"Silakan duduk." Wanita berhijab modern itu mempersilahkan. Aku pun menjatuhkan bobot tubuh ke kursi yang berseberangan dengannya.
"Ada perlu apa Anda ingin bertemu?" tanyaku tanpa basa-basi."Tinggalkan Mas Haris, sebelum lukamu semakin parah. Ada jalan lain yang bisa kamu lalui untuk menggapai surga, kan?" ucapnya lagi.Dahiku mengernyit mendengar penuturannya. Begitu yakin dan percaya diri. Namun, aku tak boleh terpancing emosi dan bersikap normal agar tahu mengapa dia bersikap seperti itu."Apakah ibadah yang lainnya sangat berat, hingga kamu menempuh dengan jalan pintas? Atau kamu ingin menunjukkan kalau kamu itu wanita baik dan hebat? Dan ingin membuat seorang Rindu terlihat buruk di mata masyarakat? Dituduh perebut suami orang, begitu?" cerocos wanita yang sebentar lagi akan dihalalkan Mas Haris itu."Seribu satu wanita yang dengan iklhas dimadu. Sayangnya yang satu itu bukan aku. Ucapanmu tentangku tak semuanya benar." Aku menghela napas, agar emosi yang semakin membuncah ini bisa terkendali. Apa ini sebuah lelucon? Dia yang masuk ke rumah orang, dia juga yang menuduh tuan rumah berbuat macam-macam.Wanita itu tersenyum miring mendengar penuturanku. Pandangannya beralih ke tempat lain, seolah meremehkan ucapanku."Jadi, apa ada lagi yang hendak Anda bicarakan? Kalau tidak, aku akan segera pergi.""Anakku sangat dekat dengan Mas Haris, jadi bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkannya. Utuh! Dengan atau tanpa persetujuan darimu. Terima kasih telah memberi pilihan pada Mas Haris, kupastikan dia akan memilihku. Secara bibit, bebet dan bobot, aku lebih unggul," ujarnya jumawa."Udah itu saja?" Wanita dengan dandanan paripurna itu menatapku kesal. Sepertinya dia belum puas membahas tentang dirinya dan membanggakannya padaku."Tentu masih banyak yang harus kita bicarakan. Bagaimanapun juga, kita menyukai lelaki yang sama.""Ambil dia. Utuh! Kalau dia mau!" tegasku. "Terima kasih untuk undangannya." Setelah berucap aku pun segera bangkit dan beranjak dari tempat tersebut.Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba ada niat untuk mampir ke rumah bapak. Mumpung sudah keluar rumah. Tak lupa mengirim pesan pada Mas Haris, walaupun sebenarnya enggan. Bagaimanapun juga saat ini dia masih sah suamiku, jadi izin darinya sangatlah perlu. [Urusan dengan temanku sudah selesai. Aku ingin ke rumah Bapak] terkirim dan langsung centang biru. Sepertinya dia tidak sedang sibuk hingga langsung bisa membalas. Saat ini dia sedang mengetik.[Jangan sekarang. Nanti kita sama-sama ke rumah bapak] balasnya.[Mumpung aku sedang di luar] [Aku bilang tidak, ya tidak!] Aku enggan membalas lagi. Selalu saja seperti itu. Ucapannya adalah suatu perintah yang harus dituruti. Harus![Nyia ... mengertilah, aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpamu. Perjalanan ke rumah bapak itu jauh. Aku janji, Minggu besok kita berkunjung ke sana. Kalau urusan dengan temanmu sudah selesai. Lebih baik kamu hubungi Sinta, dia kan bisa menemanimu jalan-jalan] pesannya lagi. Begitulah Mas Haris, selalu memberi keputusan sepihak tanpa menanyakan apa yang aku inginkan. Setelah itu dia berusaha membujuk seolah sikapnya sudah benar. Walaupun sedang sakit hati, aku tetap mengikuti perintahnya, jangan sampai dikutuk malaikat selama perjalanan karena tak mendapat restu suami. Aku pun berbalik arah, kembali melewati jalanan tadi. Baru beberapa saat berkendara. Aku melihat Sinta dari arah berlawanan. Kuperlambat laju kendaraan setelah Sinta berbelok ke kafe tempatku bertemu Rindu. Karena penasaran, aku memutuskan untuk memata-matai. Setelah memarkirkan motor di depan minimarket, aku langsung berjalan menuju kafe. Beruntung Hoodie ini kulepas saat