Share

Mencoba Meredam Rasa

Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.

Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.

Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.

Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.

Kupikir seperti itulah saat manusia diberi ujian oleh Sang Pencipta. Ada yang memperbaiki diri sehingga menjadi lebih baik. Ada yang tak terpengaruh. Ada juga yang justru terpuruk lebih dalam. Semua kembali ke pribadi masing-masing. Dan aku harap, ujian yang kemarin sempat menggoyahkan pernikahan ini akan membuatku dan Mas Ilham semakin baik. Terus memperbaiki diri sehingga pernikahan ini bisa langgeng sampai maut memisahkan.

Adzan masjid berkumandang, Mas Ilham masih belum tampak batang hidungnya. Aku beranjak dari meja kerja untuk mengambil wudu. Setelah melaksanakan kewajiban aku kembali merayu Sang Pencipta untuk berkenan menjaga suami dan anakku dimana pun mereka berada. Menjaga diri dan hati mereka agar terhindar dari segala keburukan dunia. Aku mohonkan segala yang terbaik untuk semua. Meminta petunjuk agar langkah ini tak salah dan membuat diri tersesat.

Kilat masih menyambar diiringi petir yang menggelegar. Kuingat kembali nasehat Ustadzah Sofi beberapa waktu lalu saat aku berkunjung ke asrama Delia. Ustadzah menasehatiku agar tidak menolak keinginan Mas Ilham, apalagi urusan ranjang. Dia memberiku banyak pengetahuan tentang adab seorang istri terhadap suami.

Aku jadi berpikir, mungkin dulu Mas Ilham sampai bisa main gila dengan Riana karena ada kesalahanku juga di sana. Aku yang setiap hari sibuk dengan segala aktifitas di luar sering sekali menolak ajakannya. Mungkin saat Mas Ilham mulai jarang meminta, saat itulah kebutuhannya telah terpenuhi oleh Riana. Bodohnya aku tak menyadari dan merasa Mas Ilham telah terbiasa dan baik-baik saja.

Ustadzah Sofi menyarankan, saat aku memutuskan untuk mempertahankan pernikahan ini maka aku juga harus memperbaiki diri sebagai istri. Bukan hanya sepihak dari Mas Ilham. Karena itu, setelah beberapa hari aku berpikir aku ingin kembali memulai semua dengan Mas Ilham. Apalagi hampir satu tahun ini Mas Ilham benar-benar membuktikan janjinya.

Kunyalakan laptop untuk menginput hasil ujian anak-anak sambil menunggu Mas Ilham. Sesekali kurenggangkan badan untuk mengusir bosan. Kali ini adzan isya sayup-sayup terdengar diantara petir yang masih menggelegar. Kulihat ponsel untuk melihat barangkali Mas Ilham mengirim pesan. Tapi nihil. Mungkin dia menunggu hujan reda. Tapi kapan sedang sejak tadi tak menunjukkan debit air yang turun ini berkurang.

Kuletakkan ponsel kembali di meja kerja. Kemudian beranjak mengambil wudu untuk solat isya. Lelah seharian beraktifitas membuat mataku begitu berat. Selesai solat kuputuskan untuk menunggu Mas Ilham sambil tiduran. Jika aku ketiduran toh dia membawa kunci cadangan.

Mata yang sejak tadi terasa berat justru enggan terpejam saat aku memutuskan untuk istirahat. Akhirnya aku bangkit kembali ke meja kerja untuk mengambil ponsel. Tak ada salahnya aku coba menghubungi Mas Ilham. Setelah hampir satu tahun ini aku jarang sekali menghubungi ponselnya kecuali saat mendesak.

Berdering.

Lama tak ada jawaban. Kutekan kembali simbol gambar telepon. Berdering.

"Assalamualaikum, Nda."

"Waalaikumsalam." Lidahku kelu untuk menanyakan keberadaannya. Dalam hati gengsiku masih tinggi. Aku beristighfar mengingat pesan Ustadzah Sofi.

"Ini Ayah masih di toko, Nda. Nunggu hujan sedikit reda."

"Sama siapa?"

"Sendiri, anak-anak sudah langsung pulang tadi menerobos hujan. Bunda baik-baik aja kan di rumah? Mau Ayah bawain makan malam apa?"

