Share

Sinta Namanya

Malam pun datang, dengan mengenakan batik khas Solo, lima keluarga itu ; ayah, ibu dan kedua adik perempuan Dika pergi ke keluarga calon besan mereka.

Sampai di sana tak tanggung-tanggung sambutan yang diberikan. Hidangan lezat menggugah selera disediakan, bahkan lebih mewah dari makanan saat resepsi pernikahan Dika dan Amel.

Lanjut setelah makan, perbicangan tentang bisnis kebun kepala sawit dibicarakan oleh dua orang kepala kelaurga, terletak di luar pulau. Investasi menjanjikan apalagi jika ditekuni selama puluhan tahun mendatang.

Seorang gadis cantik keluar dengan potongan rambut pendek juga bergelombang. Khas pemain film Suzana dandanannya. Memang sedang trend pada saat sekarang. Ia menyapa Dika dengan ramah, mengajak lelaki itu berjabat tangan.

Gadis yang digadang-gadangkan berpendidikan tinggi dan mampu menjadi pendamping seorang anak lelaki pertama dari keluarga terpandang. Fasih berbahasa Inggris dan teman-temannya juga dari kalangan kelas atas.

Terlihat sedikit angkuh gayanya, terutama saat menjelaskan siapa dirinya dalam bahasa asing. Dika tak suka dengan perempuan seperti itu. Sinta berbeda dengan Amel yang lugu dan lemah lembut.

“Rencana setelah selesai kuliah S2 kamu akan bagaimana dengan masa depanmu?” tanya Sinta.

Baginya seorang laki-laki harus memiliki peta kehidupan yang jelas. Kalau tidak, ya, maka kepemimpinan akan diambil alih oleh perempuan.

Dika tak suka dengan gaya Sinta yang menyebut dirinya dengan kata kamu. Berbeda dengan Camelia saat pertama kali berjumpa sudah sopan menyapanya dengan sebutan abang.

“Ya, saya akan bekerja dengan Papa. Bantu-bantu bisnis keluarga,” jawab Dika ala kadarnya. Sungguh ia ingin pulang dan lari dalam rengkuhan hangat Amel. Melepas lelah dan rindu dalam satu selimut yang sama, dan pasti sangat menyenangkan.

“Tidak ada rencana untuk membesarkan bisnis ke arah lain? Papa aku akan buka kebun sawit baru di Riau. Kamu tidak ada rencana untuk mencobanya juga?”

“Nanti biar papa saya yang urus, saya belum bisa ambil keputusan sendiri.” Dika merendah di hadapan Sinta. Wanita itu tersenyum simpul, sedikit banyak lelaki perlente di depannya mudah untuk diatur.

Pertemuan itu pun akhirnya selesai hampir tengah malam. Banyak hal yang dibicarakan, termasuk kedua belah pihak langsung berterus terang tentang rencana perjodohan Sinta dan Dika.

Buah tangan dari Dika pun diberikan. Sinta menyukainya, bunga mawar putih dan kain batik yang dicanting dengan tangan langsung.

“Bagaimana tadi kesan pertama dengan Sinta? Papa harap kamu cocok dengan dia. Elegan, berkelas dan produk anti gagal. Pasti kalau kamu menikah dengan dia bisa lahir anak laki-laki kebanggaan keluarga lagi,” ujar sang kepala keluarga dengan penuh penekanan.

“Anak perempuan juga penting, Pa. Nanti siapa yang urus hidup orang tua. Anak laki-laki itu sibuk cari uang, anak perempuan yang di rumah.” Kata Bu Inah, membuat dua anak gadisnya saling melirik. Artinya mereka akan menjadi pembantu di rumah mertuanya nanti?

“Lihat nanti, Pa, Ma. Semoga aja ada takdir yang baik untuk kami.” Dika malas berdebat lagi pula ia sedang menyetir.

Sampai di rumah lelaki itu mengirimkan sms pada istrinya. Wanita itu tak membalas, entah sedang tidur atau ada pekerjaan lain. Tak tenang hati Dika, seolah-olah terjadi sesuatu dengan istrinya. “Kamu ke mana?” Ia menarik napas panjang, sudah dua jam tak juga mendapat balasan pesan.

