Share

Tiga

"Silakan duduk." Wanita berhijab modern itu mempersilahkan. Aku pun menjatuhkan bobot tubuh ke kursi yang berseberangan dengannya.

"Ada perlu apa Anda ingin bertemu?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Tinggalkan Mas Haris, sebelum lukamu semakin parah. Ada jalan lain yang bisa kamu lalui untuk menggapai surga, kan?" ucapnya lagi.

Dahiku mengernyit mendengar penuturannya. Begitu yakin dan percaya diri. Namun, aku tak boleh terpancing emosi dan bersikap normal agar tahu mengapa dia bersikap seperti itu.

"Apakah ibadah yang lainnya sangat berat, hingga kamu menempuh dengan jalan pintas? Atau kamu ingin menunjukkan kalau kamu itu wanita baik dan hebat? Dan ingin membuat seorang Rindu terlihat buruk di mata masyarakat? Dituduh perebut suami orang, begitu?" cerocos wanita yang sebentar lagi akan dihalalkan Mas Haris itu.

"Seribu satu wanita yang dengan iklhas dimadu. Sayangnya yang satu itu bukan aku. Ucapanmu tentangku tak semuanya benar." Aku menghela napas, agar emosi yang semakin membuncah ini bisa terkendali. 

Apa ini sebuah lelucon? Dia yang masuk ke rumah orang, dia juga yang menuduh tuan rumah berbuat macam-macam.

Wanita itu tersenyum miring mendengar penuturanku. Pandangannya beralih ke tempat lain, seolah meremehkan ucapanku.

"Jadi, apa ada lagi yang hendak Anda bicarakan? Kalau tidak, aku akan segera pergi."

"Anakku sangat dekat dengan Mas Haris, jadi bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkannya. Utuh! Dengan atau tanpa persetujuan darimu. Terima kasih telah memberi pilihan pada Mas Haris, kupastikan dia akan memilihku. Secara bibit, bebet dan bobot, aku lebih unggul," ujarnya jumawa.

"Udah itu saja?" 

Wanita dengan dandanan paripurna itu menatapku kesal. Sepertinya dia belum puas membahas tentang dirinya dan membanggakannya padaku.

"Tentu masih banyak yang harus kita bicarakan. Bagaimanapun juga, kita menyukai lelaki yang sama."

"Ambil dia. Utuh! Kalau dia mau!" tegasku. "Terima kasih untuk undangannya." Setelah berucap aku pun segera bangkit dan beranjak dari tempat tersebut.

Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba ada niat untuk mampir ke rumah bapak. Mumpung sudah keluar rumah. Tak lupa mengirim pesan pada Mas Haris, walaupun sebenarnya enggan. Bagaimanapun juga saat ini dia masih sah suamiku, jadi izin darinya sangatlah perlu. 

[Urusan dengan temanku sudah selesai. Aku ingin ke rumah Bapak] terkirim dan langsung centang biru. Sepertinya dia tidak sedang sibuk hingga langsung bisa membalas. Saat ini dia sedang mengetik.

[Jangan sekarang. Nanti kita sama-sama ke rumah bapak] balasnya.

[Mumpung aku sedang di luar] 

[Aku bilang tidak, ya tidak!] 

Aku enggan membalas lagi. Selalu saja seperti itu. Ucapannya adalah suatu perintah yang harus dituruti. Harus!

[Nyia ... mengertilah, aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpamu. Perjalanan ke rumah bapak itu jauh. Aku janji, Minggu besok kita berkunjung ke sana. Kalau urusan dengan temanmu sudah selesai. Lebih baik kamu hubungi Sinta, dia kan bisa menemanimu jalan-jalan] pesannya lagi. 

Begitulah Mas Haris, selalu memberi keputusan sepihak tanpa menanyakan apa yang aku inginkan. Setelah itu dia berusaha membujuk seolah sikapnya sudah benar. Walaupun sedang sakit hati, aku tetap mengikuti perintahnya, jangan sampai dikutuk malaikat selama perjalanan karena tak mendapat restu suami. 

Aku pun berbalik arah, kembali melewati jalanan tadi. Baru beberapa saat berkendara. Aku melihat Sinta dari arah berlawanan. Kuperlambat laju kendaraan setelah Sinta berbelok ke kafe tempatku bertemu Rindu. 

Karena penasaran, aku memutuskan untuk memata-matai. Setelah memarkirkan motor di depan minimarket, aku langsung berjalan menuju kafe. Beruntung Hoodie ini kulepas saat menemui Rindu tadi, jadi sekarang bisa untuk menyamarkan diri.

