Share

PART-TIME
PART-TIME
Penulis: Marianné

PROLOG: TRIO

   Sebenarnya, yang kami lakukan ini semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Dunia ini terlalu kejam, ya? Bagaimana bisa membuat murid Sekolah Menengah Atas seperti kami dipaksa mencari uang? Jika telah menikmati pekerjaan ini, apa semuanya menjadi salah kami lagi?

Ssstt!

   Tiba-tiba saja, seluruh kelas menjadi sangat hening. Suara sepatu berhak tinggi, suara penggaris besi yang sengaja diseret, dan juga siulan merdu dari opera ke-20 milik Tchaikovsky yang berjudul ‘Swan Lake’ yang berhasil membangunkan bulu kuduk seluruh siswa tahun kedua terdengar jelas dari arah lorong. Takkan ada yang tahu kemana tujuan akhir suara-suara itu. Yang pasti, mereka tahu jika ada tiga orang yang akan masuk ke salah satu kelas mereka. Bagi kelas manapun yang akan menjadi destinasi akhir mereka bertiga, maka bersiaplah untuk menjadi kelas selebritas saat jam istirahat pertama.

   Hening. Tiba-tiba saja menjadi sangat hening bagi kelas IPA dan SOSIAL. Itu berarti, mereka sedang berada di kelas BAHASA! Dan, helaan nafas lega dari kelas lain mulai bisa mereka dengar—murid kelas Bahasa.

   Kelas Bahasa, kelas yang hanya ada satu di setiap angkatannya. Murid di angkatan tahun kedua memiliki 20 siswi dan 20 siswa. Total ada 40 murid di dalam kelas ini.

   “Elena Yohanes,” panggil satu-satunya guru wanita diantara dua guru pria.

   Elena, gadis dengan baju seragam yang setengah keluar dan rambutnya yang ber-highlight abu-abu menjadi pusat perhatian satu kelas itu. Ia yang sibuk dengan ponselnya mendongak, “Oke.” Elena paham jika dirinya harus ikut bersama ketiga guru berseragam serba hitam tersebut.

   Ia berdiri dan berjalan ke depan kelas—tak lupa, ia akan selalu mengibaskan rambutnya itu kepada siapapun. “Seperti malaikat maut saja.” Gumamnya sengaja ketika melewati ketiganya. “Apa katamu?!” tanya Mrs. Helen tak terima. “Maksudku kalian sangat cocok dengan seragam itu,” balasnya diakhiri dengan tawa kecil mengejek. Gadis yang paling bermasalah di sekolah ini, semua orang juga setuju akan hal itu. Teguran yang sering diterimanya selalu tentang sikapnya.

   Murid kedua yang juga akan disidang pada pagi ini adalah Alan Kevin. Paras rupawan yang dimilikinya membuatnya dijuluki sebagai ‘bintang SMA Ki Hajar Dewantara’.

   “Apa aku dipanggil untuk menjadi model majalah sekolah?” tanyanya percaya diri. Kelebihannya hanya terletak pada paras wajahnya saja. Mr. Sam, guru dengan penggaris besi di tangannya, hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Alan. “Oke! Aku akan bekerja keras untuk hari ini.” Alan Kevin juga termasuk siswa paling bodoh di Ulangan Akhir Semester 1, dengan peringkat ke-40 dari 40 siswa. Siswa yang sangat pasif baik di kegiatan akademik maupun non-akademik. Dan dengan bodohnya ia berjalan riang keluar kelas. Benar-benar bodoh karena ia tak bisa membaca situasi saat ini, pikir seluruh murid di kelasnya.

   “Rivaldy Archer,” panggil Mr. Jo—guru tata tertib dengan ciri khas siulannya yang merdu. Rivaldy menatapnya tajam, “Apa lagi?” tanyanya tanpa ada rasa takut sedikitpun terlihat di mata kucingnya yang menatap lurus ke arah Mr. Jo. Ia menyunggingkan senyuman melihat tingkah satu-satunya murid yang berani menantangnya. “Ikut bersamaku,” jawab Mr. Jo santai.

   “Kalau aku tidak mau?”

