Share

1: Say Hello!

Say Hello - Ardhito Pramono

Sofia Narestya

Sepagian ini, kurasa dewi fortuna sedang malas melihat wajahku.

Telat bangun, water heater yang tiba-tiba tak berfungsi, baju yang belum kusetrika, dan lipstick nude kesayanganku patah.

Kurasa, satu-satunya hal baik yang terjadi pagi ini adalah kenyataan bahwa kantorku terletak di gedung yang hanya berjarak 500 meter dari gedung apartemenku, dan itu artinya aku tak butuh menaiki transportasi apapun untuk dapat sampai di kantor. Tak buruk juga memiliki apartemen di tengah kota, karena akhirnya berguna juga meski selama ini aku selalu mengeluhkan keramaian yang kadang terdengar.

Penerbit yang terletak di salah satu gedung tinggi di daerah Sudirman membuat rasa penasaranku semakin tinggi. Jadilah aku, dengan ekspektasi yang tinggi pula berdesakan di lift bersama pekerja lainnya, menekan tombol 11 yang sudah lebih dulu di tekan.

Catatan untuk diriku sendiri; besok-besok mending nggak usah sombong karena dekat, deh. Berangkat di menit-menit terakhir membuatku seperti pesakitan yang dikurung dalam peti besi. Keringatku mulai mengucur.

Dan butuh waktu lama untuk sampai di lantai 11, karena lift berhenti di setiap lantai. Saat akhirnya lift sedikit lega, aku menggeser posisiku dan menarik nafas panjang. Ting! Akhirnya, lantai 11 juga!

Saat keluar lift, ada dua tanda panah. Kiri adalah firma hukum dan kanan tempat Lotus berada. Aku belum menentukan langkahku saat seseorang menepuk bahuku.

"Hei, lo yang anak baru Lotus, kan?"

Sejenak setelah berbalik, aku terdiam. Di depanku, berdiri laki-laki dengan senyum manis dan gigi gingsul yang menyembul. Alih-alih denganku yang sudah berantakan, ia masih terlihat keren dan rapih sekali pagi-pagi. Padahal, aku memiliki keyakinan besar, ia menaiki lift yang sama denganku menilik waktu kedatangan yang sama. Atau mungkin dia dengan baruntungnya menaiki lift lain menuju lantai 11 yang mungkin saja kosong. Ia menyipitkan mata dari balik kacamata bulatnya, lalu melambaikan tangan di depan wajahku yang terpana terlalu lama.

"Hallo?"

"Eh, iya. Saya Sofia, pak."

Ia mengulurkan tangannya, masih dengan senyum yang melebar--yang kurasa tidak luntur-luntur dari wajahnya--dan kusambut dengan jabat tangan formal.

"Gue Dhito. Nggak usah formal-formal banget, dan nggak perlu panggil gue pak, gue baru 29, kok." Ucapnya, segera membuatku mengangguk patuh. Aku harus mencari panggilan baru, apapun itu, karena orang di depanku ini jelas lebih tua lima tahun dariku, dan jelas pula lebih senior.

Ia pasti memperhatikan gelagatku, karena selanjutnya ia berkata, "Nervous, ya? Tenang aja, anak kantor kita baik-baik banget." Dengan isyarat, ia memintaku mengikutinya, melalui pintu kaca dan sampai di ruangan besar dengan tulisan besar 'LOTUS PUBLISHING'

Sungguh tak seperti bayanganku tentang kantor. Maksudku, biasanya kantor kan di penuhi kubik-kubik yang dimiliki setiap karyawan, lalu semua akan duduk di kubiknya dan sibuk sendiri, serta semua akan saling menjegal karena memiliki ambisi yang besar. Sebut aku terlalu banyak novel fiksi, namun begitulah yang tergambar dalam benakku.

