Share

Menyusun Rencana

Menjelang siang, Bu Melvi dan Pak Burhan kembali ke rumah Bu Melvi. Lokasinya tak jauh dari grosir Pak Burhan. Sehingga dulu mereka sering bertemu.

Baru saja masuk ke ruang tamu, mereka menemukan sebuah kertas. Tulisannya 'Aku pulang ke rumah bapak, Bu.'

"Tuh, kan. Kubilang apa, dia pasti milih balik ke rumah bapaknya," gerutu Bu Melvi.

Ia heran sendiri, anak perempuan satu-satunya seperti tidak pernah betah bersamanya. Padahal mantan suaminya pun tidak kaya, tapi anak itu selalu betah di sana.

"Dek, kita kan sudah berduaan nih. Gimana kalau ... belah duren," ucap Pak Burhan sembari mengedipkan sebelah matanya.

Ia benar-benar tak sabar untuk segera melakukan itu. Lagipula apalagi tujuannya menikah kalau bukan untuk menikmati kemolekan istri barunya yang masih fresh.

Bu Melvi menghembuskan napas berat. Dirinya malah malas melakukannya. Tapi, mau tak mau sebagai istri kedua ia harus bisa memuaskan Pak Burhan.

"Masih sing loh, Mas. Lihat tuh, matahari masih di atas." Tunjuk Bu Melvi ke luar jendela.

"Yah elah, Dek. Ngapain aku nikah sama kamu kalau ditunda-tunda terus!" Pak Burhan mulai emosi. Nada suaranya meninggi disertai mata yang melotot.

'Gawat, kalau dia marah terus mana ada tambahan uang jajan,' gumam Bu Melvi dalam hati.

Akhirnya, ia mendekati suaminya. Menggelayut manja di tangan penuh lemak Pak Burhan.

"Ya sudah deh, Mas. Yuk, kita ke kamar." Bu Melvi menarik suaminya ke kamar.

Seketika Pak Burhan berubah sumringah. Birahi kelelakiannya muncul. Mata keranjangnya dimanjakan oleh pemandangan indah dari tubuh istrinya.

Ia seperti singa yang kelaparan. Tak sabar menerkam sang istri. Seketika tubuh besar itu memeluk istrinya seraya menciuminya.

Bu Melvi memejamkan matanya. Membalas serangan sang suami dengan kemampuan yang dimilikinya. Lama-lama ia pun terbawa suasana.

Mereka mulai menikmati hubungan itu. Pak Burhan pun tanpa ragu berada di atas tubuh istrinya. Keperkasaannya ternyata mampu membuat Bu Melvi merasa dimanjakan setelah lama tak tersentuh.

"Maaf ya, Dek. Mas gak kuat," ucap Pak Burhan lesu setelah mengeluarkan cairan kenikmatannya.

"Ah, Mas giliran diturutin kok sebentar banget sih!" gerutu Bu Melvi yang tadi sudah menikmatinya.

"Habisnya nih pinggang sakit tadi. Kayaknya encok kumat lagi." Pak Burhan mengusap-ngusap punggungnya. Wajar di usianya yang sudah masuk kepala lima itu banyak keluhan soal kesehatan.

"Tau, ah!" Bu Melvi mengerucutkan bibirnya.

"Nanti Mas janji bakal kasih yang spesial deh buat kamu. Jangan marah dong." Pak Burhan menjawil hidung istrinya.

"Kalau gitu, aku minta uang lagi dong, Mas. Mau nge-mall." Tangan Bu Melvi menadah.

"Masa uang lagi, tadi pagi aja udah habis setengah juta, Dek. Mas, udah gak pegang cash." Pak Burhan nampak keberatan dengan permintaan istrinya.

"Ya kalau gak ada cash, kartu kredit aja mana."

Pak Burhan mengembuskan napas kasar. Terpaksa ia menyerahkan kartu kredit miliknya. Daripada istri barunya marah tak berkesudahan.

Bu Melvi seketika tersenyum dan langsung bersiap untuk pergi. Ia ingin senang-senang setelah dikecewakan oleh suaminya di ranjang.

***

Sementara itu, di rumah Bu Fatimah, anak-anak dan menantunya masih berkumpul. Mereka sengaja menemani ibunya agar sedikit terhibur dan tidak terus memikirkan Pak Burhan.