   “Jangan memperkeruh suasana, ikut saja.”

   Drrk! Harus seberisik itu agar Mr. Jo paham akan kekesalan Rivaldy. Ia tak segan-segan menendang mejanya hanya untuk berdiri. “Aku tidak suka ada yang menghalangi jalanku, maaf untuk hal itu,” ujarnya santai dan mulai berjalan ke depan kelas.

   Rivaldy, siswa paling bermasalah nomor satu di SMA ini. Dengan fisiknya bak petinju itu banyak senior yang berlutut di depannya. ZZUT! WUSSH!

   “Gila, hampir saja!”

   “Refleks yang bagus, Ri!”

   “Bahkan Mr. Jo tak bisa menyentuhnya!”

   “Sebutan itu memang cocok untuknya, kan?”

   “GHOST!”

   Teman-teman sekelasnya yang sangat tertarik akan kehidupan Rivaldy sangat bersemangat membicarakannya saat ini. ‘GHOST’, julukan itu diberikan pada Rivaldy Archer dari senior tahun ketiga yang pernah bertarung dengannya.

   “Kau pikir aku tak bisa melihatmu, Mr. Jo?” ejek Rivaldy dalam posisinya yang membungkuk karena menghindari pukulan Mr. Jo yang dilayangkan dari arah belakangnya.

   BWUAHAHA!

   Tawa itu membuat Rivaldy kesal dan menoleh padanya. Kini, barulah ia sadari apa yang sebenarnya Mr. Jo inginkan, “Anak muda harus selalu membungkuk di depan orang yang lebih tua, kan?” tanya Mr. Jo. Grrt! Ia berdiri dan mendekati Mr. Jo.

   “Menghajarmu pun takkan ada untungnya bagiku.” Rivaldy benar-benar berdiri di depan hadapan Mr. Jo dengan menyaku kedua tangannya. Mereka yang memiliki tinggi badan yang sama membuat Rivaldy menganggap jika Mr. Jo adalah lawan yang tepat baginya.

   “Ikut aku, dasar berandal ini!” ujar Mr. Sam melerai keduanya dan membawa Rivaldy pergi dari kelasnya.

   Kepergian Mr. Sam dan ketiga berandalan kelas Bahasa membuat para siswa kelas Bahasa menghela nafas lega.

   “Untuk hari ini khusus persidangan tiga berandalan itu, jangan harap kalian yang hari ini juga melakukan pelanggaran akan kami ampuni begitu saja.” Kalimat Mrs. Helen itu merusak ketenangan yang baru saja para murid dapatkan. “Masih ada hari lain,” tambah Mrs. Helen.

   “Ya~”

   Tak seperti murid lainnya yang baru saja mengeluarkan bukunya. Gadis yang jadi pusst perhatian Mr. Jo itu telah sibuk sejak 30 menit yang lalu. Jari-jemarinya yang tak dapat lepas dari pena merahnya membuat seorang Mr. Jo takjub.

   “Maria Athena?” panggil Mr. Jo membuat Maria berhenti menulis. Tatapan risihnya menunjukkan ia tak suka diganggu diwaktu belajarnya. Bahkan posisinya tak berubah sama sekali, hanya tatapan matanya saja yang berpindah ke arah Mr. Jo. Melihat hal itu Mr. Jo tersenyum, “Lanjutkan saja, maaf menganggumu.”

   “Ya.” Singkat, padat, dan jelas. Sekaligus tak mau adanya perbincangan lebih lanjut bagi Maria.

   “Bisa-bisanya kau terus menatap bukumu saat ada perkelahian,” ujar teman di bangku sebelah Maria. Tak mendapat jawaban dari Maria, temannya menyerah untuk mengajaknya bicara. Gadis aneh yang sama sekali tak memiliki ekspresi dan perasaan. Tetapi, tak ada satu pun yang bisa merundung seorang Maria Athena.

   Kling! Klung! Pertanda jam pelajaran pertama akan dimulai. Pendidikan Kewarganegaraan, menjadi pelajaran yang pas dipagi hari. Walau pelajaran ini sangat berbobot, namun cara penyampaian Bu Rai sangatlah menyenangkan. Dan ibu guru cantik itu telah berada di depan pintu, menunggu Mrs. Helen dan Mr. Jo keluar.

