Share

CHAPTER 4: THREAT

   Jenius SMA Ki Hajar Dewantara tengah menghabiskan jam bebas belajarnya di perpustakaan. Hanya tempat itu yang membuatnya tenang. Drrt! Ponselnya bergetar, ternyata sebuah notifikasi dari salah satu aplikasi.

   ‘Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara.’

   Seringai kecil terukir di wajah mungil gadis itu. ‘Accepted.’ Ya, dia memencet tombol itu. Lalu, muncul sebuah notifikasi baru yang bertuliskan, ‘Permintaan klien diterima.’

   Kini, ia menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan tempat ternyamannya. Gadis itu kembali ke kelasnya. Dengan kembalinya dia ke kelasnya saat sudah masuk jam istirahat membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia tak peduli. Al yang menatapnya tajam bersungut pun ia tak peduli, karena tak mungkin anak itu akan menghajarnya. Diluar dirinya adalah perempuan, di kelas ini terdapat banyak CCTV dan para penggemarnya yang kembali membutuhkannya.

   “Aku tak butuh tikus pengerat seperti kalian lagi, menjijikkan.” Ucapan itu Maria tujukan pada teman-temannya yang berusaha mendekatinya lagi. Setelah kalimat pedas itu terlontar dari mulut Maria yang mereka anggap dewi, mereka pun menyerah.

   “Dia benar-benar telah menjadi sosok lain,” lirih Elena sedih. Rivaldy yang mendengarnya mengelak, “Bukan sosok lain, itu sosok aslinya.” Elena kesal pada Al, “Pokoknya ini semua jadi salahmu, dasar!”

   Al yang sedaritadi tak bisa melepaskan pandangannya dari Maria semakin kesal karena tak bisa membalasnya. Lebih tepatnya, tak tahu cara untuk membalasnya.

   Hari ini benar-benar menyebalkan. Al hanya menghabiskan hari ini dengan kesal. Dilihat sehari penuh pun Maria seperti tak memiliki kelemahan. Memang ada ya orang seperti ini? Herannya membatin.

   Bahkan, sampai sekolah hari ini usai. Al terus menguntitnya dari kejauhan tanpa Maria sadari. Anak itu naik bus yang sama dengan Maria, dan juga menuju tempat yang sama dengan Maria. Malahan dirinya harap Maria menyadarinya dan kesal padanya. Namun, tanpa disangka Maria sama sekali tak menyadari kehadirannya disana.

   “Eh?” ucap Al baru menyadarinya.

   Kenapa ia ada disana? Tanyanya sendiri kebingungan. Setelah dipikir-pikir kenapa Maria kemari? Begitu pikirnya tanpa mendapatkan jawaban. Anak itu hanya memperhatikan gerak-gerik Maria yang mulai dari duduk di kursi sekitar taman, lalu membaca sebuah buku disana.

   “Tak ada yang mencurigakan, kok.” Begitu pikir Al sebelum seseorang yang dikenalnya datang. Matanya terbelalak tak percaya, “Gibran?” herannya.

   Yang Al lihat adalah Gibran Geovano, seseorang yang dulu mengikutinya sampai pada akhirnya menjebaknya. Ini kesempatan emas untuk menghajar biang kerok yang membuatnya harus hidup tersiksa seperti ini, pikir Al. Ia ikuti Gibran dan menunggu tempat yang pas untuk menghajarnya.

   “Disini kan?” gumam Gibran yang dapat Al dengar dari belakang.

   Setelah itu, Gibran meletakkan tas kecil di belakang tong sampah yang dikelilingi semak belukar. Setelah memastikan aman, Gibran bergegas ingin kembali. Jduk! Sialnya, ia menabrak Al yang telah berdiri kokoh di belakangnya.

   “K-kau …”

   PLAK!

   Belum sempat menyebut nama temannya itu, Al dengan kesal menamparnya dengan kekuatan penuh hingga membuat Gibran tersungkur. Grrt! Al tak membiarkannya bangun darisana. “Al … Tolong, dengarkan aku kali ini saja—“

   DUGH! Tendangan di wajah yang diterima Gibran membuatnya tak bisa melanjutkan kalimatnya. “Kau pikir aku ada waktu untuk mendengarkanmu? Cecunguk sialan!” umpatnya. “Maafkan aku, Al …” rengek Gibran memegang pergelangan kaki Al yang menyesakkan dadanya.

   DUGH! DUGH! DUGH!

   Untuk kali ini Al sangat marah hingga menjadi gila dengan menginjak berkali-kali Gibran dalam posisi yang sama. “MEMANGNYA APA YANG KAU DAPATKAN DARI ITU SEMUA?! MATI SAJA KAU DAN PERGI KE NERAKA! HIDUPKU HANCUR KARENAMU, BRENGSEK!” teriaknya gila akan kemarahannya. Hal itu membuat Gibran Geovano pingsan seketika di tempat. Al berhenti sejenak dan ingin mencari sebuah benda untuk menghabisi Gibran saat itu juga. Tetapi, saat ia berbalik ia membeku di tempat.

