan Paman Li. Tak lama setelahnya, Paman Li tersenyum, lalu mengambil alih jawaban atas makan siang yang dimaksudkan Naomy.

Rupanya, makan siang gratis sudah menjadi fasilitas perusahaan. Paman Li juga menjelaskan, bahwa selama masa kontrak tiga bulan, Naomy juga akan mendapat fasilitas kendaraan, pembelian pakaian kerja gratis, juga barang-barang lain yang menunjang kelancaran perjanjian.

“Maaf, Paman. Itu maksudnya kendaraan seperti apa?” tanya Naomy.

“Mobil. Bisa memilih juga dengan atau tanpa sopir.”

Untuk ke sekian kalinya Naomy dibuat melongo dengan kemewahan yang disebutkan oleh Levin ataupun Paman Li. Ketika di masa kuliah, Naomy pernah bertemu salah seorang teman yang kaya raya. Akan tetapi, sangat jauh jika dibandingkan dengan Levin. Kekayaan Levin dianggap terlalu tidak wajar.

“Maaf jika aku bertanya seperti ini. Kenapa kalian begitu mudah menyebutkan tentang harta, nominal uang, bahkan gaya hidup mewah? Sebenarnya ini sungguhan atau … ada kamera tersembunyi di sekitar sini?”

Seketika Naomy mengedarkan pandangan. Dia khawatir kena prank seperti dalam konten-konten yang pernah dia tonton dalam video.

“Sekali lagi aku tegaskan bahwa aku tidak sedang membual, Naomy. Kau bisa membuktikan sendiri nanti ketika masa kontraknya dimulai,” ungkap Levin.

“Ouke. Sejauh ini aku masih percaya. Lalu, kapan kontrak perjanjiannya bisa kita tandatangani?”

“Tidak akan lama lagi. Paman Li, tolong selesaikan berkas perjanjiannya.”

Paman Li mengiyakan, tapi dia juga memberi saran. Sekretaris kepercayaan keluarga Mahardhi itu menyarankan pada Naomy dan Levin agar mereka tidak terburu dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, surat perjanjian akan diselesaikan untuk bisa ditandatangani besok siang.

“Kenapa harus menunggu sampai besok?” tanya Levin.

“Eh, tunggu! Aku setuju. Besok siang saja. Siapa tahu nanti aku punya syarat baru,” sahut Naomy.

Atas ucapan Naomy, Levin jadi berpikir ulang. Bukannya terlalu lunak apa lagi sampai terlalu khawatir Naomy akan menolak, hanya saja Levin mulai sadar bahwa diperlukan waktu untuk memantapkan keputusan.

“Baiklah. Besok siang kita bertemu lagi di sini. Sekarang, berikan aku nomor ponselmu!” pinta Levin.

Usai saling bertukar nomor ponsel, tiba-tiba saja ada karyawan rumah makan yang datang menghampiri meja nomor sembilan.

“Mohon maaf mengganggu, apa benar ini dompet milik Nona?”

“Ah, benar. Ini dompet saya. Ketemu di mana, Mbak?

“Ada di dalam toilet. Kalau begitu, saya permisi dulu.”

“Syukurlah. Dompetku kembali. KTP-ku juga masih ada.”

Diam-diam, Levin memerhatikan ketika Naomy mengecek isi dompetnya. Benar-benar tidak ada uang di dalam sana. Hanya KTP dan beberapa kartu lain yang entah itu kartu apa.

“Apa lihat-lihat? Pasti mau membandingkan isi dompetku dengan dompetmu, ya?” tebak Naomy setengah ketus.

“Karena kau sudah menebak, jadi sekalian saja aku iyakan.”

“Tuh-tuh, lihat! Dompetku memang tidak banyak isinya. Ada uangnya juga, tapi hanya lima puluh ribu. Hehe. Cuma satu lembar. Makanya, jangan tagih hutangku dulu, ya.”

Sikap Naomy mendadak manis usai dia tertawa ringan. Sikap manis itulah yang membuat Levin jadi merasa bahwa Naomy benar-benar kekanakan. Sungguh jauh berbeda dibanding wanita-wanita yang pernah dia ajak berkencan.

“Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang. Di mana rumahmu?”

“Rumahku ada di desa. Aku di sini ngontrak.”

“Di mana alamatnya?”

“Kau tidak boleh tahu. Kalau kau tahu, nanti kau akan sering datang menemuiku.”

Semakin ke sini, Naomy semakin menarik perhatian Levin. Wanita yang pernah Levin temui, mereka bahkan langsung mencari perhatian dan ingin selalu dekat dengan Levin. Apa lagi ketika tahu harta, tahta, dan jabatan Levin dalam perusahaan. Sementara Naomy, dia seolah tidak peduli dengan keuntungan lebih.

