Share

4.

"Ini orang yang saya bilang, Romo."

Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.

Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup.

"Aku tau waktumu ndak banyak."

Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk.

"Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku.

"Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."

Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku.

"Bukankah memiliki anak juga harta adalah impianmu? Selain memiliki anak, dirimu pun tetap dipandang berada. Dibanding memiliki anak tapi hidupmu sengsara."

Riani kulihat lagi-lagi menangis. Ia mengangguk juga pada akhirnya, kemudian menghela napas. Romo pun ikut mengangguk sambil mengusap bahu Riani.

"Kuatkan tekadmu, Nduk. Ratu Anyelir ndak suka pengikutnya yang penuh keraguan. Minum ini agar rasa ragumu hilang."

Romo memberikan air putih pada Riani yang masih menatap gelas itu dengan wajah ragu. Kusambar gelas itu, meminumkannya pada Riani hingga ia menenggak dua tegukan.

Sigit menepuk pundakku sambil tertawa. Entah ini ada kaitannya atau tidak jika itu bukan air biasa, tapi Riani kini mengusap air matanya kemudian tersenyum menatap kami semua.

"Lakukan, Romo."

Hah? Apa dia bilang? Ajaib sekali rupanya air yang dimantrai lelaki itu. Seringai Romo kulihat tipis memandang ke arah Riani.

"Sebelum melakukan ritual, aku ingin kalian mengetahui pamali ini dan jangan sekali-kali dilanggar."

Aku dan Riani seksama mendengarkan titah Romo.

"Khususkan satu kamar menghadap selatan. Jangan diberi warna apapun, kecuali satu ranjang kayu tanpa kasur. Di hari-hari selasa kliwon dan kamis wage, bermalam kalian berdua di ruangan itu dengan kepala membelakangi cermin. Jangan ada jendela selain cermin besar yang berhadapan dengan ranjang. Kalian paham?"

Aku dan Riani mengangguk patuh. Lalu kami digiring menuju salah satu ruangan. Sigit tidak ikut dengan kami. Ia masuk ke kamar lainnya, mungkin hendak beristirahat. Aku tertegun cukup lama ketika sudah berada di dalam. Ruangan yang diperintahkan Romo tadi, ternyata ada juga di rumah ini.

Kulirik Riani, tak nampak sama sekali kerutan ketakutan dari kening dan matanya. Ia seolah orang yang berbeda sekarang. Dalam hati, aku pun sangat kasihan pada istriku itu. Terlebih, sebentar lagi hari raya dan Riani akan bertemu dengan Mbak Nuri--Kakak pertamaku. Aku masih ingat, setiap kami hendak pulang kampung ke orang tuaku, Riani akan menentang keras.

"Mending kawin sama kambing, Ndri, bisa hamil. Istrimu itu loh, dikawini sampe 6 tahun, boro-boro bisa beranak. Kalo punya kambing mah udah panen banyak saat idul adha. Lumayan untuk korban!" ujar Mbak Nuri seraya mencebik.

Sedangkan istriku hanya tersenyum dengan mata sendu. Yang kubisa hanya meminta ia untuk bersabar dengan pelukan, bermaksud untuk memberi ketenangan. Sekarang, aku paham jika ia sesedih itu kala aku meminta anakku sendiri untuk dijadikan tumbal.

Dari arah pintu utama, Mbak Wati baru saja datang membawa buah tangan. Ia pun segera menimbrung di samping Mbak Nuri. Wajahnya sangat tak enak dilihat pun dengan matanya yang sinis.

"Enam kali lebaran, masih belum isi juga kamu, Ri? Kamu yang nggak pinter bercocok tanam atau emang wadahnya aja nggak bagus?" timpalnya menatap ke arahku juga Riani.

Hari raya yang seharusnya menjadi ajang untuk meminta maaf agar dosa diampuni, justru tidak dirasakan di keluargaku. Riani hanya akan menangis, lalu meminta segera pulang. Riani sudah sebatang kara. Ia sendiri tak bisa menghindari moment setahun sekali itu. Mungkin, lebaran nanti, aku memilih untuk tidak pulang kampung sebagai penebusan hari ini.

"Apa lagi yang kamu tunggu, Ndri?"

Suara Romo membuatku terhenyak. Kuhampiri istriku yang ternyata sudah berganti pakaian menggunakan jarik cokelat. Ia berbaring di tengah-tengah sesajen yang sudah dipersiapkan oleh Romo. Air mataku mengalir sedikit, namun segera kuusap. Kucium istriku, dalam hati rasa bersalah kian merajai.

"Maafkan aku istriku."

***

Kami diminta Romo untuk memejamkan mata. Aku duduk di ujung kepala istriku yang tengah berbaring. Sebelum menutup mata, Romo ternyata menutupi seluruh tubuh istriku menggunakan kain putih, sepertinya itu adalah kain kafan.

Ada rasa merinding selama ritual dilakukan. Meski kini mataku terpejam, ragaku berada di ruangan tak begitu besar ini. Akan tetapi, perasaanku seperti berada di tempat yang berbeda. Masih dengan mata terpejam, namun kurasakan leherku seolah terkena angin yang berhembus dari belakang.

Telingaku pun sayup-sayup mendengar debur ombak lengkap dengan angin pantai. Padahal, sebelumnya ruangan ini begitu pengap dan hening. Kutarik napasku agak panjang, rasa gugup dan takut bercampur.

