Share

Bab 3. Sama-Sama Butuh

“Aku bukan perempuan murahan!” tegas Naomy usai menggebrak meja. Dia sampai berdiri dan melotot ke arah Levin.

Situasinya sungguh tak pernah terduga, baik oleh Naomy maupun Levin. Kini, mereka berdua sama-sama masih mempertahankan sikap. Naomy dengan sikap penuh amarah, dan Levin dengan sikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara di sekitar, banyak pasang mata tengah memerhatikan ke arah meja nomor sembilan.

Sikap yang lebih tidak terduga ditunjukkan oleh Levin, tepat ketika Naomy masih menunjukkan tatapan mata tajam. Pria brewokan yang tak lagi menyandang gelar pahlawan bagi Naomy itu pun bangkit dari kursinya, lantas menunduk sopan ke beberapa orang yang memerhatikan.

“Maaf atas keributan yang dibuat adikku,” ucap Levin beberapa kali, lantas duduk lagi.

Naomy yang mendengar itu pun sampai melebarkan pandangan. Dia langsung terduduk demi bisa lanjut bertanya dengan nada bicara yang tidak sampai diperhatikan oleh banyak orang. Walau bagaimana pun, dia masih mengenal rasa malu.

“Bukankah kau tadi ingin aku menjadi kekasihmu? Kenapa sekarang kau menyebutku adik? Apa maumu?” desis Naomy. Dia bertanya dengan nada tertahan, seperti orang yang sedang berbisik tapi cukup terdengar di telinga Levin. Bahkan, tubuhnya dibuat condong ke depan, dengan tatapan mata yang masih tetap tajam.

“Aku mau kau berbicara seperti orang dewasa, bukan seperti bocah,” ungkap Levin dengan sikap tenang seperti biasanya.

“Kau duluan yang memancingku bersikap seperti itu.”

“Lalu, kau mau lanjut marah-marah atau ingin aku memperjelas semuanya?”

Dua pilihan yang sebenarnya mudah untuk dipilih. Akan tetapi, Naomy tidak langsung memilih. Dia justru terdiam, sementara pikirannya terus menimbang akanmeladeni Levin atau justru bergegas pergi meninggalkan rumah makan. Namun, pilihan kedua untuk pergi begitu saja tentu tidak bisa dilakukan lantaran sebuah hutang yang kelanjutannya masih belum ada kejelasan.

“Oke. Silakan perjelas! Apa yang kau maksud dengan kekasih tiga bulan?” tanya Naomy yang kali ini nada bicaranya sudah lebih tenang.

“Naomy, kita saling membutuhkan. Kau butuh uang, dan aku butuh bantuan.”

Obrolan telah menjadi serius sejak Levin menegaskan bahwa dia butuh bantuan. Naomy benar-benar memperhatikan setiap detil penjelasan Levin, alasan, bahkan tujuan dia meminta bantuan.

Sungguh tak pernah disangka oleh Naomy bahwa Levin tengah dalam sebuah masalah ketidakpercayaan. Tak lama ini dia viral diberitakan media sosial lantaran label buaya darat yang diberikan. Berita viral itu berdampak besar bagi nama baik keluarga Mahardhi yang sudah terkenal di kalangan pebisnis. Bahkan, seisi perusahaan tempat Levin bekerja sampai membahasnya di setiap jam makan siang.

Ayah Levin, Paris Mahardhi, seketika itu melarang sang putra untuk kembali bekerja di perusahaan sebelum berita mereda. Tidak hanya itu, Levin juga diminta untuk menemukan seorang wanita, yang mengerti tentang perusahaan, lantas menikahinya.

“Apa? Menikah?” tanya Naomy dengan terkejut usai Levin menerangkan bagian permintaan sang ayah.

“Iya. Aku diminta untuk menikahi wanita yang aku pilih, biar tidak bisa main pacar-pacaran lagi.”

“Tunggu sebentar! Kau belum menikah?” tanya Naomy yang belum juga mereda rasa heran dan keterkejutannya.

“Belum.”

Naomy spontan melongo. Meski memiliki otak yang cerdas, tapi sering kali emosinya tak terkendali. Bahkan, sikapnya pun lebih terkesan lugu dan sesuka hati.

“Menikah itu pilihan,” ungkap Levin kemudian.

“Menikah itu kebutuhan agar di masa tua kau tidak kesepian,” sahut Naomy usai tersadar dari keterkejutan.

Tampak jelas tarikan nafas dalam dari sosok seorang Levin Mahardhi. Naomy terus memerhatikan gerak-gerik pria brewokan itu sampai dia berkata-kata lagi.