Namun, yang selanjutnya kulihat benar-benar 180 derajat berbalik. Ruangan yang luas itu ditata dengan apik bernuansa putih. Ada dua ruangan yang dibatasi dengan kaca, kurasa yang satunya adalah ruang meeting dan ruang... direktur? Entahlah, pokoknya terlihat lebih spesial. Pantry di ujung ruangan, dan meja-meja besar dengan komputer-komputer terletak beraturan, tanpa pembatas apapun, terlihat luas. Di tengah-tengah kantor, terletak meja dengan sofa-sofa berwarna mencolok yang terlihat empuk. Di sana, kutemukan 4 orang, 2 wanita dan 2 laki-laki yang sedang berbincang ringan sembari mengenggam gelas masing-masing.

Entah memang karena suasananya atau karena pengaruh lampu, aku merasa hangat di dalam sana. Dan rasa gugupku, memudar.

"Morning, everyone! Gue bawa anak barunya, nih. Sof, sini!" Aku memperhatikan kantor ini terlalu lama, sampai tak sadar kalau sudah ditinggalkan sendirian. Kutundukkan kepalaku sopan, menarik nafas untuk mulai memperkenalkan diri.

"Selamat pagi, saya Sofia Narestya, mulai hari ini akan bekerja disini. Saya mohon bantuannya, semoga saya bisa menyesuaikan diri dengan baik." Senyumku melebar sopan, merasa lebih rileks. Aku yang masih tak berani memandang satu-satu orang di depanku, kembali menatap Dhito penuh harap.

"Oke, semua, gue mohon bantuannya, dan Sofia, semoga bisa segera adaptasi, ya. Eh, by the way, Rayhan belum dateng?"

Salah satu perempuan yang terlihat seumuran Dhito hanya membalas singkat. "Belum. Biasa, macet." Ia memandangiku dari atas sampai bawah, tampak tak terlalu berkenan dengan kehadiranku, menerbitkan kembali rasa gugupku.

"Saya rasa, kamu akan bekerja bersama saya. Saya Sri Wulansari, Chief Editor disini. Secara tidak langsung, saya menjabat semua posisi Editor di Lotus. Mohon bantuannya juga ya!" Suara hangat wanita yang terlihat berada di ujung 30an mengalihkan perhatianku. Ia terlihat ramah sekali, dan terlihat lebih senior dari orang-orang di sekitarnya. Dari wajahnya, kutebak umurnya mungkin sekitar 30 awal, cantik alami, namun dari gaya bicara dan gesturnya, ia pasti lebih tua dari perkiraanku. Aku menunduk sedikit, menyapa.

"Lo lulusan UI, ya? Keren! Gue pengen banget kuliah disana dulu!" Laki-laki yang berdiri tepat di samping Dhito berceletuk. Wajahnya tak asing, seperti pernah kulihat--oh, dia kan orang yang menerima berkasku saat aku melamar! "Gue Rudi Heryan. Selamat bergabung, terus..."

"Udah, nanti Rudi ngomong lebih banyak lagi. Yuk, saya tunjukkan tempatnya." Bu Sri memotong dan dengan segera menarikku. Setengah kikuk, aku menunduk ke semua orang dan berlari kecil mengikuti Bu Sri. Ia kemudian berhenti di depan sebuah meja besar berwarna putih bersih yang berdampingan dengan meja yang sama namun terlihat bertuan. "Ini mejamu, dan ini meja saya. Kalau ada yang mau ditanyakan, langsung tanya saja, nggak perlu sungkan. Hari ini kita belajar dulu, ya."

Bu Sri ini tampak mudah sekali dicintai, dengan aura keibuan yang ingin membuatku menangis. Sudah lama tak ada yang sebaik ini padaku. Namun, aku tak boleh merusak hari pertamaku. Aku mengangguk paham. "Terimakasih banyak, Bu."

"Justru, saya juga harus berterimakasih. Sudah lama saya merasa butuh bantuan, tapi kami kekurangan orang. Pak Rayhan itu susah sekali menerima orang baru, dan saya rasa, kamu beruntung sekali."

Jiwaku penasaranku mulai berulah. "Loh, kok gitu, Bu? Padahal, saya juga sejak lulus belum pernah kerja." Aku terdiam sejenak. "Apa karena saya alumni UI?"

