“Mah, Mila pergi dulu, ya. Pulang sore mungkin, kalau capek tutup aja kedai lebih cepet. Kumpulin duit dari dulu nggak kaya-kaya juga,” ujar gadis manis dengan lesung pipi itu. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan panas-panasan. Kalau nggak di rumah aja bantu Mama jualan.” “Nggak berkembang. Mau cari usaha lain aja." Mila pergi usai mencium tangan kedua orang tuanya. Terlebih dahulu ia antar adik laki-lakinya yang kini hampir tamat SD. Menggunakan honda fit X keluaran tahun 2008 yang masih cukup tangguh digunakan. Satu-satunya kendaraan yang digunakan untuk ke sana kemari di rumah itu. Amel yang membeli setelah menabung sekian lama. Camila begitu akrab dengan adik laki-lakinya, anak yang diberi nama Fathan. Amel benar-benar menutupi semua jejak tentang Dika pada diri putrinya. Amel mengatakan bahwa Mila dan Fathan kakak adik sedarah dan senasab. Padahal tidak, hanya seibu saja. Demi Fathanlah Amel bekerja apa saja yang menghasilkan uang. Ia tak mau adiknya seperti dirinya waktu kecil. Tak
Mila pulang dengan menggunakan motor usai menyelesaikan pertemuan yang berlangsung sampai waktu zuhur masuk. Oma—begitu Bu Inah minta dipanggil olehnya, benar-benar mengajak gadis itu mengobrolkan segala hal, termasuk rasa sepi yang mulai melanda sejak ditinggal suaminya lima tahun yang lalu, dan satu demi satu anaknya mulai fokus mengurus kehidupan masing-masing. Sejatinya hidup memang seperti itu, jika ada yang datang tentu akan ada yang pergi. Jika dulu berbuat jahat tentu balasan akan didapat walau tak sesegera mungkin turunnya. Namun, dari semua hal yang membuat Mila agak susah berpaling hari ini yaitu, kehadiran Satria. Pria muda yang katanya orang kepercayaan Oma juga Bapak Dika.“Tipis harapan, pasti gadis incarannya anak orang kaya juga. Mimpi kali dia mau sama aku yang kucel dan dekil gini.” Mila kembali ke kantor perumahan menyerahkan hasil laporannya kali ini. Gadis itu tak datang dengan tangan kosong saja. Uang muka senilai sepuluh juta rupiah diberikan oleh Dika sebaga
“Tunggu, Mel.” Dika memegang pergelangan tangan mantan istrinya, ketika Amel tak sudi lagi melihat wajahnya. Jelas saja wanita itu melepaskan dengan paksa. “Abang cuma ingin memberikan ini sedikit, nanti pasti Abang berikan setiap bulan. Kalau kurang kamu bisa bilang jangan sungkan, sedikit biaya bulanan untuk anak kita.” Dika mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang isinya cukup tebal. Namun, terlebih dahulu Amel menepisnya. “Terlambat kamu. Mila sudah bisa cari uang sendiri, sudah saya bilang dia anak yang mandiri. Jangankan uang, kehadiran kamu aja nggak diperlukan dalam hidupnya. Sekarang kalian berdua pergi dari sini. Atau saya panggil warga untuk mengusir kalian, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini, haram rumah saya kalian datangi, selamanya, walau saya mati sekali pun.” Amel serius dengan perkataannya. Dika menarik napas panjang, ia mengajak Satria untuk pulang, bahkan bayaran untuk sepiring nasi yang tak habis ia makan ditolak oleh mantan istrinya. Lelaki itu tak ak
Pulang dari kerja dan memberikan obat untuk ayahnya, Mila hanya sempat beristirahat untuk makan dan ganti baju saja. Ia masih harus kuliah lagi yang kelasnya akan berlangsung setengah jam lagi. Tak jarang, Mila—yang sering dibully anak mama itu disuapi oleh Amel ketika detik jam terus berjalan ke depan tanpa tahu kalau orang tak sempat melakukan hal-hal lain lagi. Itu lebih baik daripada melihat anaknya kelaparan. Sebelum pergi, Amel sempat ingin mengganti uang yang digunakan untuk membeli obat suaminya. Namun, mendapat penolakan dari gadis manis dengan lesung pipi itu. “Murah rezeki Mila hari ini, Ma. Ada Oma baik hati yang ngasih tips habis beli rumah, terus dapat uang tambahan. Simpan aja untuk tambahan modal harian,” ujar Mila, lalu ia mencium tangan Amel dan pergi kuliah menggunakan kendaraan satu-satunya di rumah itu. Amel menatap putrinya dengan haru, rasanya sudah ia kerahkan semua kemampuan untuk membesarkan putri satu-satunya, dan tak akan ia biarkan Dika datang mengambi
