Share

2: Make You Feel Alright

Make You Feel Alright- Ginda Bestari ft. Yura Yunita

Sofia berhasil melewati minggu pertama bekerja di Lotus dengan baik. Dalam satu minggu, ia hafal dengan sifat-sifat mencolok para karyawan Lotus lainnya.

 Rudi yang mudah terkejut dan suka teriak-teriak, Meghan yang selalu serius--terkadang lebih mirip jutek--namun selalu bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik--Sofia tahu dari senyum dan anggukkan Rayhan setiap Meghan memasuki ruang kaca itu--meski tak pernah berbicara dengan Sofia. Lalu Pak Setyo yang serius dan kaku, namun sebenarnya baik, Bu Sri yang baik sekali dan suka minum kopi pagi-pagi, Dhito yang ceria 24 jam dan merupakan sumber semangat seisi kantor Lotus, serta Rayhan, yang meskipun serius selalu bisa berkomunikasi dengan baik dengan karyawannya, dan jarang memaksakan kehendaknya karena ia selalu mengadakan polling bahkan hanya untuk menentukan tanaman apa yang harus diletakkan di meja tengah.

Karena sedikitnya orang serta bantuan Dhito juga, Sofia dapat beradaptasi dengan baik. Dan sesuai dengan ucapan Dhito di hari pertamanya bekerja, setelah minggu pertama berlalu dengan baik, Rayhan benar-benar memberikannya kunci kantor yang sebelumnya hanya dipegang Rayhan, Dhito dan Pak Setyo.

Mungkin hanya perasaannya saja atau bagaimana, Sofia bisa merasakan tatapan dingin dari Meghan di ujung lain kantor saat Rayhan memanggilnya ke kantor dan memberikannya kunci dengan gantungan bunga Lotus itu padanya. 

Meski memiliki kunci kantor sama dengan harus pergi ke kantor pagi-pagi, Sofia tak masalah. Entah sejak kapan, ia sering berangkat pagi dan pulang paling akhir. Ia lebih menyukai kantor dibanding apartemennya yang sepi. 

"Sofia, tolong cek naskah ini dulu, ya. Baru masuk. Nanti kamu kasih tahu saya resensi dari naskah itu, ya." Tanpa menoleh dari komputernya, Sri memberikan amplop coklat pada Sofia yang juga sedang memandangi kata-kata di aplikasi Word di komputernya.

Di sisi lain kantor, Rudi dengan ikat kepala favoritnya sibuk berkutat dengan ilustrasi sampul buku terbaru. Sesekali ia bersenandung lagu-lagu yang sedang naik daun, merdu.

"Bu Sri, naskah yang ada pink-pinknya itu udah dikirim ke percetakan, kan?" Dhito muncul tiba-tiba, dan saat melihat anggukkan kepala Bu Sri, dengan segera berteriak pada Rayhan. "Udah, Ray!"

Kesibukan yang biasa.

Saat jam putih di tengah ruangan berbunyi 12 kali, semua orang menghela nafas seolah dikoor oleh satu pusat yang sama.

"Yuk, makan dulu, makan dulu!" Teriak Dhito dari tengah ruangan. 

Namun Sofia belum selesai membaca naskahnya, lagipula perutnya berbunyi dan demonstrasi, jadi ia memilih untuk melanjutkan bacaannya alih-alih memanaskan bekal yang ia bawa dari apartemen.

Seperti biasa, hanya Sofia yang membawa bekal. Semua orang turun kebawah untuk pergi ke foodcourt gedung atau mencari jajanan sekitar kantor, kecuali Sofia. 

"Gue nggak masalah sih tiap siang lo nggak turun, soalnya lo langsung ke pantry manasin bekel. Jangan remehkan kekuatan makan siang, penting banget!" Dhito tiba-tiba duduk kursi Bu Sri, mengejutkan Sofia.

"Belum laper, Dhit. Lagian, ini belum selesai baca, dikit lagi."

Dhito menopangkan dagunya, memandangi Sofia dari samping. "Makan dulu. Ayo sini, mana bekel lo?" Ia melambaikan tangannya di depan wajah Sofia. Sofia tak bergerak; ia hanya menunjuk tas bekal di samping tas tangannya. Dhito meraihnya dan membawanya ke pantry.

Diam-diam, Sofia tersenyum. Dhito, sejak hari pertama selalu manis.

