Kuhembuskan nafas kasar sembari tersenyum miris. Akhirnya aku sampai pada titik ini. Titik dimana aku harus merelakan rumah tangga yang kuperjuangkan segenap jiwa raga bermandikan peluh dan air mata kandas karena orang ketiga.
Semua berawal dari pesan singkat di posel Mas Ilham yang tak sengaja aku baca. Langit serasa runtuh. Oksigen di kamar ini seperti menguap. Dadaku sesak. Lututku lemas. Tenagaku lenyap seketika. Tubuhku luruh bersamaan dengan ponsel yang kugenggampun jatuh memecah keheningan kamar. Aku harap percakapan mesra dan vulgar dalam pesan di ponsel suamiku tidaklah nyata.
"Suara apa, Nda?"
Mendengar suara lelaki yang sudah lebih dari sepuluh tahun hidup bersamaku dada ini semakin bergemuruh. Emosi sampai ke ubun-ubun. Dada ini seakan mau meledak. Mataku memanas. Buliran bening itu berlomba keluar dari mata.
Lelaki berkaos putih itu masuk menatap benda yang kini terserak di lantai lalu beralih menatapku. Ada kilat terkejut di sorot itu. Mungkin menyadari sesuatu. Dia masih mematung di tempat yang sama. Kakinya soalah membeku melihat luka di mataku ataukah karena dosanya yang kini kutahu.
"Nda!" Lirih bibir itu memanggilku, lidahnya seolah kelu.
Aku masih asyik menari bersama luka yang tercipta. Terus terbayang rangkaian kata yang mengoyak jiwa. Tentang liarnya melodi cinta mereka. Gelora cinta yang membumbung tinggi hingga cakrawala. Suamiku telah abai akan dosa. Aku masih meraba, benarkah itu kata-kata yang keluar dari pikirannya?
"Ya Allah, nyatakah ini?" jerit yang hanya mampu sampai di tenggorokanku. Suamiku benarkah dia mampu menghianati pernikahan kami? Tubuhku tergugu bersama pilu yang bertalu. Isakku menyayat karena laku yang tak tahu malu.
Kutangkupkan kedua telapak tangan ini menutupi wajah. Tubuhku tersungkur. Aku berteriak sekeras yang kumampu. Berharap lara ini keluar berasa suara tangis yang menggema. Sesakit inikah ketika cinta yang kujaga akhirnya ternoda? Hatiku sekarat oleh kenyataan suami telah berbagi cinta.
"Nda!"
Kembali lirih suara itu menggetarkan gendang telinga. Tangan kokohnya kini manggapai kedua pundakku. Kutatap mata itu berharap ini semua tidak benar dan hanya salah paham. Tapi yang kudapati sorot mata itu menyiratkan rasa bersalah hingga kembali meremuk redamkan rasa di dada.
"Berapa kali?" Susah payah aku mengeluarkan suara yang tercekat oleh pedihnya luka yang menganga.
Bibir tipis itu masih membisu. Matanya tak lagi menatapku.
"Tiga jari?"
Hening tak ada jawaban.
"Lima jari?" tanyaku sambil membuka telapak tangan kananku.
"Nda!" lirihnya.
"Dua tangan?" cecarku.
"Nda ... ."
"Lima tangan?"
"Maafin Ayah!"
Suara tangisku kembali menggema. Tak pernah kusangka, lelaki lembut yang begitu aku cinta ini tega menghancurkan jiwa ragaku. Meluluh lantakkan perasaanku. Lelaki yang menjadi pusat hidupku selama ini mampu menghianati pernikahan kami. Sudahkah dia tak mencintaiku lagi?
Direngkuhnya tubuh yang kini terasa begitu ringkih ini. Kutumpahkan tangis ini di dadanya. Dada yang kini telah ternoda. Kubiarkan tubuh ini mengadu. Bahwa hati ini terlampau pilu.
"Siapa Riyan?" tanyaku datar setelah puas menumpahkan rasa.
"Dia ... dia ... Riana, Nda."
Bagai petir di siang bolong menyambar kepalaku. Kutatap wajah itu tak percaya. Riana? Gadis dari kampungku yang kami pekerjakan untuk menjaga toko sembako. Benarkah aku tak salah dengar?
"Riana?" tanyaku untuk memastikan tak salah dengar.
