Share

Dua

"Ibu menyetujuinya?" Aku bertanya dengan sisa-sisa tenaga, terdengar lirih hampir mirip seperti bisikan.

Bergantian aku menatap ibu dan Sinta. Ada apa dengan wanita -wanita ini? Terbuat dari apa hati mereka? Hingga menganggap semua yang kualami adalah kewajaran. Aku tahu jika poligami itu sunnah. Namun, tak semudah itu untuk menjalaninya.

Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda itu menghela napas. "Semua terserah Haris, Nyia. Dia lelaki dan berhak memutuskan. Yang penting dia bisa berbuat adil. Udah itu aja. Sebagai istri harus manut sama suami. Toh, dia tetap menjadi suamimu kan?" ujarnya enteng, seolah itu adalah hal sepele.

"Apa ini karena aku belum hamil, Bu? Apa Ibu dan keluarga menekan Mas Haris untuk menikah lagi?" Entah mendapat keberanian dari mana aku bisa mengucapkannya.

Ibu menautkan kedua alisnya, setelah itu dia berdecak. "Sudahlah, Nyia. Ibu gak mau terlalu ikut campur. Lagian, keluarga wanita itu—"

"Namanya Rindu," sahut Sinta memotong ucapan ibu. Sinta tersenyum kikuk ketika tatapan kami bertemu.

"Rindu itu dari keluarga baik-baik. Sudah banyak lelaki yang ingin menikahinya, tapi ditolak karena ndak cocok sama anaknya. Pas ketemu sama Haris, anaknya itu langsung lengket. Anggap aja itu sebagai pertanda kalau mereka berjodoh." Lancar sekali ibu mengatakannya. Seolah mereka sudah saling mengenal.

"Sudahlah, ndak usah diperpanjang lagi. Tenangkan dirimu, tunjukkan kalau kamu itu wanita hebat. Bisa menjalani sunah yang orang lain belum tentu bisa menjalaninya," imbuhnya sebelum melangkah pergi. Aku lebih baik memilih menjadi wanita biasa daripada menjadi wanita hebat, tapi memendam lara.

Sinta menahan tubuhku yang hendak luruh, tenagaku benar-benar hilang. Perlahan Sinta memapahku ke ranjang.

"Sabar, Nyia. Sabar," hiburnya sambil mengelus punggungku setelah kami duduk bersisihan.

Tak henti-hentinya hati ini beristighfar, berharap sesak ini segera sirna. "Aku mau pulang, Sin," ucapku memecah kebisuan setelah beberapa saat dalam keheningan.

Aku segera bangkit setelah memesan ojek online.

"Biar diantar Mas Wisnu, ya," sahutnya sambil memegang lenganku.

"Gak usah." Aku pun segera berlalu setelah melepaskan tangannya yang memegang lenganku.

Sengaja memilih pintu samping agar tak melewati beberapa kerabat yang sudah datang. Sekilas ekor mataku melihat Mas Haris, dia tengah bercengkrama dengan para lelaki. Tak ada niat untuk berpamitan. Saat ini aku benar-benar marah padanya.

"Mau kemana?"

Aku berhenti melangkah setelah seseorang mencekal lenganku. Tanpa menoleh aku sudah tahu siapa yang bertanya.

"Pulang," sahutku datar.

"Nanti kita pulang sama-sama." Dari suara langkahnya, aku tahu jika Mas Haris mendekat.

"Nyia, tolonglah. Jangan seperti ini." Lelaki itu memohon sambil menggenggam kedua tanganku.

"Biarkan aku pulang. Itu lebih baik buatku!" tegasku tanpa mengalihkan tatapan padannya.

Mas Haris menghela napasnya. "Nyia—" Lelaki itu tak melanjutkan ucapannya setelah sebuah mobil memasuki halaman. Aku belum pernah melihat mobil itu, sepertinya bukan kerabat ibu mertua.

"Tunggu di sini, nanti aku antar pulang," titah Mas Haris, setelah seorang wanita turun dari mobil yang barusan datang.

"Gak usah, aku bisa pulang sendiri. Temui saja wanita itu."

Lagi-lagi Mas Haris menghela napasnya, setelah itu dia beranjak pergi. Bersamaan dengan itu, terdengar notifikasi di ponselku. Aku segera bergegas karena ojek online yang kupesan sudah sampai di depan.

