"Delia tadi sama Ayah habis jalan-jalan kemana?" korekku. Sungguh aroma parfum ini sangat menggangguku.
Delia tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak kemudian menunduk. "Cuma keliling kota aja kok, Nda.""Oh, enggak minta sesuatu nih sama Ayah?" Aku menengok sekilas ke arah Delia kemudian fokus lagi ke jalanan. Aku benar-benar merasa ada yang lain pada Delia. Anak itu menatap keluar jendela tak seperti biasa."Kan sudah belanja sama Bunda.""Oh iya, nanti mau makan malam sama apa, Sayang?""Apapun, Nda. Yang penting masakan Bunda. Delia kangen masakan Bunda.""Oh ya?" Aku terkejut dengan jawaban Delia. Padahal dulu dia sering komentar kalau masakanku tidak enak. Kemanisan lah, kurang gurih lah. Kemudian dibandingkan dengan cewek tak tahu diri itu. Itu sebabnya selama ini aku jarang sekali memasak. Aku lebih suka beli. Apa mungkin sekarang Delia sudah lebih dewasa sehingga tahu bagaimana menjaga perasaan Bundanya? "Katanya masakan Bunda enggak enak?" candaku."Tapi kan Bundaku, jadi apapun rasanya tetap paling enak kok, Nda." Kali ini bibir tipisnya tersenyum simpul sembari memandangku yang fokus menyetir."Ih gadis Bunda sudah pintar merayu ya sekarang?" ucapku sambil mengacak-acak puncak kepalanya."Hehehehehehe. Delia sayang banget sama Bunda. Bunda enggak akan tergantikan selamanya.""Ooowh, Sayaaang. Bunda jadi pingin nangis nih. Makasih ya? Delia juga segalanya buat Bunda. Apapun akan Bunda lakuin buat kamu, Sayang.".Setelah solat mahrib berjamaah dengan Delia, kami ke dapur bersama. Menyiapkan makanan untuk makan malam kami. Delia tak meminta makanan yang sulit-sulit karena tahu Bundanya tak pandai memasak. Dia hanya minta udang goreng tepung terus dicocol sama saus.Sambil bercanda kami menggoreng udangnya. Rasanya ini luar biasa. Sebelumnya kami jarang sekali menghabiskan waktu seperti ini. Aku terlalu sibuk dengan toko dan pekerjaan sekolah. Sehingga tak banyak waktu kuhabiskan bersama Delia. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku benar-benar tak rela kebahagiaan ini berakhir."Bunda kalau Delia enggak di rumah pasti enggak pernah masak, kan?""Ih kok tahu sih, Sayang? Hehehehehehe.""Tahu dong, tuh liat tubuh Bunda sekarang kurusan gitu.""Eh jangan salah, Bunda lagi program diet tahu? Besok kita ke salon sama-sama ya, Del?""Hahahahahaha! Sejak kapan Bunda mikirin diet?""Ye jangan salah ya! Nih Bunda sekarang tinggal 55kg. Usia boleh tua tapi penampilan harus tetap dijaga dong."Kami tertawa bersama. Hatiku rasanya hangat sekali."Betul, Nda. Delia dukung. Bunda enggak boleh cuma mikirin kerjaan aja, tapi Bunda juga harus mikirin diri Bunda juga. Delia mau Bunda jadi orang yang paling bahagia.""Owh owh owh, terima kasih, Gadis Bunda." Kami berpelukan sambil tertawa. Gemas kucubit pipi Delia yang tak secubi dulu."Ah Bunda, nanti Delia jadi tembem nih!" Putriku pura-pura merajuk."Tetap paling cantik kok, no problemo!""Hehehehehehehe.""Nda, kok bau gosong?""Aaah iya, udang kita!" seruku."Hahahahahaha hangus deh!""Yaaah!" "Wah seru banget sampai Ayah salam enggak ada yang jawab!" Tiba-tiba Mas Ilham muncul di dapur."Ini, Yah. Hahahahahaha. Bunda goreng udang gosong, Yah. Hahahahahaha." Delia terbahak melihat udah gorengnya berubah warna menjadi hitam."Hahahahahaha, kok bisa sih?""Delia tuh ngajak bercanda muluk. Gosong kan jadinya." Tak kusangka aku bisa kembali merajuk manja di depan Mas Ilham."Enggak apa-apa kok, tenang aja! Ayah sudah bawain sate kambing nih." Mas Ilham mendekat dan menyerahkan bungkusan