Lelaki itu mengangguk lemah kemudian tak mengangkat wajahnya lagi. Benar-benar tak kusangka, gadis pendiam itu menjadi duri dalam rumah tanggaku.
Ribuan pedang seperti menghunus jantungku. Sakit. Sakit sekali. Rasanya seperti mau mati. Bahkan udara di ruang kamar ini seolah menguap dan tak tersisa. Beginikah rasanya dihianati oleh orang-orang yang kupercayai? Gadis yang aku kasihi karena kondisi ekonomi keluarganya justru malah menikamku.
"Sejak kapan?" Aku masih menatapnya tak percaya.
Lelaki berkulit cokelat itu hanya diam. Kumandang azan mahrib memecah kesunyian diantara kami.
"Aku menunggu penjelasanmu."
Meskipun tubuh ini terasa tak bertulang, kucoba untuk bangkit tanpanya. Lemah kulangkahkan kaki ke dapur dan meminum air putih untuk membatalkan puasa. Perutku langsung kenyang hanya dengan segelas air putih. Sungguh selera makan yang tadi menggebu hingga kusiapkan berbagai makanan untuk buka puasa sunah yang rutin kami lakukan setiap senin dan kamis menguap begitu saja.
Lelaki itu tampak canggung saat berpapasan denganku untuk mengambil air minum yang sebelumnya sudah kutata di meja. Rumah ini hening tanpa suara.
Selesai solat mahrib sembari mengadukan segala pedih di hati kepada Sang Pemilik, aku bertekad menemui Riana. Gadis yang mampu membuat hati Mas Ilham berpaling. Bahkan tak mengingat dosa lagi. Kukenakan hijab hitam lebar kemudian melangkah keluar kamar. Tak terlihat Mas Ilham di ruangan lainnya.
Hawa dingin menerpa wajah saat kulajukan motor membelah jalanan yang masih padat. Langit terlihat mendung, sesekali guntur terdengar seolah menyampaikan pesan akan datangnya hujan.
Sepuluh menit berlalu, aku tiba di kost Riana. Gerbang masih terbuka lebar. Sengaja kuparkir motor di sebelah gerbang. Langkah kaki ini menyusuri halaman yang cukup luas. Nuasna asri terasa sekali. Beberapa pohon cemara berdiri di depan kamar-kamar kost itu. Kemudian bunga warna-warni pun menghiasi halaman yang ditumbuhi rumput yang tertata rapi.
Pandanganku fokus pada satu kamar. Tampak pintu kayu itu tertutup rapat. Remang cahaya terlihat dari balik gorden.
Pelan langkah ini mendekat. Entah mengapa kali ini perasaanku sangat tidak enak. Apalagi terdengar obrolan lirih yang tidak jelas di telingaku. Mungkinkah Mas Ilham di dalam? Hatiku ketar-ketir. Takut melihat sesuatu yang bisa melukaiku lebih dalam. Tapi aku ingin memastikan. Tanpa kuketuk, kubuka pintu kayu itu dengan cepat.
Dua pasang mata itu membelalak melihat kadatanganku. Dengan cepat rengkuhan itu mereka uraikan. Kini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku masih mematung di depan pintu dengan emosi laksana ombak samudera. Siap menerjang siapa saja. Dadaku panas. Kutahan genangan yang siap tumpah ruah. Lelakiku benar-benar terbang terlampau tinggi.
"Bunda, kita bisa bicarakan semua baik-baik." Lelaki itu beranjak mengikis jarak denganku. Kedua tangannya memegang kedua pundakku namun aku masih bergeming menatap lurus pada gadis yang kini menunduk di hadapanku. Lelehan air mata ini tak bisa kutahan lagi demi menyaksikan penghianatan dua manusia yang selama ini aku kasihi.
"Bunda ... ."
"Tega kalian?" Suaraku dingin seperti belati siap menikam.
"Kurang apa aku sama kamu, perempuan murahan?" Teriakku tanpa bisa lagi dikendalikan.
"Bunda, tolong tenang, Nda!" bujuk Mas Ilham pelan.
"Tolong, jangan panggil aku seperti itu! Aku jijik mendengarnya."
"Nda ... ."
"Tolong diam, Mas!" ucapku dengan emosi yang mau meledak.