Bu Sri mendekatkan dirinya padaku, lalu memelankan suara. "Saya rasa bukan. Pak Rayhan itu kayak bisa punya firasat sama orang gitu. Agak nggak masuk akal, sih, tapi kami semua disini diterima berdasarkan firasat Pak Rayhan. Kapan itu ada yang melamar, lulusan UGM, pernah kerja di beberapa tempat sebelumnya, tapi ditolak. Jadi, ya, mungkin Pak Rayhan punya firasat denganmu. Firasatnya jarang salah, loh."

Firasat. Firasat apa, memangnya? Apa yang bisa diharapkan dariku?

"Ehm," Bisik-bisik kami terinterupsi oleh deham seseorang yang mengejutkan. "Bu Sri jangan bikin saya terdengar menyeramkan gitu, dong."

"Eh, pagi Pak!" Sapa Bu Sri, dan aku secara spontan berdiri dan menunduk. "Pagi, pak! Saya Sofia! Mohon bantuannya."

Terdengar konyol sekali. Kulirik sejenak laki-laki yang kemudian tersenyum itu. "Semangat juga, ya. Baik, Bu Sri, saya percaya sama Ibu. Saya tinggal dulu." Ia berlalu, dan masuk ke salah satu ruang kaca, yang dari awal kutebak memang ruangan pimpinan.

Meski kurasa ia sedikit lebih tua dari Dhito, namun berada di dekatnya berbeda jauh dengan berada di dekat Dhito. Ia lebih berwibawa dan secara tidak langsung seolah 'memaksa' orang untuk menghormatinya. Tipe-tipe pejabat gitu, deh. Ia terlihat tidak terlalu Indonesia, membuatku menebak-nebak blasteran apakah ia?

Aku menepuk kepalaku. Kebiasaan suka berpikir jauh dan tidak nyambung ini jelas harus dihapuskan!

***

Dalam setengah hari, aku sudah dapat menghafal seluruh isi kantor beserta ciri-cirinya. Meghan Retno, perempuan yang tadi terlihat jutek itu adalah Sekretaris Pak Rayhan. Ia terlihat dewasa dan cantik sekali, meski wajahnya terlihat serius terus. Lalu ada Rudi, yang tadi menyapaku, graphic designer merangkap HRD. Lalu bapak yang bekerja dekat Dhito, Pak Setyo, bagian Finance merangkap produksi, dan terlihat yang paling tua di kantor ini.

Bintang kantor ini kurasa adalah Dhito. Menjadi Head of Marketing sekaligus mengurus distribusi, membuatnya memiliki kemampuan yang luwes saat berbicara dengan siapa saja, dan sukses selalu tampil menawan. Ia juga sering menghampiri satu-persatu meja kami, seolah pantatnya tak bisa duduk lebih dari 30 menit. Namun, ia tak menganggu. Ia malah berperan besar membantuku beradaptasi.

Dalam sekejap, hari pertamaku bekerja berlalu begitu saja.

Aku jadi tahu bahwa kami harus menerbitkan minimal dua buku setiap bulan dan memiliki target jual yang tinggi. Lumayan mengejutkan melihat Bu Sri selama ini mengerjakan tiga sampai empat buku sendirian--karena hanya menerbitkan 2 buku saja dan berharap penjualannya sesuai target akan menjadi terlalu muluk--mulai dari menyunting hingga menjadi proof reader, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan 5-6 orang. Namun Bu Sri terlihat santai saja. "Pak Dhito, Pak Rayhan dan Meghan selalu bantu, jadi ya rasanya ringan-ringan saja, kok."

Aku sudah bersiap saat merasakan kehadiran orang lain di dekatku. "Eh, pak." Sapaku.

"Kan dibilang jangan pake pak." Ia pura-pura cemberut. Aku tertawa kecil. "Soalnya, Bu Sri manggilnya Pak Dhito, masa saya manggil Dhito?"

"Kalau Bu Sri sih memang kebiasaannya, nggak bisa diubah. Meghan aja manggil Dhito, kok. Oke, skip. Rumah lo dimana?"

"Em, sa--gue di apartemen, deket sini, kok. The Plaza."

