"Astaghfirullah, ini kenapa sakit kepalanya tak seperti biasa ya, pusing sekali," ucap Bu Fatimah sambil meringis pelan. Satu tangannya memegang kepala yang terasa begitu berat. 'Kenapa dengan Ibu? Apa jangan-jangan ... ulah orang usil,' gumam Qintan dalam hati. Entah kenapa tiba-tiba ia berpikiran seperti itu. Qintan terus memijit pelipis Bu Fatimah. Lirih suara dzikir terdengar dari mulut ibu mertuanya itu. Kemudian, ia tak sadarkan diri."Astaghfirullah, Mas!" teriak Qintan dengan begitu panik. Ia memanggil Farid yang sedang istirahat di kamar. Suaminya kelelahan karena tadi siang datang barang ke toko yang dijaganya."Ada apa, Dek?!" tanya Farid panik dan segera berlari ke sofa ruang tengah."I ... Ibu, Mas. Pingsan!""Tak biasanya Ibu sampai pingsan jika sakit," gumam Farid heran. Ia kemudian mengangkat tubuh ibunya untuk dibaringkan di kamar. Qintan berusaha membantu di bagian kaki. Qintan menghirupkan minyak kayu putih ke hidung ibu mertuanya agar segera sadar. "Mas, g
Mendengar keributan semakin keras, Pak Burhan bangun dan langsung menuju ke dapur. Ia mendapati istrinya yang terduduk di lantai sedang memaki Fitri."Ada apa, sih?! Pagi-pagi sudah berisik aja!" bentak Pak Burhan sembari melirik ke anak dan istrinya bergantian."Itu Yah, Bunda jatuh kepleset lantai yang baru dipel. Tapi, malah nyalahin aku. Padahal niatku baik, supaya lantainya bersih," jawab Fitri santai. Bu Melvi cemberut mendengar penjelasan Fitri. Tapi, malas menimpali karena ia sedang ada urusan."Mas, bantuin dong! Terserah dia mau ngomong apa." Bu Melvi mengulurkan tangannya."Berdiri aja sendiri," jawab Pak Burhan yang masih kesal pada istrinya tadi malam.Ia langsung melenggang santai ke kamar mandi. Meskipun terdengar istrinya menggerutu karena ulahnya. "Bapak sama anak sama aja. Sama-sama nyebelin," gerutu Bu Melvi sembari bangun sendiri. Fitri menahan tawa, melihat Bu Melvi dicuekin ayahnya. "Sukurin!" ucapnya pelan.Bu Melvi tidak mendengarnya. Ia masuk ke kamar untu
Fitri baru saja selesai kelas di kampus. Lelah terasa saat otak dipaksa berpikir, sedang hati melayang ke masalah di rumah yang tak kunjung selesai."Fit, bengong aja daritadi, ada apa?" tanya Meri, teman sekaligus sahabat sekelasnya."Enggak apa-apa, lagi banyak masalah aja," jawab Fitri lesu."Cerita ajalah, ke kosanku yuk!" ajak Meri dengan ramah. Kosannya memang dekat dengan kampus. Ada di belakang kampus dan bisa lewat jalan gang. "Ayo, tapi sebentar aja, ya." Fitri menyambut baik ajakan itu. Ia merasa butuh juga bercerita pada sahabatnya. Berat rasanya memikul semua sendiri. Mereka berjalan ke gerbang belakang kampus. Kemudian menyusuri gang kecil. Di sepanjang gang kos-kosan para mahasiswa berjamur subur di sini.Meri membuka kamar kosnya. Hanya berukuran 3×3 meter. Di dalamnya cuma terdapat lemari, kasur lantai, juga meja belajar. Selebihnya hanya dekorasi dinding, agar penghuninya betah disini."Jadi, kenapa aku lihat kamu tuh bengong ... aja dari kemaren. Ada masalah l
Hari sudah semakin sore, Bang Karmin bermaksud untuk pulang dari pangkalan. Teman-temannya telah pulang sejak tadi. "Duh, Neng Fitri kemana sih? Apa besok aja ya bilangnya." Bang Karmin kemudian menyalakan mesin motor. Tiba-tiba ada sebuah suara memanggilnya. Suara yang sudah familiar sejak dulu. "Maaf ya, Bang. Aku ada matkul tambahan tadi," ujar Fitri yang sadar sudah menghambat tulang ojek itu untuk pulang. "Gak apa-apa, Neng. Lagian belum malam juga," ucap Bang Karmin saat menoleh ke asal suara yang memanggilnya."Oh ya, Bang. Gimana tadi hasil penyelidikannya?" tanya Fitri penasaran.Bang Karmin mematikan kembali motornya. Ia duduk di motor dengan menghadap Fitri yang duduk di kursi panjang pangkalan."Jadi, tadi saya kan ngikutin Bu Melvi tuh dari salon, dia pergi restoran. Cuma pas saya mau ikut masuk dicegat sama satpamnya soalnya restorannya mewah, Neng. Tahu sendiri dandanan saya kayak gini. Tuh satpam tahu saya gak bakal sanggup beli makanan di sana," cerita Bang Karmin
