Perselisihan
Kedatangan Rino di kampung Sukasari itu menjadi buah bibir para gadis yang terpesona oleh ketampanan dan kegagahan Rino saat lelaki itu dibawa jalan-jalan ke pasar malam oleh Tomi.
Suasana di tempat itu ramai. Riuh orang-orang berjalan lalu-lalang. Bianglala pun menjadi magnet bagi yang baru datang ditambah dengan lampu-lampu warna-warni bak pelangi mengundang decak kagum. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya untuk mencari sesuap nasi. Rino menyisir setiap sudut pasar malam yang selalu ada di malam minggu. Dia mengulas senyum saat melihat anak-anak raut wajahnya terpancar sumringah bermain riang karena permainan di pasar malam itu beraneka ragam.
Tomi meminta Rino agar menunggunya di dekat bianglala karena Tomi ada kepentingan mendadak panggilan alam. Maka lelaki berhidung bangir itu berdiri bergeming sembari melihat orang-orang berpasangan naik bianglala.
Namun, tiba-tiba seseorang meneriakinya maling. Sontak Rino terkesiap dan terkejut dengan mata yang membulat sempurna. Seketika itu juga dua lelaki mencengkal lengan Rino dan lelaki berhidung bangir itu masih bersikap tenang.
“Ada apa ini?”
“Kamu maling?!” bentak lelaki berkumis tipis.
“Bukan, saya---“
“Terima kasih, Pak,” potong suara wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Rino.
Lelaki itu menoleh kepada sosok gadis berambut kepang dua sembari tersenyum tipis berjalan ke arahnya. Arunika lekas memangkas jarak dan mendekati Rino.
“Siapa maling?” protes Rino menaikkan sebelah alisnya menukik.
“Pak, biar ini jadi urusanku,” urai Arunika.
“Beneran, Neng Aruni. Maling ini kita lepas saja,” timpal lelaki berkumis tipis tersebut yang masih memegangi lengan Rino.
“Iya, Pak.” Arunika mengulas senyum manis.
“Baiklah, Neng.”
Brugghh!!!
Satu pukulan keras mengenai perut Rino. Lelaki itu tercekat menatap nyalang kepada orang bertubuh tambun besar yang memiliki kumis tipis.
“Hai, kumis lele!!” bentak Rino yang tidak terima mendapatkan pukulan. Dia ingin membalas, tetapi Arunika bergegas berdiri di tengah-tengah sambil merentangkan kedua tangannya.
“Tak sopan. Bilang seperti itu. Kamu sekolah makan bangku,” ucap Arunika.
“Kau kira saya itu rayap bisa makan bangku. Ini semua gara-gara kamu! Saya bukan maling. Mau kamu apa?” Todong Rino sembari mengepalkan kedua tangannya, menahan amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.
Arunika menyeringai iblis dan dia menoleh kepada lelaki berkumis tipis tersebut agar segera pergi.
“Hati-hati, Neng Aruni.” Kemudian lelaki itu pun undur diri pergi.
Kini Arunika dan Rino berdiri saling berhadapan di bawah bianglala yang sedang berputar. Mereka berdua saling bertatapan dengan mata yang penuh amarah.
“Mana uangnya?” Tanpa basa-basi lagi Arunika menengadahkan tangan sembari memasang wajah judes. Begitulah Arunika kadang tampak manis dan kadang tampak terlihat judes apalagi kepada orang asing yang baru dia temui.
Rino melipat kedua tangannya dan terkekeh kecil. “Kamu kira saya akan memberikan uangnya dengan mudah setelah kamu melakukan hal tadi.”
Gadis berambut panjang itu teriak sekencang-kencangnya meneriaki Rino dengan sebutan maling. Maka dalam hitungan detik ada tiga pemuda datang langsung menghakimi Rino dan Arunika beringsut mundur menjauhi Rino yang sedang dipukuli.
Untungnya Rino melawan karena lelaki tersebut jago taekwondo. Gadis itu melengos tidak mau melihat. Dia bahkan menggigit bibir bawahnya sendiri.
Sebelumnya satu jam yang lalu. Wulandari mendorong gadis itu agar cepat menemukan Rino, setelah dia mendapatkan hukuman karena Arunika yang tidak bisa menemukan Rino dalam waktu dua puluh empat jam.
Dia mendapatkan hukuman tidak diberi makan dan harus berdiri mematung selama satu malam di depan kamarnya, bahkan Wulandari jika marah memuncak seperti gunung Himalayang maka tubuh Arunika akan terkena kibasan sapu lidi berkali-kali.
