Semuanya akan indah pada waktunya. Kata-kata yang selalu Kejora ingat saat dirinya bersama dengan ibunya, pergi mengunjungi sang kakek yang berada di Belanda. Saat itu juga ibunya menangis tersedu sedan, mengadu soal kehidupannya yang menyiksa di kota Utrecht, Belanda.
Saat itu dirinya hanya bisa melihat tanpa memahami ucapan orang-orang dewasa di sekitarnya. Yang ia tahu, kakeknya selalu begitu baik padanya dan menyayanginya sepenuh hati.
Kejora terbangun dari tidurnya, dia merasakan kepalanya begitu nyeri bukan main saat ini.
“Akh!” Dia mengerang sembari memegangi kepalanya yang terasa seperti dihantam batu besar sampai-sampai saat bangun pun tubuhnya limbung.
Kakinya menapaki lantai yang dingin, namun matanya tak sanggup terbuka. Rasanya kepalanya siap pecah dan terberai dengan gaya gravitasi yang semakin menarik tubuhnya merosot.
Dia sudah tak kuat!
Kejora berusaha keluar dari rumah kecilnya, di tangannya hanya ada dompet saja. Berisikan beberapa lembar uang nominal rupiah. Matanya terbuka sebentar namun tak bisa terbuka sepenuhnya. Benar-benar menyakitkan!
Langkah kakinya terseok-seok keluar dari bangunan mungil yang baru ditempatinya itu saat ini. Namun, dirinya tetap besikeras keluar. Rasanya tubuhnya semakin melemah beriringan dengan napasnya yang sesak.
“Sial!” umpatnya dengan terengah-engah. Oksigen yang dihirupnya sangat berkurang menuju paru-parunya.
***
“Kamu tidak makan dulu, Andro?” tanya seorang wanita yang mengenakan celemek, wanita itu hanya terpaut sepuluh tahun darinya.
Meski tampangnya cerah dengan bibir mengulas senyuman ramah, bagi pemuda berusia 29 tahun itu sendiri hanyalah sebuah senyuman palsu saja.
Dia berdecak sebal, mata hitamnya menatap tajam tanpa ada perasaan apa pun sedikitpun. “Cih! Tak perlu sok baik begitu, jalang!” sentaknya cepat sambil berlalu melewati ibu tirinya sendiri.
Wanita itu sedikit berjengit terkejut dengan suara berat nan dingin dari putranya sendiri. Matanya berubah sayu dan mendadak kecewa bukan main. Dirinya terbilang begitu lemah di hadapan Andromeda, putra suaminya.
Jana, selaku ibu tiri Andromeda hanya tersenyum miris saja. Sikap Andromeda padanya tak berubah sedikit selama 10 tahun ini.
“Tak perlu kau tawari makan anak sialan itu!” desis Arjan, ayah Andromeda yang tengah berjalan menghampiri Jana.
Andromeda kaku sejenak, tangannya tergantung di gagang pintu. Rasanya selalu sama. Menyakitkan untuk didengar. Bibirnya terkatup rapat sempurna sembari menebalkan telinganya sendiri saat ini.
“Tapi Mas, kasihan Andromeda pasti lapar sema—”
“Biarkan saja! Dia sudah punya uang sendiri, tak mungkin otaknya bodoh sampai lupa makan!” sambar Arjan dengan cepat.
Kedua pria dewasa dengan usia berbeda itu memang selalu nampak permusuhannya. Jana hanya bisa menghela napasnya dengan sempurna seiring dengan matanya yang bersaksi dengan pertengkaran ayah dan anak itu sampai saat ini.
“Saya pun tak butuh dikasihani kalian berdua!” balas Andro dengan tak kalah sengitnya.
Kakinya melangkah keluar dan tangannya melepaskan pintu sampai benda itu berdebam. Blamm!!!
Andro menghela napasnya dengan perasaan lelah bukan main. Namun, bagaimana lagi? Dia masih ingat memori masa kecilnya yang begitu menyakitkan baginya. Ibunya meninggalkannya dengan sang ayah dan ayahnya menikah kembali.
Andro menaiki motor besarnya, dia seharusnya berangkat bekerja namun dia memilih untuk melipir ke lain tempat.
