Pasca penobatannya, Will yang sudah mewarisi sepenuhnya perusahaan Thorn Enterprise kini disambut berbagai macam kompleksitas. Walau harus berkabung lama sejak kematian Sir Edric Arathorn, Will perlahan sadar akan betapa besar tanggung jawab sang ayah selaku CEO perusahaan, jabatan yang kini sudah didudukinya. Semenjak memangku jabatan barunya, Will lebih sering menyendiri di dalam kantor pribadi Sir Edric, tengah berupaya keras untuk memahami program kerja seorang CEO sekaligus mempelajari beragam kemelut ekonomi yang tengah berlangsung di Thorn Enterprise. Kantor yang kini ditempati oleh Will begitu menunjukkan betapa tersohornya sosok Sir Edric Arathorn. Di salah satu dinding tergantung berbagai sertifikat prestasi, penghargaan, dan foto-foto bersama tokoh-tokoh penting dalam dunia bisnis serta potret bersama anggota Keluarga Kerajaan Britania Raya. Terdapat juga sebuah peta dunia yang diletakkan di belakang meja kerja, menandakan betapa luas jangkauan bisnis Thorn Enterprise. Di
Alasan mengapa Will selalu menyempatkan waktunya di pukul 05.00 sore, hingga rela mengabaikan banyaknya jadwal pertemuan yang sudah masuk dalam rekapitulasi sekretarisnya, tak lain karena taman pemakaman Carleton tak ramai didatangi pelayat pada waktu-waktu itu. Will ingin menghabiskan sisa sorenya dengan mengunjungi makam sang Ayah secara rutin. Pohon Maple yang tumbuh di samping makam Sir Edric menjadi saksi bisu, dahan dan ranting menjadi payung alami yang menjaga nisan pualam tetap teduh, serta menghiasi dengan pancar bayang-bayangnya. Will bersandar di batang pohonnya, lipatan jas diletakkan di samping kiri ia duduk, duduk sambil menekuk kaki kanan. Kepalanya menengadah, memandang sendu langit senja. Will tak datang dengan tangan kosong. Di samping kanannya sudah ada sebotol Wiski dengan isi bersisa setengah. Kini ia tengah memegang shot glass berisi Wiski di tangan kanan, menimpa lengan kanan di atas lutut untuk mengambil jeda sejenak, sebelum melanjutkan tegukan. "Satu p
Petang berganti malam. Sekitar dua jam berselang selama Pascal memacu motor cruiser miliknya, melaju kencang bersama Will, mencari tempat aman setelah berhasil kabur dari para penembak di makam. Selama dirinya berkendara menyusuri jalanan Pascal sesekali menoleh ke spion motor, melihat Will yang tak berhenti memegangi hidungnya. Sambil terus menarik gagang gas di kanan agar motor tetap melaju, Pascal merogoh saku jaket dengan tangan kiri, mengambil sapu tangan lalu memberikannya pada Will. "Ini. Sumpal hidungmu sampai darahnya berhenti," ujar Pascal. Tidaknya menerima pemberian Pascal, Will membuka tangan di wajah, menunjukkan bentukan hidung pada Pascal, terlihat dari spion batang hidung serta tulang rawan yang sudah bergeser posisinya, akibat dari sikutan kuat Pascal saat Will mabuk di makam. "Apakah sapu tanganmu juga bisa memperbaiki hidungku?" sungut Will kesal. "Mau bagaimana lagi? Kalau tak kuhantam kau takkan sadar, kan?" balas Pascal. Setelah lama berkendara, Pascal mem
Usai menghabiskan makan malam bersama Will di sebuah restoran cepat saji kecil, Pascal dan Will melanjutkan perjalanan di tengah malam yang semakin larut. Memacu motor menuju arah barat daya, melewati jalanan perkotaan yang mengarah pada wilayah perbatasan kota. "Sepertinya kita baru saja keluar dari Blackpool. Boleh aku tahu ke mana lagi kau akan membawaku, Pascal?" tanya Will yang duduk di boncengan, seraya memicing mata akibat desir angin seiring kecepatan motor, bicara dengan nada tinggi agar suaranya tak tersamar deru mesin. "Bolton! Ingat Agen MI6 yang juga ikut ke dalam misi? Dia baru saja mengirimkan koordinat ke ponselku. Mungkin kau bisa segera menemui Dame Hanneli sesampainya di sana!" balas Pascal juga dengan nada tinggi, agar suaranya dapat terdengar oleh Will, walau suaranya sedikit terbekap oleh kedap helm fullface. Will merasa menghela nafas, sedikit lega setelah mendengar jawaban Pascal, walau kini risau masih bersisa mengingat bahwa Elly telah diculik oleh IRA. "