sate padaku."Yee! Enggak jadi gagal makan nih," seru Delia."Kok telat, Yah?" Pertanyaan wajibku sejak penghianatan itu saat Mas Ilham pulang sedikit saja molor dari waktu seharusnya."Tadi antri satenya, Nda. Kan Bunda tahu sendiri ramenya warung sate langganan Bunda.""Biasanya kan bisa wa dulu terus pas pulang tinggal ambil." Aku masih saja curiga sama apapun jawaban Mas Ilham."Enggak kepikiran tadi, Sayang. Pas di jalan baru kepikiran buat beli sate. Sekalian beli buat Toni juga tadi.""Udah langsung pulang dia?""Iya, cuma antar sampai gerbang aja. Ya sudah Ayah mandi dulu, ya?"Cup.Mas Ilham mengecup keningku."Apaan sih, ada Delia tuh!" protesku.Delia menunduk menekuri udang gosong di piring. Tumben anak itu diam melihat tingkah Ayahnya. Biasanya langsung rame ngeledekin.Setelah makan malam kami habiskan waktu bersama sambil menonton televisi. Entah kenapa malam ini Delia tak banyak bicara. Dia lebih asyik dengan ponsel. Maklum saja selama di asrama dia tak diizinkan membawanya.Hari berlalu, liburan sekolah pun telah usai. Hari ini aku membantu Delia berkemas untuk kembali ke asrama. Liburan ini aku merasa begitu bahagia menghabiskan banyak waktu bersama gadis kecilku.Keesokan harinya kami mengantar Delia kembali ke asrama. Waktu dua minggu rasanya begitu singkat. Sepanjang jalan Delia bercerita tentang Jihan teman sekamarnya yang orang tuanya bercerai. Hatiku kembali terusik mendengar penuturan Delia. Aku benar-benar berharap Mas Ilham tak pernah lagi menghianati pernikahan kami."Biasanya Jihan berangkat sendiri ke asrama, Yah. Karena Ibunya sekarang ikut dengan Ayah barunya. Sedang Ayahnya sibuk sama pekerjaannya. Ibu tirinya mana mau antar dia.""Dia ikut Ayahnya, Del?" tanyaku."Iya, Nda. Ibu tirinya itu cuma sayang sama Ayahnya. Awalnya aja baik. Makanya Jihan mau saja ikut Ayahnya. Ternyata semakin ke sini Ibunya rese.""Hus! Enggak boleh ngomong gitu, Del.""Emang iya kok, Nda. Delia itu heran sama Ayahnya Jihan. Padahal Ibunya Jihan itu cantik loh, Nda. Kesel aku kalau dengar cerita Jihan. Ayahnya egois!"Aku melirik Mas Ilham yang terdiam sejak tadi. Biasanya dia paling suka menanggapi cerita-cerita Delia. Tapi kali ini cerita Delia skakmat buat dia."Secara materi semua keperluan Jihan memang terpenuhi, tapi Jihan sama kayak Delia, kami butuh orang tua kami utuh mendampingi kami.""Makanya Delia selalu berdoa ya sama Allah, agar keluarga kita selalu baik-baik saja!" "Iya, Nda. Delia selalu berdoa buat orang tua Delia."Sore ini hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sesekali kilat menyambar diikuti petir yang menggelegar. Aku sedikit khawatir Mas Ilham masih belum pulang dari toko. Apalagi tadi mobil aku yang bawa dan dia aku minta pakai motor.Kusibukkan diri dengan membuat teh panas untuk menemani mengoreksi hasil ulangan harian anak-anak. Beberapa lembar telah berpindah dari tumpukan di sebelah kiri yang belum dikoreksi ke sebelah kanan yang sudah dikoreksi.Kuhirup aroma teh melati kesukaan untuk merilekskan pikiran. Melihat jawaban anak-anak didikku kadang membuat dahi mengernyit heran. Berkali-kali kujelaskan detail dengan cara panjang ataupun cara sederhana tapi beberapa masih saja asal menjawab soal.Kehidupan sehari-hari pun sebenarnya juga demikian. Seperti anak-anak di bangku sekolah yang diberi materi pelajaran. Ada yang membuatnya menjadi semakin tahu dan menerapkan dalam kehidupannya. Ada yang masa bodoh. Ada juga yang tak mau tahu dan kehidupannya semakin terpuruk.Kupikir seperti itul