"Coba aja Kak Farid sama Mbak Qintan dah punya anak pasti lucu. Bakal ada yang ngeramein rumah juga," celetuk Fitri yang sedang berkumpul bersama keluarganya.

Ia selalu berusaha menghibur ibunya. Bu Fatimah masih sering terlihat sedih, meskipun selalu tersenyum.

"Do'ain aja, usaha jalan terus kok!" balas Farid yang sedang memainkan ponselnya.

Di usia pernikahan yang menginjak satu tahun, belum ada tanda-tanda kehamilan pada istrinya. Sebenarnya mereka pun sangat menginginkannya. Namun, apa daya Allah belum berkehendak.

"Gak apa-apa juga sih. Baru setahun, asal setia terus ya, Kak!" sindir Fitri pada Farid. Ia tak ingin kakaknya itu mengulang kesalahan ayah mereka.

Qintan tertawa pelan. Lucu saja kalau sudah melihat adik kakak itu bertengkar. Padahal Farid sedingin es.

"Tenang ... kalau yang ini aku ikat kuat-kuat pokoknya!" timpal Qintan yang langsung merangkul Farid.

Mereka pun tertawa bersama. Candaan sederhana itu juga berhasil membuat Bu Fatimah tersenyum senang.

"Semoga kalian bahagia terus," ucap Bu

Fatimah yang lumayan terhibur dengan candaan anak-anaknya.

Mereka telah sepakat tak membahas Pak Burhan saat ini. Terutama Fitri yang sudah malas bertemu dengan ayahnya itu. Bahkan jika boleh memilih, ia lebih rela ayahnya meninggal daripada poligami.

"Kak Farid, gak kerja?" tanya Fitri yang melihat kakaknya masih santai.

"Cuti," jawab Farid pendek.

"Toko dijaga siapa?"

"Tutup dulu barang sehari gak masalah kali, Dek. Lagian lagi berduka diatas kebahagiaan," jawab Qintan dengan nada bercanda.

"Hush, kalian ini ngomongnya," tegur Farid.

Toko grosir milik Pak Burhan ada tiga. Satu dijaga Pak Burhan yang letaknya di kampung sebelah, dekat dengan rumah Bu Melvi. Kedua, di pinggir jalan besar, masih di desa ini dan dijaga oleh Farid. Ketiga, di pasar yang dijaga oleh Mang Ujang.

Sekarang terungkap mengapa Pak Burhan sangat betah menjaga toko yang di desa sebelah. Alasannya dulu karena paling dekat dan jalan kampung. Nyatanya itu hanya alasan belaka.

Fitri duduk termenung. Tiba-tiba ia memikirkan cara yang akan dilakukan selanjutnya untuk membuat istri baru ayahnya menderita. Tidak rela saja melihat mereka bahagia setelah menyakiti ibunya.

"Fitri ke kamar dulu, ada tugas kampus," pamit Fitri yang mulai pusing memikirkan ide.

Qintan yang melihat itu menyusul Fitri ke kamar. "Fit, Mbak masuk," ucapnya sembari membuka pintu kamar adik iparnya.

"Mbak tahu, kamu bukan ada tugas kan," ucap Qintan setelah memasuki kamar.

"Tahu aja, Mbak. Kira-kira apalagi yang bisa bikin mereka menderita, tersakiti, dan hancur berkeping-keping!" Fitri merobek-robek selembar kertas saking kesalnya.

Kertas robek itu bagaikan hatinya yang sudah hancur. Rasanya tidak mungkin kembali utuh seperti sedia kala. Keluarganya sudah tidak sama seperti dulu.

"Hmm, gimana ya?" Qintan juga nampak berpikir.

Dia dan adik iparnya memang selalu klop. Mereka bahkan sudah seperti saudara kandung.

"Ayo dong, Mbak bantuin mikir," rengek Fitri sembari tiduran di paha kakak iparnya.

Ia selalu bersyukur punya kakak ipar yang baik. Sehingga rasanya seperti kakak kandung perempuan.

"Ini juga lagi mikir, Fit ...." Qintan menatap langit-langit kamar. Berusaha menemukan ide brilian di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status