“Mom, kapan kita akan bertemu dengan Iriana lagi?” Anak laki-laki berumur 9 tahun terus saja bertanya soal bertemu dengan Iriana, membuat Kejora tersenyum.
“Inginnya kapan?” Kejora mengelus lembut rambut milik putranya itu. Rambut coklat yang menuruni gen darinya dan juga rambut yang selalu dielu-elukan oleh neneknya.
“Barta inginnya bertemu besok!” seru anak itu sambil sesekali memeluk leher milik ibunya.
“Ya, besok kita akan terbang ke Indonesia, mengunjungi Iriana, ok?”
“Hu’um!” Barta menganggukkan kepalanya bersemangat, membayangkan wajah gadis kecil yang ditemuinya 3 tahun lalu itu dan merindukannya.
“Memangnya kenapa ingin bertemu dengan Iriana? Dia menangis saat kamu mengejarnya tuh,”timpal Mike yang baru saja pulang dari kantornya.
Dia mengecup lembut kening Kejora lantas duduk di samping istrinya. Kejora sendiri tersenyum saja, seperti biasan
Larasduduk termangu menopang dagu pada kosen jendela kamarnya. Wajahnya yang pucat itu basah karena percikan hujan. Larasmengulurkan tangan, tetesan air hujan berkumpul di telapak tangannya. Berjatuhan ketika ia mencoba menggenggamnya.Ia menatap ke seberang jalan. Matanya menangkap sesosok laki-laki yang berlari menerobos hujan. Menuju jendela kamar tempat ia duduk. Langkahnya begitu cepat karena tungkainya yang panjang. Hanya perlu waktu sebentar saja dan sekarang ia sudah berdiri di hadapan Hanna.Larasberdiri dari duduknya, dengan dua alis yang saling bertaut ia menatap lekat wajah laki-laki yang berada di hadapannya. Senyum seindah bulan sabit tergambar di wajah si laki-laki, lalu tangan dinginnya membelai pipi Larasyang basah.“Hai Han,” sapa si laki-laki di tengah derasnya hujan.“Ilham …,” balas Laraslirih, hampir tak terdengar.Ilham, laki-laki itu merengkuh kedua tangan kecil Lara
“Siapa yang kamu sedang dekati, Andro?” Suara bass sang Ayah menginterupsi pria muda yang tengah memasuki rumah itu. Dia memandang sang ayah yang terlihat begitu mengintimidasi saat ini. Bukan karena apa-apa, namun pria itu tak mau melihat sosok yang paling dibencinya itu. Baru kali ini, pria yang berstatus ayahnya itu mempertanyakan keadaannya. “Memangnya kenapa? Anda tak pernah peduli kepada saya sebelumnya,” sanggah pria itu sambil menatap tajam sang ayah yang terbilang memiliki duplikasi wajah seperti dirinya. Dia membenci jika harus melihat wajah yang sayangnya dia tak bisa mengubah bentuk wajah yang terkutuk itu. Dia memilih untuk melewati sang Ayah tanpa harus bersikap sopan, dia sudah terbiasa melakukannya. “Kamu boleh mendekati gadis manapun, mau itu ningrat atau pelacur sekalipun. Namun, jangan kamu lanjutkan hubunganmu dengan gadis itu, Kejora.” D
Semuanya akan indah pada waktunya. Kata-kata yang selalu Kejora ingat saat dirinya bersama dengan ibunya, pergi mengunjungi sang kakek yang berada di Belanda. Saat itu juga ibunya menangis tersedu sedan, mengadu soal kehidupannya yang menyiksa di kota Utrecht, Belanda. Saat itu dirinya hanya bisa melihat tanpa memahami ucapan orang-orang dewasa di sekitarnya. Yang ia tahu, kakeknya selalu begitu baik padanya dan menyayanginya sepenuh hati. Kejoraterbangun dari tidurnya, dia merasakan kepalanya begitu nyeri bukan main saat ini. “Akh!” Dia mengerang sembari memegangi kepalanya yang terasa seperti dihantam batu besar sampai-sampai saat bangun pun tubuhnya limbung. Kakinya menapaki lantai yang dingin, namun matanya tak sanggup terbuka. Rasanya kepalanya siap pecah dan terberai dengan gaya gravitasi yang semakin menarik tubuhnya merosot. Dia sudah tak kuat! Kejoraberusaha keluar dari rumah kecilnya,