Yah, Dhito kan memang baik dan manis pada semua orang, pikir Sofia. Ia sering menemukan Dhito yang membantu Bu Sri yang terkadang bermasalah dengan komputernya hanya dengan melihat ekspresi bingung Bu Sri, atau membantu mengangkat kertas-kertas milik Meghan tanpa diminta.

Inti sebenarnya adalah, Sofia merasa ia tak boleh besar rasa dulu. Dhito mungkin membantunya karena ingin ia beradaptasi lebih baik. Tak mungkin karena hal aneh-aneh. 

Sofia tak boleh terlalu berharap, jika tak ingin kecewa.

Sementara Dhito mengerutkan keningnya saat membuka kotak bekal Sofia. Ia sering melihat isi bekal Sofia, namun semuanya hanya makanan cepat saji yang sudah termasak, biasa didapatkan di minimarket. Apa Sofia nggak bisa masak? Dhito jadi penasaran. Apa Sofia tinggal sendiri? Atau Ia memang sesibuk itu? Terus, kalau memang Sofia nggak bisa masak, kenapa ia selalu membawa bekal alih-alih membeli makan siang?

Denting suara microwave membuyarkan lamunan Dhito tentang Sofia. Nanti, batin Dhito, Pasti akan kutanyakan.

"Ye, masih aja. Sini, bekelnya udah gue panasin!" Dhito memutar kursi kerja Sofia, membuat mata Sofia terbelalak.

"Dua halaman lagi, Dhit." Keluh Sofia.

"Jangan dipaksain, Sof. Makan dulu." Dhito menyodorkan tempat makan Sofia dengan isi yang sudah mengepul hangat.

"Terus, lo nggak makan, Dhit?"

"Gue mah gampang! Abis lo makan, gue ke foodcourt di bawah juga bisa!" Senyum Dhito.

Sofia meninju pelan bahu Dhito. "Ye, sama aja!" Sofia meraih sendoknya, memenuhinya dengan nasi dan lauk kemudian mengarahkannya ke bibir Dhito. "Sini, yang manasin gue suapin duluan."

Dhito pura-pura cemberut, namun kemudian membuka mulutnya dan melahap habis semua yang ada di sendok.

"Makannya berdua aja ya, biar perutnya keisi dulu. Gue nggak terlalu laper, kok." Sofia bergumam sembari menyendokkan makanan ke mulutnya sendiri.

Dhito tersenyum. Perempuan cantik di depannya ini, selain sederhana, juga baik sekali. Sofia juga pintar. Beberapa kali mereka berjalan bersama saat pulang, Sofia selalu bisa mengimbangi topik yang Dhito pilih. Sungguh perpaduan yang langka.

Sembari menerima suapan Sofia, Dhito mengkilas balik perempuan-perempuan yang pernah mampir di hidup Dhito. Ia tidak mengingat semuanya, yang Dhito ingat hanya 25? atau 29? Pokoknya sekitar segitu, lah. Dhito biasanya dipertemukan dengan perempuan cantik yang menarik namun di bulan berikutnya, semua orang akan menyadari betapa rendah IQ perempuan itu. Sekalinya menemukan perempuan cantik yang berimbang dengan isi kepalanya, rata-rata mereka adalah anggota manusia dengan ambisi dan ego yang tinggi, dan Dhito yang selalu haus akan perhatian menjadi terlantarkan. 

Perjalanan kisah cinta Dhito yang berliku membuatnya menjadi sangat berpengalaman, dan Dhito yakin, ia akan bosan dengan Sofia dalam kurun waktu satu atau dua bulan ke depan. 

Tak jauh berbeda saat dulu ia bosan dengan Meghan. Sebelum Meghan menanyakan kejelasan hubungan mereka, Dhito dengan halus berkilah bahwa itu adalah hubungan profesional yang memang Dhito jalin pada semua orang; mungkin sempat membuat Meghan patah hati namun mereka tetap baik-baik saja sampai sekarang. Meghan juga pasti sudah lama tak lagi menyimpan perasaan untuknya.

Sofia pasti tak akan jauh berbeda dengan Meghan, meskipun Sofia lebih ceroboh dan lebih manis dari Meghan.

"Dhito? Ayo, suapan terakhir." Sofia menyuapinya kembali, namun kemudian, suapan itu terhenti di mulut Dhito saat mereka menyadari satu sosok di dekat mereka.