  “Sialan … Kenapa harus ada kau, sih? Haha.” Tawanya yang hambar dapat menjelaskan bahwa ia tengah terpojok saat ini. “Oh, sudah?” tanya Maria dengan santainya lalu menghentikan rekamannya. Lalu, dengan santainya ia berbalik badan dan melanjutkan membaca bukunya dan berlalu bergitu saja.

   Amarahnya yang memuncak kala itu membuatnya mengambil sebuah batu besar dan mengendap-endap akan menghantamkannya pada Maria. Srrt! Cekrik! Hanya dengan flash yang menusuk matanya dan bunyi ‘cekrik’ yang menyadarkannya. Ia membeku saat itu juga. Apa yang telah dilakukannya?

   “Kau mau aku berteriak atau pergi saja?” ancam Maria. Aish, tak ada yang bisa dilakukannya selain pergi. Hari itu terasa sangat panjang bagi Al. Ia benar-benar ingin mati saja hari ini.

   Hari itu pula yang membuatnya takut untuk masuk ke sekolah. Ia hanya mendekam di kamarnya yang luas. Sepi, mustahil terdengar suara seorang wanita yang membangunkannya atau memintanya sarapan pagi. Itu sangat mustahil. Rumahnya yang begitu luas dan penuh interior mahal tetapi sangat sunyi.

   “Sudah satu bulan rupanya dia tak pulang.”

   Al yang hidup hanya bersama ayahnya saja tentu merasa kesepian, Bahkan ia memanggil ayahnya dengan partikel ‘dia’. Sudah sebulan ayahnya tak pulang, bahkan ia sampai lupa akan wajah ayahnya itu.

   “Kenapa aku masih bernafas hari ini?” gumamnya memejamkan matanya kembali. Dan tiba-tiba saja bayangannya menghajar Gibran terlintas dalam benaknya. Tetapi seketika berubah menjadi bayangan akan sosok tanpa wajah yang memukulinya, menginjaknya, dan memukulnya dengan vas.

   Deg! Deg! Deg!

   Ia lihat kedua telapak tangannya yang basah akan keringatnya yang bercucuran deras. Ia menjambak rambutnya sendiri. Ia menyangkal pikiran bahwa akankah dirinya tumbuh menjadi sosok ayahnya? Itu tak boleh terjadi. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan membatin, “Amarahku pasti dapat dikendalikan.”

   Jalan setapak Ragunan, Al kembali ke tempat ini hanya untuk mengetahui apa yang Gibran sembunyikan kemarin. Pasti masih ada, hanya dirinya yang mengetahui tempat itu. Gibran tak mungkin kembali karena mengingat kondisi akan perbuatannya. Srrk! “Dimana? Aku yakin kemarin disini.”

   Ia mencoba mengingatnya kembali. “Itu hanyalah sebuah tas kecil!” tegasnya. Ditambah saat itu tempat ini benar-benar sepi. Hanya ada dirinya, Gibran, dan … “Maria?” tanyanya tak yakin pada dirinya sendiri. “Aku akan kembali ke sekolah.”

   Al datang melewati pintu belakang—jalur rahasianya. Seperti yang diperkirakan, ini adalah jam olahraga. Ia masuk ke ke kelas dan segera menuju bangku Maria. “Walau tak mungkin, aku akan terus berusaha membuatnya berada dibawah kendaliku—“

   Kling! Kling! Kling!

   Fokusnya menjadi teralihkan pada ponsel Maria yang mendapat banyak notif.

Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara mengirimi anda pesan.

Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara mengirimi anda pesan.

Gibran Geovano/IPS, SMA Ki Hajar Dewantara mengirimi anda pesan.

   “Hah?” herannya mengetahui jika Maria ternyata mengenal sosok Gibran. “Maria yang antisosial mengenal Gibran yang terkenal sebagai bawahanku? Haha.”

   Entah apa yang akan dilakukannya pada ponsel yang bersandi itu, Al hanya ingin membawanya. “Aku hanya ingin mengetahuinya saja, kok.”

   Dap! Dap! Dap!

   “Aish, dasar merepotkan.” Maria terlihat seakan bergegas ke kelasnya, tetapi tampak dirinya yang tak menggunakan seragam olahraga. Ia terus menggerutu, “Karena si mulut besar itu, mau tak mau aku harus terlibat!” kesalnya mencari seragam olahraganya di tas.

   Tunggu! Ada yang hilang, begitu pikirnya ketika tak melihat sebuah ponsel dengan case hitam di dalamnya. Deg! Deg! Deg! Deg! “Sialan, aku harus segera menemukannya!” resah seorang Maria. Pertama kalinya bagi seorang Maria merasa terancam.

   Sedangkan seseorang yang mencuri ponsel Maria, Alan Kevin, kembali ke rumahnya dan memasang sebuah kabel data untuk menghubungkan ponsel Maria dengan komputer dua monitor di kamarnya.

   Data is being analyzed …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status