menemui Rindu tadi, jadi sekarang bisa untuk menyamarkan diri.Bibirku mengulum senyum setelah melihat Sinta tengah bercengkrama dengan Rindu. Ah, aku lupa, bukannya mereka memang berteman? Dengan mudah aku bisa duduk di kursi tak jauh dari mereka. Dari sini aku bisa dengan leluasa mengamati sahabat dan wanita yang menginginkan suamiku itu. Suasana kafe yang tenang, membuatku bisa mendengar perbincangan mereka."Jadi Tania memohon padamu untuk segera menikah dengan Mas Haris?" tanya Sinta. Membuatku dahiku mengernyit."Iya, Sin. Benar katamu, Tania itu wanita tamak. Dia tadi meminta beberapa uang padaku karena sudah mengizinkan Mas Haris menikahiku.""Hah?"Tak hanya Sinta, aku pun tercengang mendengar penuturan Rindu. Bisa-bisanya dia memfitnahku seperti itu. Memang apa tujuannya? Apa untungnya?"Serius kamu, Rin? Terus kamu kasih?""Iya lah, Sin. Dia maksa, kalau aku gak kasih uang, dia gak ngizinin kami menikah.""Ya Allah, Tania benar-benar keterlaluan. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk dicarikan madu. Dan kamu adalah kriteria yang diinginkannya. Aku benar-benar ndak nyangka dia berbuat seperti itu. Maafkan aku ya, Rin. Sudah membawamu pada masalah ini."Kali ini tak hanya mataku yang melotot, mulutku pun langsung terbuka setelah mendengar ucapan Sinta. Ada apa dengan Sinta? Mengapa dia bisa berkata seperti itu?"Nggak pa-pa, Sin. Untung Aurel menyukai Mas Haris, jadi bagiku itu gak masalah.""Maaf ya, Rin. Memang seperti itu karakter Tania. Mangkanya aku tuh kasihan sama Mas Haris. Dia itu sering berkeluh kesah padaku mengenai sikap Tania yang katanya semaunya sendiri itu."Sinta menjeda kalimatnya, sahabatku itu tengah menyeruput jus alpukat di depannya. Sementara, aku mati-matian meredam emosi. Sungguh, ini adalah kejutan yang sebenarnya. Sejak kapan Sinta bersikap seperti itu? Sahabat seperti apa yang mampu memfitnah sahabatnya sendiri. Untuk apa?"Pesanku ya, Rin. Kamu hati-hati sama Tania, dia itu pandai bersilat lidah. Hati-hati saja pokoknya. Tania itu suka mengadu domba, toxic people. Dia bisa pura-pura baik di depanmu, sementara dibelakang dia menikam," sungutnya menggebu-gebu."Oh, pantesan. Kasihan Mas Haris ya, Sin. Padahal dia itu lelaki baik. Aurel aja langsung lengket dengannya. Jarang-jarang loh, dia kayak gitu.""Iya, Rin. Kasihan Mas Haris. Dulu dia itu lelaki yang tegas, tapi semenjak menikah dengan Tania dia jadi suami yang takut sama istri. Sebenarnya aku juga sudah menyarankan dia untuk rukyah, siapa tahu kan si Tania itu memakai jampi-jampi."Mataku memejam mendengar semua yang diucapkan Sinta. Sungguh fitnah yang sangat kejam."Wah, benar itu, Sin. Nanti lah, kalau aku sudah menikah dengannya, 'kan kubawa dia berobat.""Iya, aku setuju.""Sin, aku boleh minta tolong? Tolong bujuk Mas Haris agar mau menceraikan Tania sebelum menikah denganku. Aku takut Tania menyebarkan fitnah mengatakan kalau aku ini pelakor. Hal seperti itu sudah banyak terjadi kan? Aku tak mau itu. Aku ini wanita terhormat, Sin. Dan, kalau berhasil, aku akan memberimu hadiah. Apapun yang kamu mau."Aku masih diam sambil terus beristighfar, agar emosi dalam hati ini tak sampai meledak. Cukup tahu, jika orang yang kuanggap sahabat bukanlah orang yang tepat. Jadi, apa yang dicurigai Mas Wisnu selama ini ternyata benar.Aku urung beranjak ketika Sinta memberi usul untuk menelpon Mas Haris dan memintanya datang. Sinta terpekik setelah menghubungi Mas Haris. "Dia bisa datang, Rin!" Nampak jelas rona kebahagiaan di wajahnya.Iseng aku mengirim pesan pada Mas Haris. Memintanya menjemput dengan beralasan jika ban motorku kempes. Aku hanya ingin memastikan, apa dia patut dipertahankannya apa tidak. Pesanku langsung dibaca, namun tak