Mata yang tajam itu milik Meghan.

Uh, Dhito bergidik. Apa perkiraannya salah?

***

Sofia menarik nafas panjang dan menghembuskannya keras-keras. Menyelesaikan semua pekerjaan lebih cepat hari ini tak membuat perasaannya lebih baik. Ia malah mulai mengedit buku yang baru saja selesai dirapatkan, dan sudah menyelesaikan setengahnya. Dhito sudah pulang sedari tadi, sebuah panggilan telepon dari rumah yang menginterupsinya. Jadilah ini malam pertama Sofia berjalan pulang tanpa Dhito.

Ia masih mengingat jelas bagaimana tadi siang Meghan melihatnya saat ia menyuapi Dhito. Sofia sih tak masalah, saat kuliah dulu ia punya 3 sahabat yang semuanya laki-laki, berasal dari SMA yang sama, dan mereka sudah biasa bermanja-manja dengan Sofia, sebelum akhirnya mereka sibuk skripsi dan mereka semua, kecuali Sofia keluar dari Jakarta untuk mengejar karir mereka masing-masing. Intinya, Sofia sudah sering menyuapi laki-laki tanpa ada perasaan khusus apapun, dan saat ia tadi melihat Meghan, Ia ingin langsung menyemburkan semua penjelasan ke wajah Meghan, namun alih-alih begitu, Ia dan Dhito malah terdiam seperti tertangkap basah sedang selingkuh!

Oh, Sofia bisa mempertimbangkan itu. Mungkin saja Meghan memang memiliki sesuatu dengan Dhito dan itu yang membuat Meghan tak menyukainya sejak hari pertama mereka bertemu.

Banyak berpikir membuat Sofia lapar. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 8. Tempat ayam geprek di belakang apartemen pasti masih buka, pikir Sofia sembari masuk ke area The Plaza dan keluar lewat jalan belakang. 

Sofia benci jalan ini, sebenarnya, karena gelap dan sepi, namun ini satu-satunya jalan menuju daerah padat di belakang apartemen Sofia, tempat dimana surga pedagang kaki lima berada. Persetan dengan penjahat, Sofia bisa menggunakan dasar judonya untuk kabur.

Untuk yang kesekian kalinya, heels Sofia berulah. Hari ini, ia sudah 'terjatuh' dari heels setinggi 7 sentinya sebanyak 9 kali. Salahnya sendiri ingin tampak lebih tinggi namun malah menyakiti diri. Sofia berjanji tak akan pernah memakai sepatu ini lagi dan kembali ke flat shoes kesayangannya saja. Tanpa dilirik saja Ia sudah tahu kalau mata kaki kanan dan kirinya sudah lecet.

Harusnya ia tadi naik dulu untuk ganti sendal.

"Gue nggak punya apa-apa lagi!" Teriakan perempuan yang lumayan keras membuat Sofia berhenti. Suara itu berasal dari belakangnya, arah yang berlawanan dengan pemukiman. "Sekarang, biarin gue pergi!" 

Sebenarnya, rasa takut Sofia memintanya untuk mengabaikan suara itu dan lanjut berjalan saja menuju resto ayam geprek, toh mereka tak menghalangi jalan Sofia. Namun suara yang ia kenali membuatnya tak bisa melanjutkan langkahnya begitu saja.

Samar dan ragu, Sofia mengenali suara itu sebagai suara Meghan.

Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Ia pasti bisa mengalihkan perhatian mereka kemudian membawa Meghan kabur. Ya, pasti bisa begitu.

Jadi dengan keyakinan yang demikian Sofia berbalik, menuju arah suara.

Ia berusaha jalan pelan-pelan, namun saat ia mulai bisa melihat sosok tinggi Meghan, mendadak sepatunya berulah lagi. Sofia menutup mulutnya agar geramnya tak terdengar, namun telinga dua laki-laki yang sedang berusaha memegangi Meghan itu lebih tajam. Mereka berbalik, dan menemui sasaran empuk selanjutnya.

"Meghan? Ngapain disini?" Tanya Sofia, berusaha terdengar santai walau jantungnya sudah berdentum kencang.