“Aku hanya tidak ingin kau kabur, Naomy.”

“Memangnya aku mau kabur kemana? Dengan uangmu yang melimpah, kau bisa saja membayar orang suruhan untuk mencariku.”

“Rupanya kau pintar juga, ya?”

Naomy tidak menanggapi lagi. Fokusnya tertuju ke arah lain, yakni ke arah pintu masuk rumah makan.

Tengah melangkah sesosok pria berparas tampan yang mengenakan setelan jas dengan tampilan berkelas. Naomy terpana pada pesona sang pria hanya dengan sekali pandang. Akan tetapi, pemandangan itu berubah jadi mengkhawatirkan ketika dari arah pintu rumah makan menyusul dua orang bodyguard berbadan kekar.

“Levin Mahardhi. Rupanya kau ada di sini,” ucap si pria tampan.

Naomy tidak lagi terpesona. Dia justru keheranan lantas bertanya-tanya tentang perubahan situasi yang dadakan. Apa lagi, di detik berikutnya si pria tampan justru memerintah dua bodyguard untuk membawa Levin. Anehnya, Paman Li tidak berusaha untuk mencegah itu terjadi. Paman Li melangkah mundur, seolah memberi ruang pada sip ria tampan dan dua bodyguard berbadan kekar.

“Hei, kalian! Lepaskan Levin!” seru Naomy.

Dengan penuh keberanian, Naomy menarik kasar lengan salah satu bodyguard agar melepas cengkraman tangannya dari lengan Levin. Tidak berhenti di sana, Naomy juga menggigit tangan seorang bodyguard lainnya hingga sang bodyguard refleks melepas cengkraman.

“Kalian menjauhlah dari Levin!” seru Naomy dengan berani.

Atas perintah si pria tampan, dua bodyguard itu pun mundur beberapa langkah hingga memberi ruang bagi Naomy untuk mendekati Levin. Lekas pula Naomy merentangkan kedua lengannya untuk melindungi Levin.

Sementara itu, Levin tengah berada di balik punggung Naomy. Dia terdiam. Benar-benar hanya terdiam meski sebenarnya dia bisa melawan. Dia hanya sadar, dengan siapa dia berurusan. Lagi pula, dia sungguh tidak menyangka dengan aksi heroik yang Naomy lakukan.

“Levin, siapa wanita muda ini? Apa dia juga salah satu kekasihmu?” tanya si pria tampan.

“Kau yang siapa? Berani-beraninya kau datang dan menyakiti Levin. Apa gurumu tidak pernah mengajarimu berbuat baik?” Justru Naomylah yang menyahuti.

“Maaf, Nona. Aku tidak memiliki urusan denganmu. Dan lagi, aku tidak berniat menyakiti adikku sendiri.”

“Eh? Adik?”

Naomy yang semula bersikap awas, kini perlahan tidak lagi merentangkan kedua tangan. Ya, kedua tangannya tidak lagi digunakan untuk melindungi Levin. Setelahnya, Naomy memerhatikan Levin dan si pria tampan secara bergantian. Rasa-rasanya sungguh tidak mungkin bila mereka berdua kakak beradik. Begitulah pikir Naomy.

“Kenapa penampilan kalian berbeda?” tanya Naomy keheranan.

Bagi si pria tampan, pertanyaan itu sungguh tidak ingin dia jawab. Ada hal lain yang lebih mendesak. Levin harus segera ikut bersama dia.

“Levin, ikutlah bersamaku!” titah si pria tampan.

“Aku tidak mau!”

“Jangan membantah! Aku akan membantumu kembali ke perusahaan tanpa harus mengikuti permintaan ayah.”

“Tidak, Kak. Aku sudah berniat mengikuti keinginan ayah. Sekarang aku sudah memiliki kekasih,” ungkap Levin.

Naomy begitu peka dengan situasi. Pikir dia, inilah saatnya untuk mulai menjalankan kontrak kekasih. Dengan sigap dan begitu berani, dia kembali menyela pembicaraan dan mengaku sebagai kekasih Levin.

“Ya, aku adalah kekasihnya. Bahkan, Levin baru saja mengajakku menikah dan aku menerima ajakannya.”

Ungkapan Naomy sungguh jauh berbeda dari kesepakatan dalam kontrak perjanjian. Dalam kontrak bahkan sama sekali tidak disebutkan tentang pernikahan. Lebih dari itu, kini Naomy juga bersikap tak terduga dengan memeluk Levin secara tiba-tiba, seolah tidak ingin kehilangan dia. Brewok yang sebelum ini dipermasalahkan, kini tengah menempel anggun di pipi Naomy. Lantas, apa yang setelah ini terjadi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status