Senyum terkembang di bibir Mas Ilham saat aku membuka mata. Tampaknya sejak tadi lelaki itu sedang mengamati wajahku."Selamat pagi, Sayang," ucapnya diikuti kecupan di puncak kepala.Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya. Dalam hati aku memohon, semoga kebahagiaan ini abadi. Tak ada lagi drama orang ketiga dalam kehidupan kami."Makasih ya, Nda, buat semuanya." Kini lengannya menjadi bantal yang kembali nyaman untukku. Sebelah tangannya mengelus jemariku."Terima kasih juga, sudah mau sabar menunggu Bunda.""Apapun akan Ayah lakukan, Sayang.""Ya sudah, Bunda mau mandi dulu. Bentar lagi subuh.""Mandi bareng ya, Nda?" bisiknya nakal."Ish!"Pagi ini bunga-bunga di taman belakang rumah tampak basah. Hujan semalam membuat mereka tampak segar. Sebentar lagi saat mentari mulai menghangat kelopak-kelopak itu akan bermekaran menunjukkan kecantikannya. Sengaja kubuka lebar-lebar dua daun pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang agar udara segarnya bisa menemaniku memasak."Biki
"Nda, Ayah pamit ke rumah Ibu dulu ya? Tadi Ibu telpon katanya Sintya butuh uang buat bayar praktek."Aku masih fokus pada layar laptop di depanku. "Iya, salam buat Ibu ya?"Sintya adik Mas Ilham, saat ini sedang kuliah kebidanan. Sedikit banyak kami memang membantu biaya kuliahnya. Selain karena Ayah Mas Ilham sudah berpulang, kondisi ekonomi mereka pun pas-pasan. Itu sebabnya Mas Ilham hanya lulusan SMP. Dulu Mas Ilham bekerja di percetakan milik teman Ayahnya. Di situ kami sering bertemu saat aku masih kuliah."Ya sudah, Ayah berangkat dulu. Nanti kalau Bunda sudah ngantuk tidur duluan aja ya? Ayah bawa kunci rumah kok.""Heem.""Ini ATMnya Ayah bawa ya, Nda.""Ya, hati-hati!"Terdengan suara pintu kamar tertutup. Aku kembali fokus mengerjakan analisis evaluasi. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Belum lama ini aku dimutasi ke SMP lain. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Hampir satu jam perjalanan. Semakin sedikit waktuku di rumah. Semakin lelah juga badan ini tiap hari harus b
Steak di piring kini bersih tak bersisa. Cita rasa steak di kedai Jeng Hani teman zumbaku benar-benar mantap. Bumbunya khas, pas dan meresap. Dagingnya juga empuk. Mantap pokoknya. Benar-benar memanjakan lidah.Pantas saja saat jam makan siang seperti sekarang ini semua tempat penuh dengan pengunjung. Meskipun begitu suasana di dalam kedai ini tidak panas sama sekali. Karena beberapa jendela kayu lebar tanpa daun berjejer menyuguhkan pemandangan sungai dan hijau pepohonan. Pas sekali dengan dekorasi yang mengusung tema alam. Pengunjung akan merasa nyaman bersantai setelah perut terisi di kedai ini.Tawa canda teman-teman arisanku pun semakin menjadi setelah menikmati steak. Apa saja hal yang dibahas akan terdengar lucu dan menarik. Apalagi dengan kepiawaian Jeng Sony ketika menirukan ekspresi wajah seseorang. Pecahlah tawa teman-teman semua.Aku yang notabennya tak pandai bergaul dan tak banyak bicara, cukup mengikuti alur cerita mereka. Ikut tertawa dan sesekali menimpali.Sepuluh i