Emosinya yang tengah naik membuat tangannya memutar gas sampai kecepatan motor itu meningkat drastis. Semua perasaan marahnya terhantam seiring roda motornya berputar, membawanya menjauh dari tempat yang dibencinya itu.
Ckiiittt!!!
Matanya terbelalak sempurna dengan napas tertahan, kakinya beruntung bisa refleks menekan pedal rem saat itu juga.
Di hadapannya, tepat di tengah jalan, seorang wanita dengan baju lusuh dan terbuka mencegat dirinya, menghalangi motornya.
Dengan perasaan geram, Andromeda menuruni kuda besinya.
“Kau mau mati hah?!” teriaknya menggelegar.
Grep!
Namun yang terjadi dirinya malah mematung saat tubuh wanita itu jatuh menimpa tubuhnya, sesaat setelah lengannya menyentuh bahu Andromeda saat ini.
“Oh shit! Hey! Hey! Bangun!” Andromeda mencoba membangunkan wanita itu, dia menepuk-nepuk pipinya dengan lembut namun, nyatanya tubuh wanita itu tak sedikitpun tersadar.
Tempat ini terlalu sepi juga, bagaimana ini? dia hanya membawa motornya.
Andromeda berdecak kesal, melihat bagian tubuh wanita itu terbuka di bagian tertentu. Dia tak melihatnya dengan bergairah namun terlalu kesal.
“Sudah bangun?” tanya Andromeda yang melihat mata gadis itu terbuka. Terpaksa Andromeda memindahkannya di teras rumah kosong.
Kejora mengerjapkan matanya perlahan, di mana dia?
Kejora ingin bangkit, saat dia baru saja mengangkat tubuhnya sendiri namun dia mengerang kesakitan.
“Akh!” erangnya penuh kesakitan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Andromeda mersa khawatir.
Kejora masih meringis saja, Andromeda semakin merasa kasihan. Dia melepaskan jaket besar miliknya dan memakaikannya kepada tubuh kurus wanita itu.
Kejora hanya bisa diam saja, dia menyimpan seluruh energinya demi menahan rasa sakitnya sendiri saat ini. Bukan hal yang mudah baginya, jika merasakan sakit di kepala luar biasa begini. Dia benar-benar menjadi tak terkendali kalau sudah kesakitan. Dia bahkan lupa kenapa dia bisa bersama pria itu.
“Ayo, kau bisa bangun? Lebih baik kuantar ke rumah sakit,” ajak Andromeda bersamaan mencoba menggendong Kejora.
Kejora tak mampu menjawab sedikitpun. Dia memilih diam dan menyandarkan kepalanya di punggung pria itu. Sementara Andromeda tengah membawanya menuju mobil yang terparkir. Mobil itu dipesannya dengan online, tak mungkin dia membawa Kejora kebut-kebutan.
“Terima kasih,” gumam Kejora setengah sadar.
Andro mendengarnya, hanya saja dia sendiri memilih bungkam sejenak dan membawa Kejora terlebih dahulu.
Dibaringkannya tubuh gadis itu dan kepalanya terpangku di pahanya. “Ayo Pak, jalan,” perintah Andromeda pada sang sopir.
“Adeknya sakit ya Mas?” tanya sopir itu selagi melajukan mobilnya. Dia melirik keduanya di belakang.
“Bukan,” jawab Andromeda singkat.
Dia memilih diam daripada harus memperpanjang bicaranya.
“Oh bukan, saya kira kalian saudaraan. Mirip soalnya,” celetuk sang sopir itu kembali.
Sepagi ini, si sopir masih bisa-bisanya bergosip tanpa merasa bersalah. Andromeda hanya mendengus saja. Ini juga kalau bukan karena gadis itu yang ada menghalangi jalannya, tak mungkin dia berada di sini.
***
Andromeda masih menunggu gadis itu diperiksa, ponselnya sudah berdering sempurna menampilkan nama ayahnya. Dia sudah masa bodo, kali ini alasannya untuk tak bekerja ada di depan mata.
Jelas saja. Dia baru melakukan perbuatan baik. Menolong orang sakit. Haruskah dia bangga? Entahlah.