   “Bu Rai sangat baik dan ramah, jika kalian tak serius saat jam pelajarannya maka tugasku untuk menghukum kalian.” Peringatan Mr. Jo bak ultimatum SMA Ki Hajar Dewantara. Setelah membuat para muridnya ketakutan, ia dan Mrs. Helen akhirnya pergi dari kelas. Bu Rai yang melihatnya membungkuk sebagai tanda terimakasih.

   SMA Ki Hajar Dewantara, sekolah dengan system terketat di Jakarta Selatan untuk saat ini. Semenjak kedatangan tiga guru dengan panggilan ‘Trio Pencabut Nyawa’ yang memang sangatlah pas untuk mereka. Parahnya, setiap guru memiliki caranya sendiri untuk menindas para berandalan agar kembali ke tugas dan tanggungjawabnya, yaitu belajar. Contohnya saja seperti saat ini.

   Sidang dimulai.

   “Memangnya ada ya pemotretan di ruang konseling?” gumam Al, Alan Kevin. “Oh, mungkin saja kita bertiga berpura-pura untuk disidang, haha,” lanjutnya tertawa tanpa dosa. Hal yang membuat Mr. Sam tertawa dengan puas untuk mengejeknya.

   “Untuk apa berpura-pura? Jika kalian bisa benar-benar melakukannya?”

   “Haha, sebenarnya aku tak paham kenapa aku juga harus ikut terlibat bersama dua berandalan ini, Mr. Sam,” ujar Al dengan kepolosannya yang sangat terkenal di konten daily vlog miliknya.

   Brak!

   Mr. Sam tak tahan mendengarnya.

   “Jijik sekali mendengar berandalan yang memalak adik tingkatnya bersikap sok polos begitu.”

   “A-apa maksud anda, Mr. Sam?”

   “Bukankah mereka yang kau palak sangat jijik setiap melihat wajahmu di mading?” Pernyataan ini membuat Al terdiam dan menatap tajam Mr. Sam. “Ya, ya! Benar begitu, Al! Buka saja topengmu, untuk apa kami mengasihani anak tanpa harapan sepertimu?” Terlalu kejam dan memang seperti itu ciri khas seorang guru tata tertib.

   Al meraih penggaris besi itu dan menghantamnya ke atas kepala Mr. Sam! Wajah yang rupawan itu telah dipenuhi oleh cipratan darah yang keluar dari kepala Mr. Sam. Penggaris besi itu menancap tepat di tengah kepala Mr. Sam. Alan Kevin, apa dia sangat menikmatinya?

   “Kau mau memukulnya, Al?” tanya Mr. Jo membuyarkan lamunannya. Haha, lucu sekali. Baru kali ini Al merasa harga diri yang telah dirinya bangun tinggi telah diinjak dari atas. Tak bisa, ia tak boleh terpancing.

   “Itu takkan pernah terjadi, Mr. Jo.” Jawaban Al yang diakhiri dengan senyuman kepalsuan sangat terlihat dipaksakan.

   “Kalau kau tak mau, aku saja.” Celetuk menantang dari seorang Rivaldy Archer. Ejekan yang tentunya membuat kepala Mr. Sam berkedut. Ia sudah siap memegang erat penggaris besinya dan menghembuskan nafas layaknya banteng dalam arena pertarungan.

   “Jika kau tak bisa lepas dari mainan besimu itu, maka situasinya akan jadi berbeda.” Elena yang tentunya berada di pihak temannya mulai membuat panas seisi ruangan. Sebenarnya, Mr. Sam dan Al itu sama sensitifnya. Tetapi, mereka memiliki perbedaan yang sangat kontras. “Elena benar, bagaimana jika jariku memencet tombol ini ya?” ancam Al tersenyum polos menunjukkan tombol ‘MULAI’ pada aplikasi streamingnya. “Itu akan benar-benar menjadi boomerang bagi anda, Mr. Sam,” tambah Al dengan santainya.

  “Cih.”