Deg. Aku ingat tadi sudah memasak untuk makan malam dengan Mas Ilham. Hari ini aku berniat untuk minta maaf padanya.

"Tadi ... aku masak." Lidahku masih kaku untuk berkata manis pada lelaki itu.

"Oh ya? Bunda masak apa? Ayah habis ini langsung pulang kalau gitu."

Samar-samar terdengar tangisan bayi diantara suara Mas Ilham. Aku kembali berpikir yang bukan-bukan.

"Kok ada suara bayi?"

"Bayi? Oh ... emh ... itu, Nda. Di depan ada orang bawa bayi lagi berteduh."

"Emang Mas Ilham di luar kok suaranya sampai kedengeran?"

Hening. Suara bayi itu menghilang.

"Emh, iya, Nda. Itu kayaknya bayinya lagi dinenenin ibunya. Ya sudah Ayah langsung pulang ya, Nda. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Resah merasuk kalbu. Curiga itu selalu ada dalam setiap hal yang berhubungan dengan Mas Ilham. Begini ternyata yang namanya trauma. Kadang hal sepele pun rasanya membuat pikiran kemana-mana. Bahkan suara bayi orang pun menjadi monster dalam bayangan yang merenggut ketenangan.

Bagaimana kalau ternyata itu adalah bayi .... ? Ah aku enggan menyebut nama itu. Kubuang pikiran buruk itu jauh-jauh. Tak mungkin mereka bersama lagi. Apalagi cewek tak tahu diri itu ada di kampung.

Tapi benarkah dia masih di kampung? Bisa saja ... . Oh God! Kenapa pikiranku ngelantur seperti ini? Pikiran macam apa ini? Terus-terusan mencurigai suami sendiri yang bahkan telah dengan sabar menanti kembalinya hati ini.

Dari pada berpikir yang aneh-aneh kuputuskan untuk menyiapkan makanan untuk makan malam. Kupanaskan sayur yang tadi kumasak sembari menggoreng ayam yang sudah dibumbui tadi. Kemudian kutata rapi di meja makan lengkap dengan sambal kesukaan Mas Ilham. Hampir satu tahun ini lahir batin aku telah mengabaikannya. Mulai hari ini aku ingin perbaiki semua.

Semua sudah siap di meja makan. Aku berniat merapikan diri. Menyisir rambut yang kini rapi dan wangi. Memoles bibir dengan warna lembut agar tak terlalu mencolok. Sekarang aku tak perlu bedak ini itu saat di rumah. Karena kulit wajahku sekarang putih mulus tak bercela. Itu karena perawatan rutin yang sekarang selalu kulakukan.

Bismillah.

Daster selutut tanpa lengan kututup dengan sweter. Malam ini udara cukup dingin. Hujan masih belum puas mengguyur bumi saat kudengar Mas Ilham mengucap salam. Segera kujawab dan kusambut lelaki itu.

Senyum manis kupasang untuk menyambutnya. Sejenak Mas Ilham tertegun kemudian mengucup puncak kepalaku.

"Bunda cantik sekali." Sebelah tangannya mengangkat daguku.

"Ih, apaan sih." Aku salah tingkah.

"Udah sana buruan mandi! Nanti sayurnya keburu dingin."

"Laksanakan, Komandan!" canda Mas Ilham.

Kami berjalan beriringan menuju kamar. Kemudian Mas Ilham melepas kemeja dan celana panjangnya kemudian hanya mengenakan boxer ke kamar mandi.

"Ayah mandi dulu ya, Nda."

Aku tak menjawab hanya mengambil kemeja dan celananya untuk dimasukkan ke mesin cuci. Saat Mas Ilham di kamar mandi aku ke belakang menaruh baju Mas Ilham ke mesin cuci. Saat kemeja coklat muda itu sudah teronggok di mesin cuci, sekilas aku lihat ada sedikit noda di kerahnya. Penasaran aku angkat kembali kemeja itu. Seperti noda lipstik. Tapi sedikit sekali. Ah mungkin tadi menyenggol bibirku. Aku berusaha menahan pikiran yang hendak melayang kemana-mana. Tak mungkin Mas Ilham menyia-nyiakan kesempatan yang telah aku beri.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Mael Julius
iyalah tak mungkin,,klu mungkin berarti kau emang goblok
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
masa ada istri setolol dan oon kayak gini ?
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
cerita memuakkannn !!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status