terlihat dia mengetik. Aku masih sabar menunggu balasan dari Mas Haris, kira-kira apa yang hendak dikatakannya. Sementara Sinta dan Rindu nampak riang menunggu kedatangan Mas Haris. [Aku sibuk, Nyia. Sebentar lagi rapat. Kamu pesan ojol aja, sekalian minta antar ke bengkel] balasnya setelah cukup lama. Aku mengangguk-angguk setelah membaca pesannya. Sudah jelas, putusan apa yang harus kuambil."Mas Haris kok lama ya, Sin? Bukannya kantornya dekat dari sini?" ucap Rindu, sepertinya dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan suami orang."Barusan dia chat aku, katanya sudah ot
"Mas, bisa jelasin semuanya?" Rindu menodong penjelasan pada calon suaminya."Dek Rindu, ini tidak seperti yang dikatakan Tania. Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu dan Aurel." Mas Haris berucap sambil memegang kedua pundak Rindu.Aku hampir kelepasan tawa ketika mendengar panggilan mesranya."Kamu memang yang terbaik, Mas. Aku semakin mantap untuk menikah denganmu," sahut Rindu dengan mata berbinar."Jadi, nunggu apa lagi? Silakan angkat kaki dari rumahku!" tegasku."Dengan senang hati, Tania. Kuharap kamu tidak menyesali semua ini." Dengan percaya diri, Mas Haris menggandeng tangan mulus Rindu, setelah itu mereka berjalan beriringan menuju luar yang diikuti oleh Sinta."Apa-apaan kamu, Nyia?!" seru seseorang dari arah depan. Membuat langkah ketiga orang itu berhenti.Dahiku mengernyit melihat kedatangan wanita baya tersebut. Dari mana mantan mertuaku itu bisa tahu? "Ibu?" Mas Haris menyongsong kedatangan orang tuanya. Begitu juga dengan Sinta si pencari muka. Sementara Rin
Sambil menunggu balasan pesan dari Mas Wisnu, aku membuka lemari untuk mengambil berkas-berkas penting yang kupunya. Aku harus memikirkan cara bagaimana mengungkap dan memberi pelajaran yang setimpal pada Mas Haris. Sertifikat rumah ini disimpan bapak, bagaimana bisa Mas Haris mendapatkannya. Benar-benar tidak beres.Kegiatanku terhenti ketika notifikasi di ponsel berbunyi. [Selamat menikmati menjadi gembel, Nyia. Makanya jadi wanita jangan sok! Sekarang rasakan akibatnya] Bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kutatap barisan huruf itu kubaca berulang kali. Dari gaya menulisnya, sepertinya aku tahu siapa pengirimnya. Namun, aku memilih abai. Sekali lagi kuteguhkan hati, tak perlu meladeni manusia toxic seperti itu.Notif baru muncul, pesan dari Mas Wisnu masuk. Aku segera menggeser layar ponsel dan membaca pesannya. [Aku sudah sampai, langsung masuk apa nunggu di luar?]Gegas kuketik balasan [Tunggu di luar saja, Mas] terkirim dan langsung terbaca. Sedetik kemudian emot jempol ma
Aku mengurungkan apa yang hendak kukatakan pada Mas Wisnu. Lelaki itu pun sepertinya tidak begitu merespon ucapanku tadi.Selesai makan, kami langsung meluncur ke rumah bapak. Saat ini pikiran ini sibuk merangkai kata yang akan kusampaikan pada bapak nanti. Hingga tak sadar sudah sampai di halaman rumah bapak."Kok nggak sama Haris?" tanya bapak setelah aku menyalaminya. "Mas Haris sibuk, Pak," sahutku asal. Mungkin saja kan dia sedang sibuk. Sibuk dengan calon istrinya.Setelah itu bapak mengajak Mas Wisnu masuk. Lelaki berwajah manis itu pun menurut. Belum juga air yang kumasak mendidih, bapak memanggil. "Nyia, Nak Wisnu mau balik!" Aku pun segera ke depan. "Nunggu kopinya jadi, Mas. Airnya udah hampir mendidih.""Ntar kesorean, Nyia. Keburu anak-anak tutup," sahut lelaki berambut ikal itu.Mas Wisnu punya sebuah bengkel, itulah pekerjaannya. Aku senang saja melihat orang yang punya usaha sendiri, walaupun kecil