Teriakan Tomi yang bak pahlawan bagi Rino membuat lamunan Arunika buyar dan kembali ke alam nyata. Gadis itu menyeka bulir-bulir bening yang luruh berderai di pipi. Dia tersenyum simpul berjalan pelan menghampiri Rino yang berdiri di samping Tomi.
“Ada apa ini? Dia temanku, bukan penjahat,” tukas Tomi memelotot kepada Arunika dan pandangan lelaki itu pun berkeliling kepada para pemuda yang tadi memberikan pelajaran kepada Rino.
“Aku minta uang sebagai tanggung jawabnya karena telah menabrakku dan telur ayam kampung super aku pecah dan kami rugi,” cerocos Arunika.
“Oh, jadi hanya gara-gara uang. Kamu melakukan ini,” sahut Tomi sambil merogoh dompetnya di saku. Akan tetapi, tangan Rino dengan sigap memegang lengan Tomi melarang Tomi jangan memberikan uang kepada Arunika.
“Jangan! Ayo, kita pergi,” ucap Rino datar dan berbalik badan beranjak pergi meninggalkan Arunika yang berdiri tertegun bergeming masih di tempat menatap sendu punggung Rino.
Tomi pun mengekori Rino dari belakang. Sementara itu tiga lelaki itu bergegas mencari perhatian kepada Arunika berlomba-lomba untuk mendapatkan hati gadis kembang desa itu.
**
Sampai di rumah Tomi.
“Aku tak habis pikir kenapa Arunika jadi seperti itu? Padahal dia gadis yang baik,” ucap Tomi sambil menyodorkan kotak P3K kepada Rino.
“Jangan bahas dia. Aku malas,” jawab Rino sambil tersenyum getir dan mengobati luka sobek bagian pelipisnya. Tangan Tomi pun cekatan membantu Rino memberikan kain kasa.
Suasana hening. Tomi pun menguap karena dia kekenyangan saking tadi banyak makan. Baru sepuluh menit senyap, lalu Tomi merebahkan tubuhnya di sofa panjang.
Rino yang sibuk dengan ponselnya melirik Tomi hanya mengulum senyum kecil melihat sahabatnya yang memang jago tidur.
Jari Rino sibuk membalas pesan dari Raffi yang mencarinya. Lelaki itu berbohong membalas pesan sedang di luar negeri untuk menghindari perjodohan yang menurut Rino terlalu cepat.
Lelaki itu hanya mengulur waktu saja agar tidak ada pernikahan.
Kemudian suara pesan kembali memekak telinga. Rino memicingkan mata di kala membaca pesan dari orang misterius yang kerapkali memberikan puisi dan pantun. Namun, kali ini Rino mendapatkan foto di saat dirinya berada di restoran.
Mata Rino membulat saat melihat dirinya sendiri di foto itu karena tanpa dia sadari berarti orang misterius yang mengakui sebagai fansnya itu selalu mengikuti jejaknya.
“Ini sewaktu aku di restoran satu minggu yang lalu,” gumamnya.
Kemudian Rino menekan tombol memanggil, tetapi tidak diangkat. Semakin tanda tanya besar bertengger di benak pikirannya. Banyak perempuan yang tebar pesona kepadanya semenjak dia menjadi duren. Namun, tidak menyangka akan memiliki penggemar misterius seperti ini.
Tok, tok, tok!!!
Suara ketukan pintu terdengar berkali-kali dan Rino pun langsung melirik ke arah pintu itu. Awalnya dia ragu untuk membuka karena Tomi tuan rumahnya sedang tidur pulas.
“Siapa yang datang selarut ini?” tuturnya masih duduk tenang.
Lantas Rino berdiri dan dia lekas membuka pintu. Sontak Rino membelalak saat tahu tamu yang datang ke rumah Tomi tidak lain adalah Arunika dan perempuan paruh baya yang berkacak pinggang memelotot kepada Rino.
“Jadi kamu biang masalah. Tanggung jawab.” Wulandari menerobos masuk.
“Tanggung jawab apa?” Rino mengerutkan dahinya.
“Kamu yang menghamili Arunika?!” bentak Wulandari langsung meraih sapu yang tepat berada di sampingnya.
Rino dan Arunika terkejut. Mereka berdua saling berpandangan.
Wulandari siap-siap hendak mengibaskan sapu ke arah Rino.
“Ambu!!” pekik Arunika.
“Ahh, siapa yang menghamili dia? Bukan saya,” protes Rino menggelengkan kepalanya dan beringsut mundur menjauhi Wulandari yang sedang mengamuk.
"Ambu, jangan." Arunika menggelengkan kepala.