Hari demi hari dilewati Dika dengan gundah, tanpa balasan pesan juga teleponnya tidak diangkat. Libur juga masih lama, sengaja papanya memberikan tumpukan pekerjaan.

Katanya agar anak lelaki mereka cepat pintar dan bisa mengatur perusahaan. Ditambah tak ada pula tetangga yang bisa ditanyakan.

Kesalahan besar Dika menitipkan Amel tanpa mengenal lingkungan kiri dan kanan sama sekali. Sampai akhirnya waktu terus terlewati selama tiga minggu tanpa kabar dari Camelia.

Risau? Jangan tanya lagi, Dika takut istrinya di bawa lari orang. Ingin bergerak juga susah. Bu Inah seolah-olah mengawasi hidup putranya selama 24 jam.

Lalu akhirnya hal yang dinanti tiba. Dika mendapatkan tugas ke luar kota, tak jauh dari tempat Amel tinggal. Kali ini ia dilepaskan sendirian, sekalian belajar kata mamanya.

Dengan senyum terkembang ia pergi ke luar kota, dibarengi khayalan dapat menemui Amel setelah satu bulan terpisah dan tentu saja untuk minta dilayani dari ujung rambut sampai kaki lagi.

Pelayanan yang diberikan Amel membuatnya serasa seperti raja, tidak seperti di rumah yang selalu menyuruhnya untuk ini dan itu, ditambah lagi Sinta yang belum apa-apa saja sudah mulai mengaturnya.

Dika sampai di rumah Amel, ia mengetuk pintu perlahan-lahan. Terbuka, Amel menyambutnya dengan muka yang masam dan merengut. Tak ada pelukan hangat, tak ada cium pipi kiri kanan dan tak ada cium tangan tanda patuh pada suaminya.

Dika pun merasa kehilangan. Padahal ia sudah membawa banyak hadiah untuk istrinya itu.

“Kamu kenapa, Mel? Marah sama Abang” tanya lelaki itu sambil masuk ke kamar mengikuti istrinya. Ia usap punggung wanita itu, terluka hati Dika mendapat penyambutan seperti demikian.

“Aku pikir aku ini tidak ada artinya buat Abang. Sudah masuk tiga bulan usia pernikahan kita dan orang tua kamu tidak tahu apa-apa tentang anaknya yang sudah menikah. Abang pikir aku apa? Barang yang bisa dibuang sesuka hati?” Wanita itu menghela napas panjang.

Ditinggal satu bulan dan hanya dijenguk sesekali membuatnya merasa seperti wanita simpanan saja, padahal dia istri sah secara agama.

“Maafkan, Abang, Mel. Abang belum berani bicara sama kedua orang tua. Selain sibuk, juga karena kuliah Abang tinggal sedikit lagi. Kamu bisa sabar, kan?” Dika memeluk istrinya dari belakang.

Rindu telah lama menuntut untuk dipenuhi terutama ketika mencium aroma bunga dari baju tidur Amel.

“Sampai kapan? Aku takut tiba-tiba hamil dan orang tua Abang tidak terima kalau anaknya sudah mau punya anak.” Amel berusaha melepaskan pelukan itu tapi Dika menahannya.

“Kenapa harus takut? Kamu hamil ada suaminya, anak kita bukan anak haram, kan?”

“Kamu menyindir aku, Bang?”

“Bukan gitu maksud Abang, Mel. Siapa tahu kalau ada anak justru akan membuat kedua orang tuaku luluh. Kalau gitu kita harus cepat-cepat kasih cucu untuk mama sama papa Abang. Gimana, bisa malam ini?” tanya lelaki itu sambil berusaha merayu Amel.

“Bisa aja kamu, Bang.” Amel pun tersenyum juga.

Tak dipungkiri ia juga rindu, semuanya tentang Dika ia rindukan. Lalu keduanya hanyut dalam pelabuhan cinta yang hanya satu kapal yang boleh berhenti. Tanpa keraguan, tanpa rasa curiga dan tanpa rasa takut akan kehilangan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status