[Suami yang mau menikah lagi, sepupu yang dimusuhi. Hadeh] chat Nina di grup warga. [Sabar Mbak Sinta. Orang baik pasti bertemu dengan orang baik][Eh, keluarkan saja si Tania. Dia juga sudah bukan warga sini. Bikin gaduh aja]Setelah itu beberapa tag memanggil namaku bertebaran di grup tersebut. Bahkan ada yang japri. Mereka rata-rata menanyakan kebenaran berita tersebut. Namun, ada juga yang menghujat. Mereka yang menghujat adalah para bestienya Sinta. Sifatnya ya setali tiga uang dengannya.Bapak kembali dari musolah tak sendiri. Dia datang bersama dengan seorang lelaki muda."Nyia, bikinin kopi," titah bapak setelah aku menjawab salamnya. Kopi adalah hal yang wajib disuguhkan pada setiap tamu yang datang ke rumah."Nyia, ini Nak Eko. Dia ini bekerja di polres. Tadi bapak sudah menceritakan semuanya padanya. Kata Nak Eko, kasusnya bisa dilaporkan sebagai penipuan.""Pak, yang di foto itu memang benar aku, tadi Mas Ha
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di rumah yang tiba-tiba sudah bukan milikku. Bersamaan dengan sebuah mobil yang sepertinya juga hendak ke rumah ini."Maaf, Bu Tania. Kuncinya sudah kami ganti," ucap Rendra setelah dia turun dari mobil. Di belakangnya Ajeng nampak sungkan. Padahal aku belum sempat membuka kuncinya."Gak pa-pa, itu hak kalian," sahutku sambil sedikit menepi, memberi mereka tempat untuk membuka gembok. Kami masuk beriringan setelah pintu pagar terbuka. Tak ada obrolan, karena aku malas untuk sekedar basa-basi.Tujuanku langsung ke kamar, semua masih sama seperti kemarin. Aku pun mulai membuka lemari dan mengeluarkan semua pakaian. Aku takkan membawanya pulang, rencananya aku akan langsung membawa baju-baju ini ke panti. Semuanya ada empat koper.Setelah itu aku melangkah ke dapur. Di ruangan favoritku itu ada Rendra dan Ajeng, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. "Aku akan mengambil beberapa alat masak kesayangan," ujarku
Pov Wisnu"Kamu apa-apaan, Sin?! Bikin malu saja! Kamu sendiri yang tadi menyuruhku membantu Tania karena dia mau pindah. Kamu juga yang bikin heboh! Sampai kapan kamu mengusik kehidupan Tania, Sinta?!" Semakin hari, sikap Sinta membuatku senewen. Hampir semua ucapannya jauh dari kenyataan. "Kamu kenapa sih, Mas? Marah-marah gak jelas! Tugasmu itu hanya menuruti permintaanku, udah itu saja! Ndak usah protes! Ingat siapa yang membantumu hingga bisa seperti sekarang!" Selalu itu saja yang dijadikannya senjata untuk melemahkanku. Namun, kali ini Sinta benar-benar keterlaluan. Bodohnya aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak setiap keinginannya. Ibu, ibu adalah alasan Sinta untuk lebih mengikatku. Wanita yang telah melahirkanku itu sangat mencintai Sinta, karena Sinta memperlakukannya dengan baik dan loyal. Walaupun kutahu semua itu hanya sandiwara. "Berhenti melakukan hal yang gak baik, Sin. Kita jalani hidup ini dengan sewajarnya. Jangan lagi
Kabar begitu cepat tersebar. Kedua mertuaku begitu murka melihat anaknya seolah tak berdaya. Sumpah serapah keluar dari mulut ibu mertua. Namun, Sinta kembali beraksi. Dia dengan air mata yang menganak sungai di pipi, mati-matian membelaku. Mengatakan bahwa semua ini salah Tania.Mas Haris dan calon istrinya juga datang, lelaki yang kuanggap seperti saudara itu menghadiahiku sebuah bogem mentah, tepat di wajah. Membuat cairan hangat dan kental keluar dari hidungku yang sepertinya patah."Bang sat! Tega kamu menyakiti Sinta!" murkanya. Kembali sebuah bogem dia lepaskan. Semua menjerit, Sinta dengan tubuh yang seolah rapuh menahannya, kemudian memelukku yang kepayahan.Ekor mataku menatap ibu yang tengah meringkuk di sudut ruangan. Wanita itu merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan."Mas Wisnu tidak bersalah, Mas. Ini memang salahku, terlalu percaya dengan Tania. Aku memang sering meminta Mas Wisnu saat Tania butuh teman dan aku tak bisa. Tak