Pagi hari di rumah besar itu semuanya makan dengan jadwal masing-masing. Kebersamaan dalam kediaman itu semakin memudar akhir-akhir ini. Sinta yang sibuk dengan urusan pribadi, Dika dan mamanya yang selalu mengurusi hidup Mila. Sedangkan dua anak laki-laki di rumah itu punyak kehidupan sendiri-sendiri. Gilang kuliah, sambil menekuni hobinya balap motor, dan yang paling kecil sekolah dan les ini itu agar menambah prestasi akademik. Bu Inah sudah mendapatkan perawat baru. Tugasnya mengurusi kebutuhan sehari-hari wanita tua itu. Sudah bertahan sebulan lebih dan belum menunjukkan tanda-tangan perawat tersebut minta berhenti. Sebab tiada hari tanpa hardikan dari bibir orang tua itu meski yang merawatnya sudah bekerja sebaik mungkin. “Puih! Makanan encer gini kamu kasih saya, tawar, nggak ada rasa sama sekali!” Mama Dika meludahi bubur yang baru disuapkan ke lantai. Lekas saja perawat itu membersihkannya dengan kain lap. “Bawakan saya makanan yang manis-manis,” perintahnya lagi. “Ngg
Mila baru saja menerima sisa bonus pembelian rumah secara cash. Jumlah yang cukup membuat matanya berbinar. Sangat berguna untuk menopang kehidupannya selama beberapa minggu ke depan, atau mungkin beberapa hari saja mengingat uang kuliah dan kebutuhan pribadinya habis juga. Gadis manis itu hanya bersyukur masih bisa mendapatkan uang secara halal di tengah himpitan ekonomi yang makin lama makin terasa menyesakkan dada. “Belikan bakso aja, ya untuk orang-orang di rumah,” gumam Mila sendirian. Kemudian ia starter hondanya dan menuju tempat bakso langganannya. Keadaan lalu lintas yang belum terlalu macet, karena jam pulang kerja masih beberapa jam kemudian. Dua orang yang menggunakan motor dengan kecepatan cukup tinggi mengikuti Mila dari belakang. Gadis itu memberikan jalan agar mereka bisa lebih dahulu. Namun, nyatanya dua orang tersebut hanya mengikutinya dari belakang saja. Tak ingin curiga berlebihan, Mila terus melajukan motornya sampai di gerobak bakso langganannya. Kunci motor
“Hah, dijemput?” Mila berbicara sendirian ketika membaca pesan dari Satria. Pria itu memang diperintahkan untuk mengantar dan menjemput sang putri atas perintah Nyonya Besar. Tanpa menunggu jawaban dari gadis manis itu, Satria sudah mengatakan otw. Tak dijemput di depan rumah melainkan di gang menuju kediaman Amel. Sebab mantan istri Dika pernah bilang tak mau melihat wajah pria muda itu lagi. Gadis manis dengan lesung pipi di sebelah kiri itu berpamitan pada mamanya. Sebelum benar-benar pergi, Amel mengingatkan putrinya agar menimbang kembali keputusan untuk menjaga orang yang sudah sepuh. Tak jarang semakin bertambah usia dan uban, perangai bukannya semakin lembut tapi semakin tak bisa diberi tahu dan selalu merasa benar. Mila hanya meyakinkan ia bisa melewati semuanya demi kehidupan di rumah itu berjalan lebih baik. “Jalan kaki, Nak?” tanya Camelia pada putrinya. “Iya, mana tahu Mama mau pakai motor, kan, pulangnya deket-deket kuliah. Kalau nggak sempat pulang Mila langsung k
Mila dalam setengah hari saja sudah bisa mengakrabkan diri dengan pemilik sesungguhnya rumah mewah tempatnya bekerja. Gadis manis itu tak henti-hentinya mengajak wanita yang ia panggil oma tersebut untuk berbicara. Bu Inah menyambutnya dengan antusias. Ia tak lagi merasa kesepian hari itu. Perawat profesional yang telah dipekerjakan jauh-jauh hari tidak dipecat. Melainkan dibiarkan untuk mengawasi mama Dika, di luar hal-hal yang luput dari jangkauan Mila.“Tas kamu, sepertinya sudah lusuh ya, Nak. Tidak pernah beli baru atau bagaimana?” tanya Oma ketika baru saja selesai makan siang. “Iya, memang bukan masuk barang-barang penting. Selagi talinya nggak putus, ya, nggak beli baru, Oma. Uangnya, kan, bisa dipakai untuk yang lain,” jawab gadis itu. Di dalam kamar Oma, ia berani membuka jilbab segi empatnya. Namun, melangkah dari pintu saja sudah ia kenakan, sebab di ruang tamu ada Dika yang menghidupkan televisi dengan suara kecil. Lelaki itu tak bernia