Bibirku mengulum senyum setelah melihat Sinta tengah bercengkrama dengan Rindu. Ah, aku lupa, bukannya mereka memang berteman? 

Dengan mudah aku bisa duduk di kursi tak jauh dari mereka. Dari sini aku bisa dengan leluasa mengamati sahabat dan wanita yang menginginkan suamiku itu. Suasana kafe yang tenang, membuatku bisa mendengar perbincangan mereka.

"Jadi Tania memohon padamu untuk segera menikah dengan Mas Haris?" tanya Sinta. Membuatku dahiku mengernyit.

"Iya, Sin. Benar katamu, Tania itu wanita tamak. Dia tadi meminta beberapa uang padaku karena sudah mengizinkan Mas Haris menikahiku."

"Hah?"

Tak hanya Sinta, aku pun tercengang mendengar penuturan Rindu. Bisa-bisanya dia memfitnahku seperti itu. Memang apa tujuannya? Apa untungnya?

"Serius kamu, Rin? Terus kamu kasih?"

"Iya lah, Sin. Dia maksa, kalau aku gak kasih uang, dia gak ngizinin kami menikah."

"Ya Allah, Tania benar-benar keterlaluan. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk dicarikan madu. Dan kamu adalah kriteria yang diinginkannya. Aku benar-benar ndak nyangka dia berbuat seperti itu. Maafkan aku ya, Rin. Sudah membawamu pada masalah ini."

Kali ini tak hanya mataku yang melotot, mulutku pun langsung terbuka setelah mendengar ucapan Sinta. Ada apa dengan Sinta? Mengapa dia bisa berkata seperti itu?

"Nggak pa-pa, Sin. Untung Aurel menyukai Mas Haris, jadi bagiku itu gak masalah."

"Maaf ya, Rin. Memang seperti itu karakter Tania. Mangkanya aku tuh kasihan sama Mas Haris. Dia itu sering berkeluh kesah padaku mengenai sikap Tania yang katanya semaunya sendiri itu."

Sinta menjeda kalimatnya, sahabatku itu tengah menyeruput jus alpukat di depannya. Sementara, aku mati-matian meredam emosi. Sungguh, ini adalah kejutan yang sebenarnya. Sejak kapan Sinta bersikap seperti itu? Sahabat seperti apa yang mampu memfitnah sahabatnya sendiri. Untuk apa?

"Pesanku ya, Rin. Kamu hati-hati sama Tania, dia itu pandai bersilat lidah. Hati-hati saja pokoknya. Tania itu suka mengadu domba, toxic people. Dia bisa pura-pura baik di depanmu, sementara dibelakang dia menikam," sungutnya menggebu-gebu.

"Oh, pantesan. Kasihan Mas Haris ya, Sin. Padahal dia itu lelaki baik. Aurel aja langsung lengket dengannya. Jarang-jarang loh, dia kayak gitu."

"Iya, Rin. Kasihan Mas Haris. Dulu dia itu lelaki yang tegas, tapi semenjak menikah dengan Tania dia jadi suami yang takut sama istri. Sebenarnya aku juga sudah menyarankan dia untuk rukyah, siapa tahu kan si Tania itu memakai jampi-jampi."

Mataku memejam mendengar semua yang diucapkan Sinta. Sungguh fitnah yang sangat kejam.

"Wah, benar itu, Sin. Nanti lah, kalau aku sudah menikah dengannya, 'kan kubawa dia berobat."

"Iya, aku setuju."

"Sin, aku boleh minta tolong? Tolong bujuk Mas Haris agar mau menceraikan Tania sebelum menikah denganku. Aku takut Tania menyebarkan fitnah mengatakan kalau aku ini pelakor. Hal seperti itu sudah banyak terjadi kan? Aku tak mau itu. Aku ini wanita terhormat, Sin. Dan, kalau berhasil, aku akan memberimu hadiah. Apapun yang kamu mau."

Aku masih diam sambil terus beristighfar, agar emosi dalam hati ini tak sampai meledak. Cukup tahu, jika orang yang kuanggap sahabat bukanlah orang yang tepat. Jadi, apa yang dicurigai Mas Wisnu selama ini ternyata benar.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dan si tsnia tolol dungin bin lemot msh aja menye2 sok jaim. matilah kau dg semua kelemotan mu tania. untung wanita dungu kayak kau ini cuma nyampah di dalam cerita
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ternyata Sinta sahabat muka dua
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status