Share

5.

Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.

Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.

Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana.

"Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"

Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi.

"Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutangku!"

"Habis merampok di mana kau, Ndri? Rupanya dalam tiga hari bisa punya emas batangan begini." Torso tertawa sambil menyambut tas berisi 5 batang emas.

"Rezeki biniku ini, Tor. Biniku kan lagi hamil muda. Bahagia pasti dia. Si tua bangka Jatmiko akhirnya bayar kita," timpal Baron.

"Hamil muda?" ujarku dalam hati. Kuraih lima lembar uang ratusan dan kuberikan pada Baron.

"Nih, uang buat biaya lahiran istrimu. Jangan kembali lagi ke sini!"

Baron tersenyum girang hingga goresan luka yang ada di pipinya terangkat. Masih kuingat jelas lelaki itu memukuliku dan mengatakan ingin menggauli Riani. Bersiap saja, bagaimana rasanya saat kehamilan istrinya hilang secara tiba-tiba.

"Ah, Bos Andrianto ini memang baik. Sering-seringlah sedekah begini."

Kusunggingkan senyum sinis, lalu menutup pintu di depan wajahnya. Hari ini aku harus kembali merebut restoran yang sudah di sita oleh bank. Itu adalah restoran pertamaku dan tidak bisa kulepas semudah itu.

Aku kembali ke lantai atas, memasuki kamar itu. Ternyata Riani sudah keluar tanpa membereskan uang dan emas yang berada di lantai. Kuambil uang-uang itu, menyusun rapi lalu menaruhnya di brankas.

Ketika aku selesai dan ke luar dari kamar, istriku tengah duduk dengan pandangan mata hampa menatap televisi yang tidak dinyalakan. Kuhampiri Riani, lalu menggenggam tangannya yang dingin. Ia tidak menoleh ke arahku. Tak juga melepaskan genggaman tanganku.

"Jangan bersedih terlalu lama, Riani. Lebih baik kamu siap-siap, kita sarapan di luar."

Ia menoleh lalu mengangguk.

***

Kami berdua sarapan di soto yang ada di dekat tikungan jalan. Kami makan dalam diam. Bukan bermaksud untuk kembali membuat Riani teringat saat 5 bulan lalu ia memberiku hadiah berupa testpack garis dia, hanya saja yang lebih dekat dari rumah adalah soto ini.

Sepasang kekasih menggeret kursi di samping meja kami. Wanita itu terlihat mengusap perut yang membuncit. Riani segera menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya.

"Kamu udah selesai, Yang?"

"Udah, Mas."

Kubayar dua mangkuk soto, lalu menghampiri Riani yang sudah berada di depan warung. Kupakaikan helm untuknya, kemudian mengajaknya pulang. Biarlah istriku lebih pendiam sekarang. Wajar saja. Nanti pun pasti akan terbiasa seiring dengan melimpahnya uang.

Begitu sampai, Riani tak berbasa-basi sebentar. Ia hanya diam dan menaiki tangga, menuju kamar. Sudahlah. Kuberi waktu dan ruang sendiri untuknya. Sedangkan aku memilih duduk, membaca koran sambil menghisap rokok.

Sesekali, koran yang kubaca kulipat karena telinga seperti mendengar jeritan anak bayi. Namun, aku ingat-ingat, di perumahan ini nyaris tak ada orang yang memiliki bayi. Kumatikan saja rokoknya, kuedarkan pandangan lantai bawah ini yang tetap sunyi. Mungkin aku salah dengar.

"Mas! Maaas!"

Pekikan Riani? Tanpa pikir panjang aku ke atas, takut ada hal-hal buruk.

"Mas! Tangan siapa itu yang ada di langit-langit kamar Mas!"

Berupa cap tangan dengan lima jari anak kecil berwarna merah lengkap dengan bekas langkah kaki mungil. Seperti posisi merangkak, tapi di langit-langit kamar.

"Nanti Mas cat ulang biar hilang," ucapku menenangkan.

"Mas, kalau tumbal cuma anak pertama, lalu, tumbal selanjutnya itu siapa ...."

Suara lirih Riani dibarengi getar dalam suaranya membuatku menoleh dan tersenyum. "Tenang saja. Mas sudah punya tumbal selanjutnya agar kita tetap aman. Istirahatlah."

Tak sabar rasanya tanggal 15 nanti saat bulan purnama, aku banjir uang dan emas lagi. Kunanti itu darimu, Baron.

***

Aku baru saja selesai melunasi semua hutang-hutang ke bank. Tanda sita di restoranku sudah tidak ada. Akan kubuktikan, aku bisa kembali membuat jaya restoranku lebih dari sebelumnya. Bahkan aku akan membangun ulang agar lebih kekinian, di mana sekarang anak muda lebih suka menongkrong dan berfoto ria.

Akhirnya sampai juga di rumah. Riani tengah bersama ibu-ibu yang lain mengerubungi tukang sayur yang memang datangnya selalu sore. Ah, aku belum ada waktu untuk mengajak Riani ke supermarket untuk belanja bulanan. Kuparkirkan kendaraan roda duaku, lalu duduk di teras menunggu Riani memilah sayur.