Dia ingin pulang, namun dirinya masih menunggui gadis itu. Mana dia tak tahu siapa kerabatnya juga. Heran sekali, kenapa daerah itu sepi sekali?! Sebenarnya gadis itu tinggal di sana kah?
Sekali lagi, Kejora terbangun, dia melihat sekelilingnya. Berkali-kali kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada siapa pun. Dia di mana?
Mengingat kejadian-kejadian tadi, dia sejenak merasa bersalah. Seorang pria telah membantunya. Dan ....
Jaketnya?
Tangannya terangkat dan melihat jaket itu mengurungnya. Jaket yang membuatnya hangat.
Hal yang lumrah bagi orang yang ditolong adalah berterima kasih. Sayangnya, Kejoramalah tertidur karena terkena efek obat yang diminumnya dan Andromeda tak mau berlama-lama dan bersusah payah menunggui Kejora. Dia sudah membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk wanita itu, setidaknya dia tahu bahwa nama wanita itu adalah Kejora. Cukup sampai situ saja. Karena ponselnya berdering hebat semakin cerewet, itu artinya dia benar-benar akan kembali bertengkar dengan ayahnya di kantor. Kejoratak berpikir apa-apa selama tidurnya. Dia mengerjapkan matanya kian perlahan, mencoba menyadarkan dirinya yang sudah tertidur entah berapa lama. Yang jelas, dia merasa tubuhnya sudah lebih baik untuk saat ini. Tangannya dirasa kebas, saat dia berusaha untuk duduk, saat itu juga matanya melihat tangan kanannya yang ditusuk jarum infus. Baiklah, ini tak lucu. Dia sampai diinfus begini. “Sudah bangun?” Dari samping, entah kapan so
“Ada apa?” Andro sudah disambut oleh sekretarisnya yang menghampirinya dengan terburu-buru dan wajahnya memucat. Padahal dia baru saja memarkirkan motornya di pelataran gedung perusahaan keluarganya itu. “I—itu Pak ... Pak Kelvin ada di ruangan Bapak,” ucap wanita cantik yang rapi dengan gagapnya. Sudah tak heran lagi, memang Brenda, sekretarisnya itu selalu ketakutan dengan ayahnya. Andro hanya berdecak saja, dia sudah melenggang pergi menuju ruangannya sendiri. Sekretarisnya itu mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa gugup. Siapa yang tak ketakutan jika sudah melihat dan menyaksikan secara langsung marahnya
“Yeay ... akhirnya cuti juga kita,” pekik Kania yang sudah kembali merangkul lengan milik Kejora. Gadis dengan rambut panjang yang bercat violet itu ikut tersenyum saja dan memaklumi tingkah dari sahabatnya itu. Sudah satu tahun dirinya bekerja di Nanotechnology Central Corp, milik keluarga Tanuwijaya itu. “Iya ya? Di sini bekerja rasanya tak mendapat hari libur, padahal di Belanda aku bisa cuti dua bulan loh ...,” seloroh Kejora yang menimpali ucapan Kania saat ini. Kania, wanita dengan rambut yang tergerai dan seragam yang mencolok menurut Kejora itu menyambar penuh bersemangat dengan suara melengkingnya, “kamu tuh aneh tau nggak sih, Jora?! Di sana udah enak kamu kerja nggak sesusah di sini, malah pindah ... apa yang lagi kamu cari coba?” Kania menggeleng-g
“Okey, we can meet later in BIP, is that okey?” Kejora tengah berbicara dengan seseorang di balik telpon. Dengan pekerjaan yang masih menumpuk akibat akhir tahun dan audit besar-besaran, maka semua karyawan terkena dampaknya, seperti Kejora salah satunya. Dia bolak-balik ke ruangannya lantas menuju ruangan lain, membuat laporan, menyocokkan dana dan sebagainya sembari dengan benda pipih bernama android itu menempel terjepit antara bahu dan telinganya saat ini. Kania sendiri sudah tak terkena masalah beruntun, karena memang dia hanya menghitung pengeluaran sang atasan saja dan setiap minggu dia membuat laporannya, berbeda dengan bagian administrasi keuangan bidang lainnya, seperti Kejora salah satunya. Dia malah mengekori Kejora yang bergerak ke sana kemari tanpa henti bak setrika yang tengah menghangatkan pakaiannya. “Okey, we will meet at 07.00 pm, bye ....” Kejora menutup panggilannya dan mendesah lelah. Di tang