"Gue tadi cuma pengen mampir ke suatu tempat di deket sini--heh, lepasin tangan lo!" Meghan menepis tangan salah satu laki-laki dengan topi hitam yang berusaha menarik lengannya. Tas Meghan sudah berpindah tangan pada laki-laki lain yang kini sedang memandangi Sofia dari atas kebawah.

"Teriak aja, kagak bakal ada yang denger elu disini!" Balas laki-laki dengan topi.

"Wah, nambah nih mangsa kita! Rejeki bener!" Laki-laki yang membawa tas Meghan menjilat bibirnya, membuat Sofia jijik. Saat laki-laki itu mendekat, Sofia tak bisa menahan rasa mualnya dan dengan kecepatan kilat memuntahkan isi lambungnya yang hanya berupa cairan kuning, tepat ke wajah laki-laki itu.

Hening. Sofia seperti bisa mendengar suara 'ewh' dari Meghan dan laki-laki bertopi yang gerakannya terhenti karena tragedi barusan.

Laki-laki yang tadi memegang tas Meghan mundur beberapa langkah, melepaskan tas Meghan yang sepertinya sedikit banyak juga terkena, kemudian memandangi dirinya sendiri.

Amarahnya dengan segera tersulut. "Cari mati ya, lu!"

Sebenarnya, memang itu tujuan Sofia. Tadinya ia akan memancing emosi kedua laki-laki absurd  itu dengan sedikit cemooh dan merendahkan mereka, namun isi perutnya ternyata berperan lebih baik. Dengan tangan kosong  dan posisi yang menguntungkan Sofia, laki-laki itu berlari kencang ke arah Sofia yang ia anggap mangsa terbaik.

Ia salah telah meremehkan Sofia. Saat laki-laki itu ada dalam jangkauannya, dengan gerakan cepat Sofia menarik lengan dan kerah bajunya dengan kedua tangan, sembari melebarkan kakinya untuk menghalangi kaki laki-laki itu, kemudian dengan gerakan yang sudah ia hafal mati menjatuhkan laki-laki tersebut.

Sofia tahu, kalau hanya membantingnya ke aspal, ia tak memiliki keuntungan apa-apa karena laki-laki itu akan bangkit dengan segera dan kembali menyerangnya. Maka, Sofia membantingnya ke pinggir selokan; dan saat laki-laki itu mengaduh kesakitan, ia terguling masuk ke selokan dangkal itu.

Strike!

Satu laki-laki yang tersisa tentu saja marah. Ia dengan segera berpose seolah menyandera Meghan yang di dekatnya dan mengencangkan ikatannya pada leher Meghan.

"Gue bunuh temen lo!" Katanya, dilengkapi dengan suara Meghan yang tercekik. Sofia berjalan maju dengan tenang, melepas kedua heelsnya, dan seiring ia mendekat, cekikannya pada Meghan lebih kencang.

Dengan segera, Sofia memukulkan haknya keras-keras di kepala laki-laki itu, membuatnya mengaduh dan melepas cekikannya pada Meghan, yang kemudian tanpa Sofia sangka, menyundulkan kepalanya ke dagu laki-laki bertopi hingga terjatuh. Ia kemudian ikut melepas sepatu tingginya, dan meraih tas tangannya, kemudian menarik Sofia berlari.

Sofia yang seolah baru tersadar kemudian menyeimbangkan kecepatan larinya, kemudian kembali masuk ke area The Plaza, dalam zona aman.

Mereka baru berhenti berlari setelah sampai di depan lift dengan nafas tersengal.

Sofia memandangi mata Meghan, begitupula Meghan yang menatap Sofia. Lalu, dengan kompak, mereka berdua tertawa, menertawakan kekonyolan mereka berdua dan keajaiban alam yang mempertemukan mereka.

Masih dengan nafas tersengal, Meghan memeluk Sofia. "Thanks a lot, Sof. Gue nggak tahu deh gimana jadinya kalo lo tadi nggak muncul."

Sofia menepuk bahu Meghan. "Tenang, Meghan. Yuk, naik ke apartemen gue dulu, lo butuh sepatu buat pulang. Udah makan, belum? Nanti lo pulang pake taksi online aja, ya, lebih aman."

Meghan mengangguk.

Ah, rasa cemburu dan iri yang bodoh. Meghan dengan jelas bisa melihat kebaikan Sofia yang selalu ia tepis seminggu kebelakang.

Sejak awal, seharusnya ia sudah berteman dengan perempuan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status