  “Alan Kevin, kau sangat pandai dalam menggunakan topengmu, ya?” tanya Mr. Jo mencairkan suasana. Mr. Jo juga mengakuinya. Mengakui perbedaan kontras antara Mr. Sam dan Al. “Karena para guru sudah menggunakan segala cara untuk membuatmu sadar akan pentingnya belajar,” Mr. Jo mulai bersandar pada punggung kursinya, “Kurasa itu tak mempan juga ya?” Pertanyaan Mr. Jo yang membuat senyum di wajah Al semakin merekah.

   Seakan berkata, ‘Jika ingin menghancurkan Raja, lewati dulu rakyatnya.’

   Ia yang telah percaya akan kalimat itu mulai merasa kalah telak saat Mr. Jo berkata, “Buah catur biasanya disebut dengan material, jika ingin memenangkan permainan catur kau harus punya material berkualitas tinggi kan?” Mr. Jo membalas senyuman palsu Al, “Apakah para material yang kau miliki menyukaimu dengan sepenuh hati? Berdasarkan ilmu matematika dan geometri papan catur, buah catur tertentu selalu lebih berharga daripada buah catur yang lain.”

   Mr. Jo mengeluarkan ponselnya dan menampilkan video Al yang tengah memalak juniornya. “Siapa? Siapa yang bisa merekamku sedekat itu?!” kesal Al melepas topengnya, “Jangan mngorbankan benteng bernilai tinggi hanya untuk mendapatkan kuda lawan,” celetuk Mr. Jo.

   Gibran? Pikir Al. Tak salah lagi, hanya Gibran yang selalu berada di sekitarnya. Tapi kenapa? Apa karena saat hari itu? Hari dimana Al kehabisan ide untuk kontennya. Ia mengirim pesan rasis pada senior tahun ketiga menggunakan ponsel Gibran. Dan alhasil, setelah Gibran dipukuli brutal oleh para senior disanalah Al ingin menunjukkan kekuatan koneksinya. Dengan streaming, para senior itu tak mau menjadi buronan polisi.

   “Al menyelamatkan teman yang sedang dalam masalah? Haha!” tawa Mr. Jo mengejek judul vlognya pada hari itu. “Ketampananmu itu tak bisa menyelematkanmu kali ini, Al.”

   “Pasti masih ada yang menyukaiku!” tegas Al.

   “Ya, mereka yang hanya menyukai parasmu. Mengerikan, bukan?” balas Mr. Jo,

   “Kau sangat pandai dalam hal memutar balikkan keadaan, Mr. Jo.”

   Celetuk Elena pedas.

   “Kau merasa tak nyaman, Elena?” tanya Mrs. Helen.

   “Aku tak berbicara padamu, Mrs. Helen.”

   “Tapi aku harus berbicara padamu, Ketua Geng Preman Wanita.”

   “Mereka yang mengikutiku, jadi aku tak bisa berbuat apa-apa pada mereka yang sangat menghormatiku.” Mrs. Helen tertawa “Menghormatimu, Elena? Pft! Mereka terpaksa saja karena tak ingin jadi korban perundung sepertimu, bocah!”  Itu benar-benar sangat menyebalkan.

   “Baiklah,” Mr. Jo bangun dari kursinya, “Hukuman kalian adalah mencapai nilai 8 di semua mata pelajaran dalam Ujian Tengah Semester yang akan datang.” Ketiganya tak percaya akan hukuman yang mereka terima. “Itu saja?” tanya Al dengan polosnya. Hal yang bisa ketiga guru ketahui jika ketiga berandalan ini bisa saja menyontek.

   “Tentu, hanya itu saja.”

   “Kalau begitu, kita mah—“

   “Kalian bertiga akan duduk di bangku paling depan, kita adalah penjaga ujian untuk kelas Bahasa tahun ini.”

   “Apa?!”

   “Dan jika kalian gagal mendapat nilai 8 pada saat UTS nanti, bersiaplah untuk keluar dari sekolah ini.” Mr. Jo tersenyum, “Itu saja, kok.”

   Dan yang ada di kepala Rivaldy, Al, dan Elena saat ini … ‘Bagaimana caranya?’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status