Kejora tak pernah tahu kalau bertemu pria bule bernama Mike ini menimbulkan efek berkepanjangan. Jelas-jelas pria itu memiliki pesona mematikan dengan mata biru dan rambut jagungnya yang dibiarkan berantakan malah menimbulkan kesan seksi yang tak terkendali saat ini. Tangannya mendadak mengeluarkan keringat dingin nan deras dan jantungnya terus berdetak hebat menyuarakan kegugupannya yang kian kencang seiring matanya menatap dalam-dalam sosok bertubuh tinggi besar tengah menuju ke arahnya sembari melemparkan senyuman mautnya. Deg! Deg! Deg! ‘Berhenti kau jantung sialan!’ maki Kejora dalam hatinya sendiri saat ini. Degupan jantungnya seolah-olah terdengar sampai keluar, dia merasa semua orang memperhatikannya dan mencuri-curi pandang ke arah Mike. Jelas saja, pria itu memang paling berbeda penampilannya di kafe ini. Batinnya tengah bergulat mencoba menghentikan rasa gugupnya, bibirnya terkaatup rapat seiring denga
Siapa yang menyangka seorang Kejora bisa terus memikirkan pria di dalam otaknya untuk saat ini? Bahkan dirinya sendiri pun tak menyangka akan bisa seperti ini, terperangkap dengan sosok Mike yang satu minggu lalu ditemuinya. “Kejora, kamu bisa ikut saya rapat ke perusahaan Angkasa Jaya?” ajak atasan Kejora yang merupakan direktur keuangan di sana. Deg! Srekkk! Brak! Perempuan yang dipanggil namanya itu setengah menggebrak meja karena terkejut. Kejora yang tengah duduk melamun terperanjat seketika saat mendengar suara atasannya yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya saat ini. Matanya hampir menggelinding seiring dengan jantungnya yang siap meluncur bebas.
Kalau waktu menjadi pemerhati untuk kedua insan yang saling beradu pandang, maka jelas waktu adalah sesuatu yang bisa dirasa tanpa bisa dilihat dan diraba. Semuanya menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Seperti Andromeda yang tak paham kenapa dirinya capek-capek ikut menunggu dan terus memerhatikan Kejora yang tengah menunggu sang pujaan. Tanpa ada sapaan, tanpa ada bicara dan hanya bertatapan sebentar namun dia memiliki rasa yang aneh tak terdefinisi dalam sanubarinya sendiri saat ini. *** Kejora mendesah bingung, dia menatap ponselnya lama dengan jari yang mematung, menjadi penyangga untuk ponselnya sendiri. Begitupun Andromeda yang melihat terus menerus profil Kejora, merasa aneh dengan gelagat hatinya yang tak membolehkan dirinya menggulir layar ponselnya sendiri. Jarinya bahkan bisa bimbang dalam menentukan akan memberikan love atau tidak. Lucu sekali reaksi tubuhnya saat ini. Matanya seolah-olah ada yang
Suara gaduh di pelataran benar-benar membuat Kejora risih, apa memang di sini jarang melihat pria barat? Oke, wanita asia suka sekali dengan pria Eropa. Jangan salahkan mereka, dia pun sama sukanya saat ini. Sangat lucu bagi Kejora sendiri ketika dirinya pun ikut mengagumi Mike yang datang menghampirinya. Clarissa, wanita yang menggandeng tangan Andromeda itu juga tak kalah menganga seiring matanya yang menatap Mike, pria bule berambut red ginger. Sangat langka. “Wah, cewek itu seleranya mantap juga, pria bule. Tapi, dianya sih ... biasa aja,” tutur Clarissa ikut berkomentar di samping Andromeda. Andromeda tak suka mendengarnya, kenapa wanita harus mengagumi sosok makhluk kolonialisme itu? Dia berdecih, “cih! Memang apa bagusnya mereka? Kalau begitu kenapa kamu tak mencari partner ONS bule juga?” tanya Andromeda masih dengan nada arogannya saat ini. Clarissa, wanita cantik nan modis, dengan