Rasanya ingin kuhancurkan kamar Riana saat itu juga. Ingin kubunuh mereka berdua saat itu juga. Bahkan mereka matipun takkan mengurangi rasa sakit yang mereka torehkan di hati.Suasana kamar berukuran 3x3 itu begitu panas. Meski di luar udara menusuk tulang.
"Kurang apa aku sama kamu? Jawab, perempuan murahan!" teriakku. Ku tatap tajam gadis dua puluh tahun itu. Dia hanya diam menundukkan kepala. Kini dia memang jauh berbeda saat awal kuboyong dari kampung. Kulitnya kini putih, rambutnya kini rapi dan lurus. Dia pun semakin pandai bersolek. Sayangnya hatinya tak secantik rupanya.
Melihatnya mengenakan atasan panjang bunga-bunga dan bawahan celana jeans ketat, ada perasaan jijik di hatiku. Dijanjikan apa gadis ini hingga mau dijadikan gundik oleh lelaki itu.
"Kamu dijanjikan apa sampai mau nyerahin keprawanan kamu sama suami orang?"
Tak ada sahutan. Mereka berdua masih membisu.
"Oh, apa sebelum kesini kamu memang sudah biasa dipakai orang?" Teriakku.
"Bunda!" Mas Ilham membentakku.
"Oh, sekarang sudah mulai bisa membentakku? Demi gundik itu?"
"Bunda, dengarkan Ayah dulu! Semua salah Ayah."
"Sudah tahu salah kenapa dilakukan?" bentakku.
"Ayah khilaf, Nda."
"Khilaf? Khilaf kamu bilang? Khilaf apa yang berkali-kali? Khilaf apa doyan?" Tatapanku tajam seolah ingin musnahkan manusia ini saat itu juga.
Kuhempaskan kedua tangan. Sekuat tenaga berusaha menetralkan emosi yang memuncak ingin segera dilampiaskan.
Kutarik nafas panjang. "Maaf, Mas, mulai malam ini kamu enggak usah pulang ke rumah lagi. Tolong urus perceraian kita secepatnya!"
Kemudian kutatap lagi gadis tak perawan itu. "Silahkan kamu pungut suami bekasku, Murahan!"
"Bunda, tolong jangan seperti ini! Dengarkan Ayah dulu!"
"Dengerin kamu mau belain gundik kamu itu. Oh ya, mulai besok kalian berdua enggak usah ke toko lagi."
"Nda, Bunda!"
Tak kuhiraukan panggilan Mas Ilham. Segera kuterobos deras hujan yang malam itu membasahi bumi. Langit seolah tahu bahwa hatiku butuh kesejukan. Langit seakan tahu bahwa air mataku harus dikaburkan oleh derasnya hujan. Hingga tak perlu ada yang tahu bahwa sebenarnya saat ini aku menangis. Hatiku menjerit.
Di teras rumah tampak lelaki itu berdiri dengan kondisi basah kuyup sepertiku. Tapi hatiku terlanjur beku. Penghianatan mereka seperti serdadu yang tanpa ampun menghujam jantungku. Jika bisa aku meminta, aku ingin mati saat itu juga.
"Nda!"
Tak kupedulikan lelaki yang telah memporak porandakan semua. Langsung kutuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Guyuran hangat air shower ternyata masih tak mampu membuat hatiku tenang. Meski kuhabiskan waktu entah berapa lama. Tapi rasa ini masih ada, masih sama, masih sangat terluka.
Ketukan dari luar mulai kudengar. Lelaki yang tak ingin lagi kudengar suaranya itu tak henti-hentinya memanggil. Sungguh, rasa sakit ini entah kapan mampu menghilang dari hati. Mampukah aku memaafkan penghianatan ini demi rumah tanggaku? Demi Delia anakku?