18Setibanya di rumah sakit, Qintan dan Farid langsung menuju ke ruangan rawat. Masih ada Fitri yang setia menemani ibunya di sana."Kamu bawa apa, Qin? Padahal gak usah segala dibawa. Besok juga Ibu pulang," tanya Bu Fatimah dengan suara parau. "Ini cuma baju ganti sama makanan, Bu. Kasihan Fitri sama Mas Farid belum makan," jawab Qintan sembari menyiapkan makanan di meja. Setelah makanan disiapkan, mereka pun makan bersama. Bu Fatimah hanya menatap sembari tersenyum samar. Ada kebahagiaan tersendiri di hatinya melihat anak dan menantunya akur. "Kak, ada yang mau aku bicarakan," ajak Fitri sembari berdiri. Farid mengangguk dan berdiri. "Ibu istirahat ya, aku mau keluar dulu sebentar," pinta Fitri sebelum keluar ruangan. Bu Fatimah mengangguk pelan. Wajahnya masih pucat pasi. Ia masih sangat lemas, meskipun ingin tahu. Fitri, Farid, dan Qintan keluar ruangan untuk memberi waktu istirahat. Mereka berdiri di pinggir koridor lantai dua. Terhampar pemandangan halaman rumah sakit di
Pak Burhan segera menghubungi anaknya untuk tahu kabar istri pertamanya itu. Fitri tidak menjawab, namun Farid langsung menjawab. Ia pun langsung menuju ke rumah sakit. Motornya membelah jalanan untuk sampai ke sana. Bagaimanapun juga, ada rasa khawatir di hatinya untuk Bu Fatimah. "Mana Ibu kalian?" tanya Pak Farid sembari nyelonong masuk ke dalam ruangan rawat. Fitri menatap sinis ayahnya yang datang. Padahal ia sengaja tadi tidak ingin memberitahu keberadaan ibunya. "Mau apa ayah ke sini? Cuma mau bikin Ibu tambah sakit?" tanya Fitri sengit. "Ayah mau nengok Ibu. Mana ada niatan jelek seperti itu," jawab Pak Burhan tanpa rasa bersalah. Ia mendekat ke arah bed hospital yang ditempati istrinya. Bu Fatimah terbaring lemah di sana. Namun, ia menatap suaminya dengan lembut. Senyumnya pun mengembang walau tipis. "Makasih ya, Mas," ucap Bu Fatimah lirih. "Sama-sama, Dek. Kamu sakit apa? Kok, sampai dirawat sih?" Pak Burhan bertanya sembari duduk di kursi yang ada di dekat sana."C
Pak Burhan terpaksa menghadapi penagih hutang itu sendiri. Walaupun ia tahu akan dimarahi habis-habisan. "Bang, mau ngopi dulu?" tanya Pak Burhan sok ramah. "Gak usah basa-basi. Mana cicilan hutangmu?" Bang Beri menadahkan tangannya. "Em ... gini, Bang. Toko lagi sepi, aku juga lagi ada masalah sama supplier jadi belum ada uangnya. Kasih waktu lagi ya, Bang." Pak Burhan berusaha memberikan alasan yang masuk akal. "Gak ada! Aku gak mau makan alasan, butuhnya duit, ngerti?!" Bang Beri naik pitam. Tak habis pikir dengan Pak Burhan yang bahkan enggan mencicil hutang padanya. "Ya ... mau gimana lagi, Bang." Pak Burhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bang Berri melihat ke arah kedua bodyguard-nya yang berbadan besar. "Masuk, ambil barang berharga di dalam!" titahnya. "Siap, Bang!" Dua lelaki berbadan kekar itu langsung masuk dan menyingkirkan Pak Burhan dengan mudah. Pak Burhan hanya bisa pasrah. Toh, melawan pun tidak akan mungkin. Wajahnya saja masih sakit karena dipukuli an
"Sudahlah, Bu. Gak usah mikirin ayah lagi," jawab Fitri saat sang ibu mempertanyakan ayahnya yang tidak kunjung menjenguk. Bu Fatimah terdiam seketika. Ia mengerti dengan kekesalan anaknya pada Pak Burhan. Memang seharusnya seorang ayah bisa jadi contoh untuk putrinya. Bukan malah sebaliknya. Hari sudah kian sore, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Qintan segera bangkit dari duduknya. Ia bahkan sudah hafal dengan ketukan suaminya di pintu. "Sudah pulang, Mas." Qintan segera mencium tangan suaminya. Mereka pun masuk bersama. Farid langsung menyalami ibunya yang sedang duduk di sofa. Mereka pun kembali duduk bersama. Saat makan malam, mereka menuju ke ruang makan. Untungnya makanan sudah tersaji oleh Qintan. Ia senantiasa melakukan semua pekerjaan rumah di sana tanpa paksaan. "Eum, aku tahu ini masakan siapa," celetuk Fitri di tengah-tengah. "Emang siapa?" tanya Qintan penasaran. Ia sih rasanya sama saja antara masakannya san ibu mertuanya. "Mbak Qintan kalau ini. Punya ciri kha