"Ungu itu apa? Apakah terlihat indah?""Tidak semua warna bisa dinikmati keindahannya oleh mata, Elly.""Tidak semua? Memangnya ada warna yang tidak bisa dilihat?""Coba tarik nafasmu perlahan. Lalu katakan. Bagaimana aromanya?""Wangi! Terasa manis! Ini aroma apa?""Gadis pintar. Inilah aroma dari warna Ungu. Kau suka?""Suka! Suka sekali! Boleh aku tahu dari mana asal aroma ini?"Dari dua bunga berbeda, namun serupa warnanya. Sengaja diracik agar kau kenal indahnya Ungu."Apa itu berarti, aku hanya bisa mencium wangi ini, jika dekat denganmu? Ibu?"Sekelibat suara samar sirna seketika, kelopak mata terbuka tiba-tiba, Elly terperanjat bangun setelah tak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Kedua tangan dengan cepat meraba, jemarinya merasakan halusnya kain sprei yang membalut tempat tidur berpegas.Dengan cepat Elly mendu
Ribuan pengunjuk rasa memenuhi pintu masuk gedung Thorn Enterprises pada siang hari di Blackpool. Mereka menunggu CEO perusahaan keluar dan memberi keterangan terkait kesenjangan upah di salah satu anak perusahaannya, Thorn Construction. Para petugas kepolisian Blackpool dikerahkan untuk membuat barikade di depan pengunjuk rasa, demi mencegah terciptanya kericuhan. "BAYARKAN HAK KAMI!" "BAYARKAN HAK KAMI!" "BAYARKAN HAK KAMI!" Begitu riuh mencipta hiruk pikuk para pekerja berbondong-bondong, memenuhi pelataran salah satu gedung pencakar langit di kota Blackpool itu. Saking ramainya, ruas jalan di sekitar gedung itu terblokade, aksi unjuk rasa menutup akses kendaraan. Aksi ini juga berhasil mencuri perhatian para wartawan dari berbagai media kenamaan, para pekerja jurnalistik telah mengambil tempat untuk menyoroti. "Disiarkan langsung dari Blackpool, seperti yang anda lihat dibelakang saya, pengunjuk rasa yang didominasi oleh pekerja konstruksi Thorn Construction terus menyerukan
Hana melangkah sembari menggandeng tangan Elly memasuki Starbucks, terlihat para pelayan sibuk menyiapkan pesanan para pembeli yang mengantri, serta ada pria berjanggut tipis dan berjaket kulit merah duduk disalah satu meja, menunggu sembari menggulir layar ponsel. Hana yang mengetahui siapa pria itu langsung menuntun Elly duduk dihadapannya."Hana tunggulah diluar.""Apa? Kau gila?""Ini masalahku Hana, tidak apa, sebentar saja kok.""Kalau apa - apa terjadi ingat, panggil aku, oke?"Menuruti permintaan Elly, Hana keluar dan menunggu Elly di balik pembatas kaca, ditemani dua pria berjas yang menjemput mereka sebelumnya. Pria berjaket kulit merah dihadapan Elly langsung mematikan ponselnya melihat orang yang ditunggunya sudah hadir."Okay, Shall we?" tanyanya pada Elly. "Hei dua Frappucino cepat!" perintahnya pada pelayan kedai."Aku rasa kau sudah menunggu kedatanganku. Namun sebelum itu, bagaimana caramu menemukanku, Tuan...?" tanya Elly santai."Owh! Willfred Arathorn, panggil
Meski sudah diberi headset untuk meredam suara mesin helikopter di tengah penerbangan, Elly masih gemetaran sambil memeluk erat Hana. Hana yang melihat temannya panik tidak bisa berhenti khawatir, terus mengelus kepala Elly untuk menenangkannya."Elly? Elly? Hei kau dengar aku?" tanya Hana yang memastikan komunikasi antar headset dengan Elly berjalan baik."Ke-ke-kecilkan suaramu, Hana," rintih Elly gemetar.Awak helikopter yang menjemput mereka tadi terheran melihat Elly yang begitu paniknya hanya karena mendengar suara mesin helikopter. "Maaf jika lancang, boleh aku tahu apa yang terjadi pada teman anda?" tanyanya."Pendengarannya sensitif, ia sering panik ketika mendengar suara - suara keras," jelas Hana. Mendengar penjelasan Hana, si awak hanya mengangguk paham tanpa bertanya lebih lanjut, takut salah bicara.Setelah menjalani sekitar dua puluh menit penerbangan, akhirnya tujuan pendaratan helikopter sudah mulai terlihat. "Bersiaplah, Nona-nona, sebentar lagi kita akan mendarat,"