"Pa. Papa!"

Dari telinga kiri, aku mendengar suara anak kecil laki-laki. Pinggangku pun merasakan jika bajuku ditarik. Mataku masih belum boleh dibuka, jadi aku hanya mengandalkan indera pendengaranku.

"Papa! Tolong dedek, Pa!"

Jeritan hingga membuat kedua telingaku berdengung masih dari suara anak laki-laki yang tadi kudengar. Ada apa dan siapa itu? Bajuku pun serasa ada yang menarik kencang.

Hening. Beberapa saat setelah telingaku berdengung, tiba-tiba suasana kembali hening. Tak ada lagi suara deburan ombak, apa lagi suara dari anak laki-laki tadi. Namun, seperti bayangan atau lebih tepatnya aku seperti dalam mimpi. Kulihat bayang diriku tengah menimang seorang anak lelaki, berlarian ke sana ke mari di taman. Kemudian, anak kecil itu terperosok ke dalam jurang menganga yang kutahu sebelumnya tidak ada.

Mataku kini mengalir air mata. Kuingin berteriak melihat anak itu tengah memegang rumput jepang, akan tetapi bayang diriku hanya terpaku sambil tertawa terbahak-bahak disusul Riani yang memelukku dari belakang. Anak lelaki itu jatuh, hingga jerit melengkingnya tak lagi kudengar.

Riani menuntunku untuk duduk ke sebuah bebatuan di samping jurang tadi. Anehnya, aku merasa ikut bergerak. Namun, mengapa untuk berkata-kata tak bisa?

"Pulanglah kalian berdua. Bermalam di kamar yang sudah kalian siapkan untukku lengkap dengan sesajennya. Kuterima pengabdian kalian yang luar biasa ini. Pulanglah, Cah Bagus."

Seorang wanita memakai kebaya warna merah dengan jarik hitam. Rambutnya dibiarkan terurai lengkap dengan beberapa wanita memakai kemben di belakangnya, seolah berbicara denganku dan Riani.

Kulirik Riani di sampingku, ia menunduk.

"Nggeh, Kanjeng Ratu Anyelir," jawabnya.

**

"Ndri, kamu bisa buka matamu."

Suara Romo menelusup ke telinga. Kubuka mataku, mencari istriku. Ia sudah duduk berhadapan dengan Romo. Kupeluk dirinya, mengusap perutnya yang ternyata masih membesar. Kucium perutnya lembut.

"Kamu nggak pa-pa, Ri?"

"Nggak pa-pa, Mas."

"Bawa ini." Kumenoleh ke arah Romo. Ia memberikan kotak kayu yang di dalamnya terdapat keris kecil juga wewangian. "Taruh di bawah ranjang di kamar yang kamu siapkan sepulangnya dari sini dan boleh dibuka hanya di hari selasa kliwon dan kamis wage saja."

Aku dan Riani menurut. Kami akhirnya ke luar dari kamar pengap tadi. Kulihat jam, terkejut sudah pagi. Padahal yang kurasakan di dalam sana hanya 2 jam saja.

"Pulanglah kalian."

Sigit terkekeh dan menepuk bahuku. Akalku masih mencerna apa yang terjadi. Namun, untuk bertanya pada Romo, terasa segan. Akhirnya kami berpamitan dari pondok milik Romo, lalu meninggalkan daerah itu untuk kembali ke rumah.

"Terus, gimana biar aku punya duitnya, Git? Kenapa Romo nggak bilang apa-apa?" tanyaku apa adanya.

"Taruh saja peti itu di tempatnya," jawabnya sambil tertawa.

"Git, pinjamilah aku uang dulu. Kalau sepulangnya aku dari sini dan suruhan Sujatmiko ada di rumah, gimana? Bisa m4ti aku, Git."

Tak terbayang jika Baron akan menghadangku yang belum tidur semalam suntuk ini. Bisa-bisa mati sebelum menikmati hasil dari gadai janin ini.

"Pulang dulu kalian. Aku nggak akan minjami sepeserpun uang."

Kesal rasanya. Lagi-lagi hanya tawa yang menggema dari mulut Sigit!

**

Jam 8 malam, sopir Sigit selesai mengantar kami. Rasa kantuk sangat menyerangku kini. Sesajen yang sudah dipersiapkan dari rumah Sigit sudah kubawa. Sedangkan Riani tengah merapikan satu ruangan untuk kami tempati.

Kutaruh peti lumayan besar ini ke bawah ranjang. Riani tidur di dekat tembok, miring membelakangiku. Kupeluk dirinya dari belakang. Sejak tadi, wanitaku itu masih saja mendiamkanku.

Rasa kantuk menyerang hingga kami tidur seperti tak sadarkan diri.

***

"Andri! Buka pintunya!"

Aku menguap lebar saat telingaku menangkap suara yang kutakuti. Mataku langsung membulat sempurna. Riani kuguncang bahunya agar bangun.

"Ri, gimana ini, Ri?"

Alih-alih menggubrisku, istriku hanya menepis tanganku agar tak mengganggunya. Namun, tubuhnya berguncang. Ketika kulihat, ia ternyata menangis.

"Mas ... anakmu sudah nggak ada. Perutku, perutku kembali rata."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status