Tajam mata ini menatap manik hitam perempuan sundal itu. Lekat. Sembari tangan ini membuka pintu mobil, mata ini masih lurus menghunus tajam. Langkah lebar ini membuat jarak kami terkikis. Kini wanita durjana itu, gundik itu, tepat di depanku. Ya dialah Riana.Istighfar terus kugaungkan dalam dada agar diri ini terhindar dari perbuatan anarkis. Mempermalukan diri sendiri. Jika kuturuti kata hati, sungguh aku ingin menjambak rambutnya, mencakar-cakar wajahnya, bahkan mencekiknya sampai tak bisa bernafas lagi. Tapi sekali lagi aku harus bisa mengendalikan diri.Kusipitkan sebelah mata menatapnya sengit. Mata gundik itu terlihat mengembun. Sesekali beralih menatap bocah laki-laki yang menggenggam jemarinya. Persis tikus di hadapan kucing. Tak bernyali."Luar biasa sekali kamu, Riana." Kupindai gundik itu dari ujung kaki hingga kepala dengan senyum merendahkan."Apa kamu benar-benar tak punya hati?"Gundik itu hanya mematung menatap jemari yang bertaut dengan bocah di sampingnya. Bocah it
Pelan kutarik gorden menutup kaca kamar tidur utama rumah ini. Tak ada lagi pemandangan indah yang terlihat di sana. Hanya gorden warna abu tua. Persis seperti kondisi hatiku setelah menyaksikan seseorang yang telah lebih dari sepuluh tahun hidup denganku memilih pergi dari rumah setelah pertengkaran kami. Ini kali pertama dia melakukannya.Sekarang aku tahu bahwa segalanya telah berubah. Semua sikap manisnya selama ini adalah palsu. Sekedar topeng untuk menutupi kebusukannya. Bagaimana bisa aku sebodoh ini tak menyadari? Bahkan merasa pendusta itu begitu sabar dalam mencintai.Kini tabir telah terkuak. Jalan baru telah terbentang. Aku harus siap menjalaninya. Betapapun pahitnya. Meninggalkan sesuatu yang sungguh teramat berharga. Sebuah ikatan pernikahan.Kurebahkan raga yang teramat lelah. Berusaha memejamkan mata ditemani detak jarum jam penghapus sunyi. Entah berapa kali tubuh ini berubah posisi. Nyatanya kantuk tak juga menghampiri.Dada ini teramat perih. Memikirkan lelaki yang
"Delia putri Bunda, ada sesuatu yang mau Bunda sampaikan.""Apa, Nda?"Kuhela nafas sejenak. Lalu kembali berkata, "ini berita buruk bagi kita, tapi Bunda selalu berdoa agar Allah beri kebaikan di dalamnya.""Apa memangnya itu, Nda?" Delia terlihat khawatir dan penasaran.Kutarik nafas panjang. Kutata hati untuk menyampaikan berita ini pada putri semata wayangku."Bunda sama Ayah sebentar lagi akan bercerai, Sayang."Mata sendu itu menatapku dengan mata melebar. Dia pasti terkejut bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja aku sampaikan."Ada satu hal yang membuat Ayah sama Bunda enggak lagi bisa bersama."Delia masih membisu. Aku tahu ini tak mudah untuknya. Pun sebenarnya juga tak mudah untukku. Tapi aku harap ini yang terbaik."Kadang apa yang menurut kita baik ternyata menurut Allah tidak, begitu juga sebaliknya. Kadang ada sesuatu hal yang menurut kita buruk tapi menurut Allah sebaliknya. Bunda harap meski ini hal yang menyakitkan, tapi ada kebaikan di baliknya."Air mata menga
"Ilham? Kenapa kamu bersama dia?" tanya Ibu tak mengerti.Mas Ilham hanya terpaku di ambang pintu. Tak bisa menjawab pertanyaan Ibu. Sekian detik ruangan ini benar-benar hening. Akhirnya aku bersuara. "Mayang yang memintanya, Bu.""Maksudnya?" Ibu balik menatapku penuh tanya."Masuk dulu, Mas, Ri!" pintaku karena tak satupun dari mereka mempersilahkan dua manusia laknat ini masuk.Mas Ilham menarik tangan Riana untuk masuk ke rumah Ibu. Sedang mata ibu tak lepas menatap mereka berdua. Ibu masih terpaku di depan pintu.Aku memberi kode pada Sintya yang kebingungan untuk menutup pintu. Setelah menutup pintu Sintya membimbing Ibu untuk duduk di sebelahku. Kini aku duduk satu sofa dengan ibu, Mas Ilham dengan Riana dan Sintya sendiri. Bagas adik bungsu Mas Ilham tak terlihat sejak tadi.Kulihat ibu masih bergeming menatap mereka berdua. Aku yakin ibu sangat kecewa. Aku memegang jemari tuanya. Kemudian wanita itu beralih menatapku."Jadi mereka ... ?" Ibu menggantung kalimatnya.Aku mengan