"Ibu yang terhormat tolong jaga ucapannya. Saya pun menyesal bertemu dengan anak Ibu yang telah membuat saya babak belur seperti ini," protes Rino memicingkan mata kepada Arunika.
"Argghhhhhhh, diam. Jangan bohong." Wulandari memelotot sembari memukul lengan Rino oleh sapu. "Hayo, ngaku!!" lanjutnya cerocos.
"Argghhhhhhh, diam. Jangan bohong." Wulandari memelotot sembari memukul lengan Rino oleh sapu. "Hayo, ngaku!!" lanjutnya cerocos.Suara Wulandari yang cempreng membuat Tomi terbangun dan lelaki itu terkesiap terkejut melihat Rino yang sedang dipukuli oleh Wulandari, lekas lelaki itu berlari kecil menjadi penengah meraih sapu yang hendak melayang ke lengan Rino.Rino berdiri bergeming tanpa protes atau pun melawan. Mata lelaki tersebut menajam ke arah Arunika. Sorot tatapannya penuh kebencian. Bisa-bisanya Wulandari menuduh Rino menghamili Arunika.Bahkan Rino tidak mengindahkan ucapan Tomi, dia lebih fokus menatap nyalang Arunika yang menunduk sambil meremas-remas baju. Sampai Tomi menepuk pundak Rino dan lelaki tersebut melirik sekilas kepada sang sahabat."Saya tak menghamili Arunika," ucapnya tegas."Tuh, Ibu Wulandari. Kalau ngomong itu dijaga jangan seperti petasan itu mulut
Punya Saingan“Buka saja,” ucap Sri melempar senyum manis dan rambut pirangnya yang kerap kali dikucir satu, kini digerai. Biasanya pun pakaian Sri kemeja atau kaus serta memakai celana levis atau celan pendek. Namun, kini Rino sedikit tercengang melihat perubahan Sri yang menjadi feminim memakai rok selutut dan baju atasan. Gadis itu baru pulang main dari rumah temannya.Rino mengulum senyum tipis ketika membaca surat undangan tersebut. Inisialnya bukan A nama calon pengantin perempuannya, dia menghela napas lega sembari menatap teduh Sri.“Maksudmu berikan undangan ini apa?” tanya Rino mengernyit.“Om, mau nggak temenin Sri ke undangan sebagai pasangannya,” jawab gadis itu tanpa basa-basi langsung mengajak Rino.Sri kerap kali memanggil Rino dengan sebutan Om, entah kenapa Sri pun merasa nyaman bila berada di dekat Rino dan gara-gara Rino pun gadis tersebut ingin merubah penampilannya. Makanya hari ini penampil
Perjuangan PertamaSri memegangi lengan Rino begitu erat. Gadis itu sesekali berteriak sekencang-kencangnya saking kagetnya melihat penghuni rumah hantu. Meski sudah tahu jika itu manusia yang berpura-pura menjadi manusia, tetapi tetap saja bisa membuat jantung Sri dan Rino mencelos dari tempatnya. Rino memasang wajah datar tidak tampak ketakutan hanya terkejut bila tiba-tiba muncul hantu tanpa muncul di depannya.Tiga puluh menit mereka berdua belum menemukan pintu keluar masih berkeliling mencari pintu karena banyak gangguan dari penghuni rumah hantu itu yang menggoda.Brugh!!Rino seperti menabrak punggung seseorang karena sudah masuk ke area zona gelap, tantangan terakhir agar menemukan pintu keluar.“Argh, siapa kamu?” bentak suara wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Rino.“Arunika,” tegur Rino lembut.“Kakak,” sambung Sri sambil tangannya mengibas seakan mencari sosok sang kakak.&l
Pukul sebelas siang. Rino baru turun dari mobil sudah menjadi sorotan orang banyak. Apalagi saat ini Sri menggandeng tangan lelaki itu sambil menampilkan barisan gigi putihnya. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki area resepsi pernikahan. Rino memasang wajah semanis mungkin agar Sri bahagia. Hari ini dia benar-benar harus berakting menjadi pacar sehari gadis tersebut.Sri mengajak Rino untuk menaiki panggung pelaminan dan mereka mengucapkan selamat bahagia kepada pasangan pengantin yang berbahagia.“Mateng, nih,” sapa pengantin wanita melempar senyum kepada Sri.“Bukan mateng lagi. Ini namanya rezeki nomplok,” balas Sri terkekeh kecil sembari menggelayut mesra di bahu Rino, menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Sri tidak peduli dengan penilaian orang atau teman-temannya yang penting dapat membawa pasangan tampan dan mapan itu yang ingin ditonjolkan oleh Sri agar teman-temannya tidak mengejek jika gadis itu kelamaan menjadi jomlo