**

Sampai rumah aku langsung duduk di sofa ruang tengah, tempat dimana biasanya aku dan Mas Haris berbagi cerita. Memindai setiap sudut ruangan yang biasanya selalu hangat jika kami bersama.

Pandanganku terpaku pada foto pernikahan yang menempel di dinding. Tanpa sadar bibir ini tersenyum walaupun hanya sekejap. Air mata tumpah tanpa bisa kucegah, membayangkan rumah tangga yang kujalani akan berakhir dengan sia-sia.

Perlahan aku berbaring. Saat ini, tak hanya raga, pikiran pun terasa lela. Baru saja kepala ini menempel di bantal sofa, ponselku berdering. Tak ada niat untuk meraih benda pintar tersebut, enggan rasanya untuk sekedar melihat siapa yang menghubungi.

Sampai larut malam aku masih meringkuk di sofa. Memikirkan apa yang akan kulakukan seandainya terjadi perpisahan, dan jika memilih bertahan, apa aku bisa melewatinya? Mengapa sesakit ini, Tuhan?

Entah kapan diri ini terlelap, tiba-tiba terjaga saat merasa kedinginan. Ada yang nyeri di hati setelah menyadari jika aku masih di tempat semula. Apa Mas Haris tidak pulang?

Dengan malas aku bangun, setelah duduk sejenak untuk mengumpulkan sisa-sisa kesadaran aku pun beranjak ke kamar. Belum terjadi pernikahan keduanya saja, aku sudah merasakan sakit yang luar biasa, lalu apa yang akan terjadi jika pernikahan itu terlaksana?

Bibirku tersenyum piluh, setelah mendapati kenyataan jika Mas Haris tak pulang.

**

Sudah seminggu setelah kejadian itu, Sinta setiap hari datang ke rumah, mengajakku berbincang lebih tepatnya dia bertausia. Membicarakan dan menceritakan beberapa kenalannya yang sukses menjalani hidup berpoligami.

Sementara itu hubunganku dengan Mas Haris semakin buruk. Aku masih dalam keteguhan pilihan yang kuberikan padanya. Memilih aku apa wanita itu. Sementara dia bersikeras tak ingin melepasku. Sejak saat itu tak ada lagi kehangatan dalam rumah ini. Aku dan Mas Haris sama-sama menjaga ego. Bicara pun seperlunya saja.

"Hari ini kamu masak apa, Nyia?" tanya Sinta yang sudah ada di dapurku. Jarak rumahku dengannya memang tidak terlalu jauh, hanya terpisah tiga rumah.

"Oseng kangkung," sahutku tanpa menoleh.

"Nyia—"

"Sin, setelah ini aku akan pergi, jadi kalau ndak ada keperluan, lebih baik kamu pulang."

"Mau ke mana?" tanyanya. Membuatku menoleh.

"Ada lah ...," sahutku sekedarnya. Sejak dia mendukung Mas Haris, aku jadi malas berkeluh kesah dengannya. Jelas-jelas kami berseberangan pemahaman, jadi lebih baik menghindarinya.

"Sendirian?" tanya Sinta masih dengan perhatiannya. Layaknya seorang sahabat yang tak tega melihat sahabatnya terluka.

"Ndak, sama teman."

"Kutemani ya? Aku ndak tega kamu pergi sendirian." Sinta meraih tanganku yang tengah mengelap kompor. "Aku tahu saat ini kamu butuh teman untuk bercerita. Aku khawatir kamu bercerita dengan orang yang salah, bukannya memberi solusi, tapi makin memperkeruh masalahmu."

"Aku baik-baik saja, Sin. Kamu tenang saja."

"Tapi, Nyia—"

"Terima kasih untuk perhatianmu, Sin. Kamu benar, aku harus bercerita pada orang yang tepat. Dan aku percaya sama temanku yang satu ini."

"Baiklah, aku pulang dulu." Sepertinya dia mulai menyadari sikapku yang mulai menghindarinya.

Setelah kepergian Sinta, aku mulai bersiap untuk pergi. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan sebelum semua benar-benar usai.

Seseorang sudah duduk di sebuah kursi ketika aku baru saja masuk ke sebuah kafe. Aku menarik napas panjang sebelum kembali melangkah untuk menemuinya.

"Maaf, aku datang terlambat," ucapku membuatnya menoleh. Orang itu tersenyum lalu menerima uluran tanganku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Sinta sahabat kok tega begitu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status