Camila tak bisa menahan air matanya di depan banyak orang. Suaminya—Satria—lelaki yang baru saja menikah dengannya kini dinyatakan hilang. Tidak meninggal tidak juga ada di tempat. Jejaknya tidak ditemukan usai baku tembak dengan kelompok bersenjata yang amat mematikan tersebut. Bibirnya bergetar dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia dibantu duduk oleh tentara wanita yang ada di sana, lalu diberikan segelas air agar sedikit tenang, mengingat Mila sedang hamil. “Yang sabar, ya, Ibu,” ucap petugas yang ada di ruangan itu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu kata-kata pun yang masuk dalam kepala Mila. Ia hanya ingin suaminya ditemukan, walau harus mencari dalam kurun waktu yang sangat panjang. “Apa nggak bisa suami saya dicari lagi, Pak?” Camila berusaha tenang setelah puas menangis. “Sudah kami telusuri semua wilayah di dalam hutan, tetapi jejaknya tidak ada,” jawab petugas di sana. “Berarti suami saya belum mati.” Mila masih meyakini Satria masih hidup. “Ada dua kemungkinan. Ma
Satria berjalan tertatih di dalam hutan. Saat ia dikejar oleh sekelompok pembunuh dengan senjata tajam. Ia menyelamatkan diri lari ke sembarang arah lalu terjatuh berguling-guling di jurang yang dekat dengan tepi sungai. Di sana ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Lalu saat bangun, kakinya sakit bukan main dan tak bisa dibawa berjalan jauh. Ditambah Satria tak tahu sedang berada di mana. Kedalaman hutan yang ia tempati masih sangat luas, perawan, dan tentunya banyak binatang buas. Tidak ada senapan yang Satria bawa, hanya belati tajam yang beruntung masih tersangkut di pinggang. Di sana ia menyembuhkan dirinya sendiri. Minum air sungai, memakan ikan yang bisa ditangkap di sungai, dan tidur setelah menghidupkan api kecil agar terjaga dari terjangan binatang buas. Sampai suami Camila tak tahu lagi hari apa yang ia lewati, sudah berapa minggu atau bahkan mungkin sudah berbulan-bulan lamanya. Baju dinas yang Satria gunakan bahkan sudah lusuh dan robek. Namun, hanya itu satu-satunya
Sah. Satu kata yang diucapkan oleh wali hakim yang menikahkan Dika dengan Camelia. Pernikahan itu hanya digelar secara agama saja, tanpa pengesahan kenegeraan. Alasannya karena orang tua dari Dika tidak menyetujui calon istri yang ia bawa. Wanita yang tak jelas siapa bapaknya. Sebab nasab yang mengikut pada ibunya. Pernikahan itu pun hanya dihadiri keluarga dekat dari pihak Camelia saja, termasuk ibunya yang sudah menikah lagi. Ayah kandung wanita itu kabur tanpa jejak yang bisa terendus entah ke mana, tak ada yang tahu. Tidak ada resepsi, catering dan lagu yang dibawakan oleh biduan sebagai penanda di rumah itu ada pernikahan yang sedang berlangsung. Dika harus merahasiakannya, sebab jika kedua orang tuanya tahu maka semua fasilitas bulanannya akan dihentikan. Itu juga berarti ia tak bisa memberikan nafkah untuk Camelia—istrinya. Yang kedua orang tua Dika tahu, putranya sudah putus sejak enam bulan lalu dengan gadis tak jelas siapa bapaknya itu. Malam pun akhirnya datang menyapa.
Kicau burung di pagi hari seharusnya menjadi penanda kebahagiaan bagi Camelia. Namun, wanita itu resah. Sudah dua minggu Dika tidak mengunjunginya. Beberapa kali ia mencoba menelepon tapi suaminya selalu menjawab sedang sibuk, kalau tidak kuliah maka pekerjaan yang menjadi alasan. Amel sangat merindukan suaminya, walau bagaimanapun juga ia merupakan wanita normal yang telah disentuh sebagai seorang istri. “Aku tidak seperti ibuku. Aku menikah dengan baik-baik dan memiliki suami secara sah. Aku tidak merebut milik orang juga tidak menjadi wanita kedua. Dika menikahiku ketika masih lajang. Tapi kenapa sulit sekali untuk memilikinya utuh-utuh.” Amel memandang langit yang kebiruan, hari itu musim kemarau, sinar mentari di jam delapan saja sudah seperti jam dua belas siang. “Baik, mungkin alasannya memang karena bekerja. Tapi jangan lupakan kalau aku sudah kamu nikahi. Atau aku akan datang ke rumah orang tuamu dan menunjukkan bukti kalau kita sudah menikah,” gumam wanita itu sendirian.