Untungnya Rino dapat menepis serangan dari lawan dan ia memberikan tendangan seribu kepada lelaki itu. "Jangan ganggu dia!!" bentak Rino sembari memelotot.Mereka pun langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat. Rino yang sudah ahli taekwondo, baginya menghadapi para pemuda itu hal mudah yang sulit saat ini adalah merebut hati si gadis bunga desa itu.Arunika melempar senyum kepada Rino dan lelaki berjas hitam itu pun segera menolongnya."Terima kasih," ucap Irwansyah."Sama-sama, ayo saya antar sampai rumah." Rino menjawab seraya melengkungkan senyum manis.**Mereka bertiga turun dari mobil. Di depan rumah bercat abu-abu itu tampak Maria---ibu Irwansyah sedang menyapu teras dan wajahnya mendadak berubah cemas di kala melihat Irwansyah terluka, wanita paruh baya itu menghambur menghampiri."Ada apa ini?" tanya Maria."Bu, kami tadi dihadang oleh pemuda yang jail," jawab Arunika."Ya ampun, mereka nggak ada ka
Matahari baru bergulir dari ufuk timur, tetapi di depan rumah Tomi sudah ada keributan yang mengundang perhatian emak-emak berdaster yang sedang beli sayuran di tukang sayur---pakai gerobak. Mereka memicingkan mata ke arah Rino yang sedang berdebat dengan orang suruhan Raffi yang mengambil mobilnya. Nampak sekali dari sorot mata mereka ada kecewa dan tidak menyangka bahwa yang mereka lihat Rino seperti orang kaya, tetapi faktanya kini yang dilihat lelaki tampan itu bersikukuh dan bersitegang dengan dua lelaki berpakaian rapi dan kemeja hitam. Jelas terdengar suara emak-emak berdaster itu menyindir. "Ternyata mobil sewaan yang dia pakai." "Buat apa wajah tampan. Tapi, nggak ada duitnya." Rino mengembuskan napas panjang mendengar ucapan tetangga Romi yang membicarakannya di depan langsung. "Pak, saya tak mau pulang ke rumah. Silakan ambil saja mobilnya. Tapi, yang jelas ini mobil saya hasil kerja keras saya." Rino menjelaskan. "Maa
Pasca tidak berjualan telur Arunika menjadi pelayan di restoran Padang yang terletak di pusat kota. Ia pulang pergi, berangkat dan pulang bersama dengan Irwansyah. Perjalanan dari tempat kerja ke rumah Arunika jarak tempuhnya satu jam, sedangkan Rino bertahan untuk hidup di kampung tersebut menjadi pedagang pakaian perempuan di pasar. Sisa uang penjualan jamnya itu sebagai modal. Rino menjadi bintang di pasar, banyak gadis maupun janda yang mendekatinya tebar pesona bahkan ada juga yang sering membawakan makanan untuk duda keren itu setiap hari dan itu membuat Rino sebenarnya tidak nyaman. Namun, dia harus bersikap ramah kepada semua pembeli. Lelaki berhidung bangir itu jarang bertemu dengan Arunika karena waktu terbatas. Setiap hari menunggu di depan rumah Arunika, tetapi si gadis pujaan hati selalu pulang malam---pukul sebelas malam bersama Irwansyah. Dia hanya menunggu di sebrang rumah Arunika di bawah pohon rindang yang minim cahaya dan itu tempat yang tepa
"Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Arunika dengan mata yang sembab. Dia menangis sesenggukan sedari tadi. Arunika tak mau kehilangan Wulandari."Ibumu nggak apa-apa. Untungnya bisa diselamatkan. Dia mengalami angin duduk.""Angin duduk apa, Dok? Anginnya duduk atau rebahan?" timpal Sri.Dokter itu mengulum senyum tipis. Lelaki itu rambutnya kelimis dan tampak usianya 25 tahun. Dia pun menjawab pertanyaan Sri. "Suatu jenis nyeri dada yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke jantung.Angin itu adalah gejala penyakit arteri koroner.""Oh, gitu yah. Jadi nggak parah?" sambung Sri sambil manggut-manggut mencerna ucapan dokter tampan itu."Iya, jika tak segera ditangani akan menyebabkan kematian. Jangan sepelekan angin duduk," imbuh dokter itu.Arunika menunduk sedih dan dia beranjak masuk ke dalam kamar inap Wulandari. Rino pun mengekorinya dari belakang. Tampak Wulandari masih terpejam. Gadis itu duduk di samping ranjan