Hal yang lumrah bagi orang yang ditolong adalah berterima kasih. Sayangnya, Kejoramalah tertidur karena terkena efek obat yang diminumnya dan Andromeda tak mau berlama-lama dan bersusah payah menunggui Kejora. Dia sudah membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk wanita itu, setidaknya dia tahu bahwa nama wanita itu adalah Kejora. Cukup sampai situ saja. Karena ponselnya berdering hebat semakin cerewet, itu artinya dia benar-benar akan kembali bertengkar dengan ayahnya di kantor. Kejoratak berpikir apa-apa selama tidurnya. Dia mengerjapkan matanya kian perlahan, mencoba menyadarkan dirinya yang sudah tertidur entah berapa lama. Yang jelas, dia merasa tubuhnya sudah lebih baik untuk saat ini. Tangannya dirasa kebas, saat dia berusaha untuk duduk, saat itu juga matanya melihat tangan kanannya yang ditusuk jarum infus. Baiklah, ini tak lucu. Dia sampai diinfus begini. “Sudah bangun?” Dari samping, entah kapan so
“Ada apa?” Andro sudah disambut oleh sekretarisnya yang menghampirinya dengan terburu-buru dan wajahnya memucat. Padahal dia baru saja memarkirkan motornya di pelataran gedung perusahaan keluarganya itu. “I—itu Pak ... Pak Kelvin ada di ruangan Bapak,” ucap wanita cantik yang rapi dengan gagapnya. Sudah tak heran lagi, memang Brenda, sekretarisnya itu selalu ketakutan dengan ayahnya. Andro hanya berdecak saja, dia sudah melenggang pergi menuju ruangannya sendiri. Sekretarisnya itu mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa gugup. Siapa yang tak ketakutan jika sudah melihat dan menyaksikan secara langsung marahnya
“Yeay ... akhirnya cuti juga kita,” pekik Kania yang sudah kembali merangkul lengan milik Kejora. Gadis dengan rambut panjang yang bercat violet itu ikut tersenyum saja dan memaklumi tingkah dari sahabatnya itu. Sudah satu tahun dirinya bekerja di Nanotechnology Central Corp, milik keluarga Tanuwijaya itu. “Iya ya? Di sini bekerja rasanya tak mendapat hari libur, padahal di Belanda aku bisa cuti dua bulan loh ...,” seloroh Kejora yang menimpali ucapan Kania saat ini. Kania, wanita dengan rambut yang tergerai dan seragam yang mencolok menurut Kejora itu menyambar penuh bersemangat dengan suara melengkingnya, “kamu tuh aneh tau nggak sih, Jora?! Di sana udah enak kamu kerja nggak sesusah di sini, malah pindah ... apa yang lagi kamu cari coba?” Kania menggeleng-g
“Okey, we can meet later in BIP, is that okey?” Kejora tengah berbicara dengan seseorang di balik telpon. Dengan pekerjaan yang masih menumpuk akibat akhir tahun dan audit besar-besaran, maka semua karyawan terkena dampaknya, seperti Kejora salah satunya. Dia bolak-balik ke ruangannya lantas menuju ruangan lain, membuat laporan, menyocokkan dana dan sebagainya sembari dengan benda pipih bernama android itu menempel terjepit antara bahu dan telinganya saat ini. Kania sendiri sudah tak terkena masalah beruntun, karena memang dia hanya menghitung pengeluaran sang atasan saja dan setiap minggu dia membuat laporannya, berbeda dengan bagian administrasi keuangan bidang lainnya, seperti Kejora salah satunya. Dia malah mengekori Kejora yang bergerak ke sana kemari tanpa henti bak setrika yang tengah menghangatkan pakaiannya. “Okey, we will meet at 07.00 pm, bye ....” Kejora menutup panggilannya dan mendesah lelah. Di tang
Kejora tak pernah tahu kalau bertemu pria bule bernama Mike ini menimbulkan efek berkepanjangan. Jelas-jelas pria itu memiliki pesona mematikan dengan mata biru dan rambut jagungnya yang dibiarkan berantakan malah menimbulkan kesan seksi yang tak terkendali saat ini. Tangannya mendadak mengeluarkan keringat dingin nan deras dan jantungnya terus berdetak hebat menyuarakan kegugupannya yang kian kencang seiring matanya menatap dalam-dalam sosok bertubuh tinggi besar tengah menuju ke arahnya sembari melemparkan senyuman mautnya. Deg! Deg! Deg! ‘Berhenti kau jantung sialan!’ maki Kejora dalam hatinya sendiri saat ini. Degupan jantungnya seolah-olah terdengar sampai keluar, dia merasa semua orang memperhatikannya dan mencuri-curi pandang ke arah Mike. Jelas saja, pria itu memang paling berbeda penampilannya di kafe ini. Batinnya tengah bergulat mencoba menghentikan rasa gugupnya, bibirnya terkaatup rapat seiring denga