“Terserah saja orang mau membuat definisi apa pun tentang pernikahan. Yang jelas, aku tidak terlalu berminat untuk segera menikah. Semua yang aku butuhkan sudah aku terima. Kalau untuk berkencan dengan wanita, aku bisa membayar mereka.”

Naomy spontan menutup mulutnya. Dia langsung berprasangka macam-macam, bahkan menganggap Levin sebagai seorang pria yang tidak benar.

“Naomy, aku tahu isi pikiranmu! Aku tidak seburuk yang kau pikir. Kencan yang aku maksudkan hanyalah makan malam, jalan-jalan, berpacaran tanpa ada ketulusan. Sungguh tidak pernah sampai ke hal-hal yang berbau intim seperti yang diberitakan oleh mereka yang tidak tahu apa-apa tentangku,” terang Levin panjang lebar.

Keterangan Levin itu sekaligus menjadi ungkapan isi hati. Betapa kecewa hati Levin ketika mendengar pemberitaan media. Dia tidak hanya menerima label buaya darat, tapi juga mendapat label lelaki bang*at.

Tentang Levin yang hobi gonta-ganti pacar memang benar. Akan tetapi, tak sekali pun dia merendahkan wanita sampai berbuat jauh apa lagi menorehkan luka. Pria brewokan itu selalu putus dengan kekasihnya secara baik-baik.

“Apa yang kau ceritakan itu benar?” tanya Naomy usai mendengar curahan hati Levin.

“Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi memang seperti itulah kenyataannya.”

“Em … oke. Nanti aku coba untuk percaya.”

Jawaban Naomy membuat bibir Levin berdecak. Akan tetapi, dia tidak bisa menyalahkan Naomy. Dia sendiri yang memutuskan untuk bercerita, bahkan meminta bantuan Naomy untuk menjadi kekasihnya.

“Bagaimana dengan tawaran tadi? Apa kau mau?” tanya Levin yang akhirnya memutuskan untuk kembali ke topik awal.

“Aku harus menjadi kekasihmu selama tiga bulan, lalu kau membayarku sesuai nominal yang aku butuhkan?”

“Iya. Berapa pun yang kau minta, akan aku berikan.”

“Em … memangnya … kau punya uang?”

Pertanyaan Naomy membuat Levin kembali tertawa ringan. Entah karena Naomy sama sekali tidak mengenal keluarga Mahardhi, atau memang Naomy belum percaya sama sekali, Levin sama sekali tidak memahami. Yang jelas, baru kali ini Levin bertemu perempuan seperti Naomy.

“Coba kau lihat ini!” pinta Levin sambil mulai menggulir layar ponselnya.

Meski ragu, tapi Naomy akhirnya menggeser tempat duduk hingga lebih leluasa memerhatikan apa yang Levin tunjukkan. Dapat terlihat jelas di layar ponsel Levin, nominal tabungan dengan total saldo yang membuat Naomy sampai melongo.

“Itu angka nolnya banyak sekali,” ucap Naomy spontan dengan lirih.

“Nominal itu tidak ada apa-apanya dibanding harta yang dimiliki kakak dan ayahku.”

“Tapi … kenapa penampilanmu lusuh?” tanya Naomy tanpa ragu-ragu.

Pertanyaan itu membuat Levin terbungkam. Sejujurnya, dia telah mempertahankan penampilan itu selama setahun penuh. Bahkan di tempat kerja tidak ada yang berani menegur karena dia adalah anak pemilik perusahaan. Sebenarnya Levin sudah mendapat teguran dari sang ayah atas penampilannya. Akan tetapi, dia masih enggan untuk berubah.

“Penampilan juga termasuk dalam pilihan hidup.”

“Oh. Tapi, aku tidak suka pria brewokan.”

“Kita hanya berpura-pura menjadi kekasih, Naomy. Bukan untuk saling melabuhkan hati. Jangan sampai ada rasa suka di antara kita.”

“Iya, tapi aku tidak nyaman dengan brewok dan kumismu.”

Pikir Levin, perempuan di hadapannya itu teramat jujur, lugu, dan Levin tidak bisa menyalahkan sikap itu. Lagi pula, ada perbedaan umur yang lumayan jauh. Lantaran Levin lebih dewasa, dialah yang harus banyak bersabar.

“Begini saja, jangan bahas brewokku lagi. Kita bahas kontraknya terlebih dahulu. Kontrak kekasih tiga bulan. Bagaimana?”

“Tapi, tanpa pernikahan, loh, ya?”

“Setuju. Jadi, kau bersedia?”

“Iya. Tapi, aku ingin kau juga menandatangani kontrak yang aku buat.”

Kontrak vs kontrak. Akan jadi seperti apa setelah ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status