"Lah, deket banget! Bisa-bisa bentar lagi lo disuruh ikut megang kunci kantor. Yaudah, yuk turun bareng." Ajak Dhito. Dari ekor mataku, kulihat kantor yang sudah dimatikan sebagian lampunya, dan hanya tinggal kami berdua disini. "Yang lain udah pulang?"

Dhito tertawa kecil. "Lo nggak nyadar? Dari tadi tinggal elo doang. Serius banget."

Aku teringat sesaat saat Bu Sri izin pamit lebih dulu dan menanyakan dimana aku tinggal, dan dengan lega meninggalkanku saat aku bilang aku tinggal di apartemen tak jauh dari sini. Aku tak sadar saat yang lainnya pulang, selain karena serius menekuni naskah yang diberikan Bu Sri, mejaku juga terletak agak ujung, dan tak perlu melewati meja kami untuk pulang.

Tersipu jadinya aku, malu juga pada Dhito. "Yaudah yuk pulang." Aku menarik tasku; namun alih-alih mendarat dengan sempurna di bahuku, talinya malah tersangkut di pegangan kursi dan isi tasku dengan segera berhamburan. Pipiku memanas. Malu banget! Entah sudah berapa kali berlipat maluku di depan Dhito.

Yang bersangkutan tertawa kencang sekali, sebelum ikut berjongkok dan membantuku mengambil barang-barang yang berhamburan. Pulpen, correction tape, bedak, lipstick, dompet dan--Uh, kenapa harus Dhito yang meraih tamponku?!

Tak ada komentar apapun dari Dhito selain tawanya yang masih mengalir, jadi kuasumsikan Dhito tidak tahu menahu tentang Tampon. Maksudku, berapa persen memang orang Indonesia yang menggunakan tampon? Pasti sedikit. Terus, Dhito kan laki-laki.

Aku jadi lebih tenang setelah berpikir begitu. Setelah mengunci pintu, kami beriringan turun. Lift yang tadi pagi terlihat penuh sesak seperti kopaja, kini kosong melompong. Kurasa, gedung ini juga sudah kosong, karena tinggal sedikit lampu yang masih menyala.

"Lo rada awkward, ya."

"Hehehe, udah biasa."

"Biasa ceroboh juga?"

"Biasa dibilang ceroboh, kikuk dan sepergaulannya."

"Terus, lo nggak coba perbaiki?"

"Susah juga, loh. Kayak udah mendarah daging gitu." Dan Dhito tertawa lagi setelah kalimat terakhirku.

Kami terus beriring bahkan sampai berada di lobi gedung. "Um... pak, eh Dhit... tinggal dimana?"

"Gue sih di daerah Blok M. Pake MRT kesini. Searah kok, stasiunnya."

"Tapi kalo ke apartemen gue dulu kan udah lewat Stasiunnya, Dhit. Lo musti muter lagi dong ke stasiun?"

"Ah gapapa, gue udah biasa jalan."

Dhito benar-benar manis. Dalam sekejap, ia berhasil memukauku. Sejak tadi pagi, sih, kurasa. Ah, mungkin ini karena aku sudah terlalu lama sendiri, jadi aku mendadak dramatis di saat-saat begini.

Sesampainya di depan pintu masuk apartemen, kami berhenti.

"Um...thank you, Dhit." Ujarku kaku.

"No probs. Gue suka kok kalo tiap pulang jalan sama lo gini." Senyumnya.

"Yaudah, duluan ya." aku menunduk sedikit, pamit.

"Eh, Sof."

"Ya?"

Senyum Dhito semakin lebar, namun entah mengapa aku ada perasaan aneh.

"Tamponnya lain kali taro di pouch aja, biar nggak jatuh kemana-mana." Ia mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya lanjut berjalan, dengan tangan kanan yang melambai naik.

Aku mau pingsan saja saking malunya!

Rapurple

Halo, semua! Terimakasih sudah menyediakan waktunya untuk membaca Office Hour! Ini adalah karya perdana saya di GoodNovel, I hope it meets your taste! Let's enter Sofia and the Office world!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status