Suara ketukan pintu terus mengusik ketenangan yang sedang berusaha aku ciptakan. Mas Ilham tak putus asa memanggilku, memohon maaf padaku. Jujur saat ini hatiku beku. Tapi tak ingin permasalahan ini menjadi konsumsi tetangga, akhirnya kubuka juga pintu untuknya.Mas Ilham langsung meraih tanganku kemudian bersimpuh di kakiku. "Bunda, tolong dengarkan Ayah dulu, please!" ucapnya dengan menempelkan telapak tanganku di wajahnya."Tolong, Mas Ilham! Saya enggak mau menjadi tontonan!" Kuhentakan tanganku kemudian berlalu meninggalkannya yang terpaku di depan pintu.Pantulan dicermin seolah mengolokku. Kuusap pelan kulit wajah ini. Kusam. Kata yang pas untuk menggambarkan kulit wajahku. Pori-pori yang terlihat lebar. Bekas jerawat di mana-mana. Di ujung mata pun mulai terlihat keriput. Mungkinkah faktor usia? Atau memang aku yang selama ini tak pernah peduli dengan penampilan.Kubuka hijab yang tadi kukenakan saat membukakan pintu untuk Mas Ilham. Pelan jemari ini menyugar rambut yang entah
Awan menghitam menutup semburat jingga di batas cakrawala. Lampu-lampu jalanan mulai mengambil alih tugas sang mentari. Rintik mulai turun menemaniku memacu sepeda motor dengan kecepatan cukup tinggi. Cukup sudah permainan ini. Biarlah pernikahan ini harus berakhir. Aku menyerah. Aku kalah. Biarlah kepingan hati ini kupunguti seorang diri. Pada saatnya nanti waktu akan membuatnya utuh kembali.Aku tak jadi ke toko. Tiba di rumah langsung kuambil koper ukuran besar yang selama ini nyaris tak tersentuh di lemari bagian bawah. Kubuka resletingnya dengan kasar. Kemudian kulempar semua baju-baju Mas Ilham ke dalam. Kuluapkan emosi di hati dengan menarik kasar baju-baju itu dari lemari. Seolah aku sedang membuang Mas Ilham yang telah menghianati pernikahan ini.Tak ada air mata lagi. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri semua. Aku benci dibohongi. Aku benci dikhianati. Aku benci dipermainkan. Pernikahan adalah janji kepada Sang Pencipta bukan hanya kata-kata tanpa makna. Jika ini takdir ya
Gadis dengan wajah putih itu menunduk setelah meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dia duduk di sebelah ibunya."Lho Riana kok diam saja? Persilahkan Mba Mayang sama Mas Ilham lho!" tegur Mak Jum pada Riana yang hanya diam."Monggo, monggo Mas, Mba! Cuma teh hangat ini. Maaf, kami enggak bisa ngasih suguhan apa-apa," ucap Mak Jum selanjutnya dengan senyum mengembang. Aku hanya diam tak merespon ucapannya. Fokusku lebih ke benda-benda di pojok ruangan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi Mak Jum mau merenovasi rumahnya. Ada bertumpuk barang-barang bangunan seperti keramik, semen dan lain-lainnya. Sekilas meskipun ruangan ini terlihat sama namun ada beberapa barang yang berbeda. Sekarang ada televisi di depan tempat tidur ayah Riana dengan ukuran lumayan besar.Begitu pandaikah mereka mengatur keuangan? Atau uang yang selama ini untuk berobat Ayah Riana tak mereka gunakan seperti pesanku?"Iya, Bu terima kasih." Suara Mas Ilham membuyarkan segala perhitungan di kepalaku. Jujur aku
Puluhan tahun bersama nyatanya kini lelaki di sampingku ini terasa asing. Seolah aku tak lagi mengenalnya. Kepercayaan yang dulu kuberikan sepenuhnya menjadi bumerang yang menyerang pernikahan kami.Aku masih tak percaya dengan jawaban Mas Ilham. Aku masih memikirkan tentang lamaran itu. Dan itu sangat mengganggu. Kepercayaan pada lelaki di sampingku ini menguap entah kemana. Yang ada hanya curiga sehingga membuat hati semakin tidak tenang.Tiba di rumah entah mengapa aku merasa enggan. Merasa tidak nyaman. Dulu rumah ini selalu menjadi tempat ternyaman setelah seharian berkutat dengan segudang aktifitas. Kini melihat sesuatu yang ada di rumah ini menjadi menjijikan. Seperti ada noda bekas perbuatan terkutuk mereka menempel di mana-mana, di setiap benda. Menyisakan rasa jijik yang luar biasa."Aku ingin mengganti semua barang yang ada di rumah ini," ucapku tegas pada Mas Ilham.Lelaki yang sedang berjalan di depanku langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Sungguh dita
"Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, j
Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul
Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki
"Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b