"Eh, Mas Andri, bukannya kemarin Mbak Riani hamil ya?"

Mbak Merry melirik ke arahku sambil menyenggol lengan Mbak Anis di sebelahnya. Riani kulihat tetap diam, memegang timun yang tengah dipilihnya.

"Doakan saja, Mbak Merry, agar secepatnya isi. Kami baru saja kehilangan anak kami kemarin dan hari ini baru saja pulang kuret," jawabku berusaha menutupi.

"Ya ampun, kasiannya, padahal nunggu bertahun-tahun. Apa ada yang salah kali sama rahimmu, Mbak," imbuh Mbak Merry lagi.

Astaga. Timun yang dipegang Riani bahkan kini hancur hanya dengan satu genggaman tangannya.

"Keguguran, Mbak, bukan karena rahimku yang bermasalah. Mbak Merry ini pun punya anak gadis belum menikah, jadi jaga mulutnya!"

Mbak Merry hanya mencebik mendengar suara dingin istriku. Patutlah ia kesal. Satu-satunya biang gosip di perumahan ini bersumber lebih banyak dari mulutnya.

"Saya borong semua yang ada di gerobak ini, Mang!"

Aku terkejut dengan ucapan Riani. Ia mengeluarkan lembaran ratusan merah di depan semua tetangga yang mengerubungi Mang Asep di sana, kemudian masuk ke rumah dengan wajah memerah.

"Belagu amat! Bukannya bangkrut tuh kamu sampe mobil pun dijual!" pekik Mbak Merry, kembali membuat Riani keluar dari rumah.

"Besok akan saya beli mobil yang lebih trendy dari kemarin. Mbak Merry, hati-hati sakit jantung!"

"Pantas saja keguguran, wong, tempramen begini. Gusti Allah pun pikir-pikir mau nitip keturunan sama kamu!"

"Heh, sudah-sudah. Riani, masuk aja. Mang, tolong taruh semua yang udah dibayar istriku ke rumah ya." Lalu beralih ke Mbak Merry yang meradang. "Tolong, jangan bikin kegaduhan, Mbak. Istri saya lagi sensitif karena baru saja kehilangan bayinya."

Aku menengahi dua wanita beda generasi itu. Takut kalau mereka akan adu jotos dan membuat runyam perumahan. Perasaan Riani sedang sensitif, makanya ia ladeni ucapan Mbak Merry. Padahal biasanya ia tetap diam dan hanya tersenyum.

Kuhampiri Riani yang tengah mengganti-ganti chanel di televisi. Air matanya kini berhamburan keluar. Ia memelukku dan menangis.

**

Seperti ucapan Riani, kami akhirnya membeli mobil yang ia inginkan hari ini. Mungkin nanti sore, mobil itu akan diantar ke rumah. Apapun itu untuk istriku, yang terpenting dia bahagia. Kuajak ia berkeliling juga agar suasana hatinya membaik.

Setelah puas mengitari mal, Riani meminta pulang ke rumah. Di jalan, kami nikmati sambil sesekali bercanda dengan sapuan angin menerpa wajah.

Aaaak!

Ciitttt! Sontak aku terkejut dan menghentikan motor ketika Riani teriak. Ia menutupi wajahnya di punggungku seolah ketakutan. Padahal tidak apa-apa. Hanya jalanan sepi biasa.

"Ada anak kecil merangkak di jalan terus kamu tabrak, Mas!"

Turun dari motor, melihat ban motor yang tetap bersih. Tapi logikanya, mana ada anak bayi merangkak di jalanan? Yang benar saja.

"Kamu kecapekan itu, Sayang. Kita pulang ke rumah ya."

"Bener, Mas! Aku lihat ...."

Ucapannya menggantung saat Riani turun dari motor melakukan hal yang sama sepertiku. Mengecek ban motor dan mengedarkan pandang ke jalanan.

"Apa tadi itu, Mas?"

Tiba-tiba saja di atas kami seperti ada sesuatu yang terbang dengan jubah merah melesat begitu cepat. Aku segera mengajak Riani naik motor agar secepatnya pulang ke rumah. Perasaan merinding dan takut menjadi satu.

Padahal hari belum malam. Ini masih jam jam dua siang, mana ada hantu siang bolong begini?

**

Malam harinya, aku dan Riani sudah berada di dalam kamar. Rasa lelah membuat kantuk cepat datang. Tak sadar, namun seperti aku berada di ambang tidur dan tidak.

Kulihat Riani yang masih di sampingku, tapi juga melihat diriku yang tengah berbaring. Namun, di kamarku ini tidak seperti semestinya. Mengapa ... ada bayi kecil di tengah kami berlumuran d4rah?

Bayi itu menangis, kemudian dari arah jendela kepulan asap abu-abu kian lama menjadi ... Ratu Anyelir? Dia ... dia menarik bayi penuh dar4h itu, menoleh padaku dengan senyum manis, namun tiba-tiba saja terbuka lebar menelan dua kaki bayi itu, tak perduli meski ia merengek kesakitan.

"Bulan ke enam, aku mau kau persembahkan dua janin yang belum berumur 7 bulan."

A-apa ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status