Malam pun datang, dengan mengenakan batik khas Solo, lima keluarga itu ; ayah, ibu dan kedua adik perempuan Dika pergi ke keluarga calon besan mereka. Sampai di sana tak tanggung-tanggung sambutan yang diberikan. Hidangan lezat menggugah selera disediakan, bahkan lebih mewah dari makanan saat resepsi pernikahan Dika dan Amel. Lanjut setelah makan, perbicangan tentang bisnis kebun kepala sawit dibicarakan oleh dua orang kepala kelaurga, terletak di luar pulau. Investasi menjanjikan apalagi jika ditekuni selama puluhan tahun mendatang. Seorang gadis cantik keluar dengan potongan rambut pendek juga bergelombang. Khas pemain film Suzana dandanannya. Memang sedang trend pada saat sekarang. Ia menyapa Dika dengan ramah, mengajak lelaki itu berjabat tangan. Gadis yang digadang-gadangkan berpendidikan tinggi dan mampu menjadi pendamping seorang anak lelaki pertama dari keluarga terpandang. Fasih berbahasa Inggris dan teman-temannya juga dari kalangan kelas atas. Terlihat sedikit angkuh g
Hari berganti menjadi hari lalu berganti pula menjadi bulan. Dika kerap membagi waktunya agar bisa mengunjungi istrinya. Meski ia juga selalu diatur kapan harus berkencan dengan Sinta. Saat menatap mata Sinta yang Dika pikirkan hanyalah Amel saja. Makan malam romantis kembali digelar oleh Sinta, di sebuah restoran mewah dengan penyanyi pop yang mengenakan baju di atas lutut, suaranya yang merdu sangat asyik menemani malam yang bertaburan bintang. Sinta menyukai Dika, tapi tidak dengan lelaki itu. Ia gelisah, seperti ada hal lain yang ia rasakan. Berkali-kali lelaki itu melihat ponselnya, berharap ada kabar dari Amel. Sebab dua minggu lalu saat ditinggalkan istrinya mengeluh sakit kepala setiap hari dari pagi sampai malam. “Kamu kenapa? Sepertinya tidak suka dengan makan malam kita, sampai berkeringat begitu?” tanya Sinta, Dika tak menghiraukannya. Matanya tertuju pada tanda pesan masuk di ponselnya. Bergetar tangan lelaki itu membukanya. Sebuah pesan dari Amel. Di sana tertulis ba
Lelaki itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya, ia harus fokus sebab tak lama lagi akan ada ujian akhir. Semua harus selesai tepat waktu, agar pernikahannya bersama Amel bisa segera ia umumkan. Namun, pintu kamarnya diketuk, tanpa izin darinya Bu Inah masuk dan melemparan foto-foto mesra di ranjang Dika begitu saja. Foto putranya bersama seorang gadis dalam balutan jas hitam dan yang wanita menggunakan kebaya. “Mama sudah tahu?” tanya lelaki itu. Ia tak berani memandang mata wanita yang melahirkannya. “Dia siapa? Iya, baru Mama saja yang tahu, Papa belum. Bisa kamu bayangkan kalau Papa tahu dan menarik semua fasilitas yang sudah diberikan. Kamu akan hidup miskin tanpa mobil, motor, ponsel dan uang. Didepak dari kantor, dicoret dari daftar penerima harta warisan. Dan kamu bukan anak kami lagi.” Tegas Bu Inah. Ia tak pernah main-main dengan perkataannya. Apalagi jika sudah suaminya yang berkata-kata langsung. “Ma, apa salahnya Dika menikah?” “Tidak salah asal calonnya atas persetujua
Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2016 Bu Inah duduk di kursi rodanya. Suaminya telah lama tiada, dua anak perempuannya tentu ikut ke mana suami mereka pergi. Tinggallah orang tua itu di rumah anak lelakinya—Dika, dan sudah bisa dipastikan Sinta juga turut serta. Usai peristiwa perceraian dengan Amel, tak perlu menunggu waktu lama pernikahan dua orang kaya itu digelar juga. Peristiwa yang benar-benar hanya Dika dan mamanya saja yang tahu, mendiang papa tidak, begitu juga dengan dua adiknya. Namun, tidak menutup kemungkinan jika Sinta mencari tahu diluar sepengetahuan mertuanya. Masa tua yang sangat sepi. Dika dan Sinta dikaruniai dua anak laki-laki. Yang satu berusia 19 tahun yang satu lagi jaraknya sangat jauh, kira-kira tujuh tahun. Sebab Sinta yang mengatur jarak kehamilan itu. Bagi wanita keras kepala tersebut, tubuhnya adalah haknya. Ia yang menentukan kapan harus hamil bukan siapa pun. Sinta dan Bu Inah keduanya memiliki watak yang sama dan cenderung sering meributkan ha