Share

Part 3. Dia Calonnya?

Tak ada yang tahu bagaimana jodoh datang, bisa saja seperti dengan melakukan satu perjodohan.

***

Rumah begitu rame pagi ini. Ibu-ibu tengah memasak untuk tamu. Ralat. Lebih tepatnya calon suamiku. Sumpah, aku tidak ikhlas mengatakannya. "Rhena, kamu belum siap-siap?" ucap satu tetangga yang baru saja datang.

"Iya nanti, Tante, ini masih pagi juga."

"Ini udah jam 10 loh, bentar lagi siang kamu belum mandi juga?"

Aku menyengir bagaikan kuda. Bagaimana mau mandi pagi sedangkan aku sibuk mengurusi tanaman samping rumah. Ibu sangat bersemangat mempersiapkan banyak hal sampai melupakan tanaman ini. Setelah itu aku harus membantu kedua adikku memilih pakaian juga menyetrikanya.

Lika dan Seni jauh lebih bersemangat dari aku. Adapun bapak pagi tadi keluar rumah entah sedang apa. Harapanku semoga bapak tidak harus meminjam uang hanya untuk lamaran ini. Dan aku sendiri? Masih dengan baju yang kupakai tidur dengan cepolan rambut asalan.

"Iya Tante nanti mandi, kok," ucapku memastikan.

"Cantik banget sih kamu. Calon suami kamu pasti bangga nikahin kamu. Yasudah aku kebelakang bantuin yang lain dulu, sana siap-siap," katanya lalu meninggalkan aku yang tengah memegang sapu habis menyapu teras rumah.

Bangga nikahin aku karena cantik? Sial. Aku bukan boneka jika hanya ingin dimiliki karena cantik. Aku harap calonnya nanti tidak berpikir seperti itu. Untuk apa menikah jika pikiran pendek seperti tadi dipertahankan. Ada-ada saja tante yang tadi ngomongnya ngelindur.

Aku menggeleng dan masuk ke rumah, menggantung sapu dibelakang pintu utama yang terbuat dari kayu. Langsung saja masuk ke kamar dari pada harus ditanya lagi kenapa belum siap. Aku tidak ingin berpikir negetif, jika terus seperti ini bisa saja aku melarikan diri seperti banyaknya drama ditelevisi.

Tapi lagi-lagi aku memikirkan kedua orang tua. Bagaimana mereka akan menghadapi tetangga nantinya ketika ditanya-tanya. Lalu bagaimana kedua adik perempuanku? Tidak kubiarkan terjadi. Kubiarkan menenggalamkan ego dan mimpi dari pada melihat ibu dan bapak menderita.

"Kak Hena," pekik Seni masuk ke dalam kamar. Anak itu terlihat sangat gembira.

"Kak Hena bentar lagi nikah, yeah!" serunya sambil berputar-putar seperti menari. "Nanti ada dong yang kasih aku tambahan uang jajan," lanjut Seni.

"Sini aku kepang rambutmu," ujarku menarik lengan Seni ke hadapanku. Aku mengambil sisir yang tadi aku pakai berada disampingku. "Seni lebih cantik kalau rambutnya diikat seperti ini."

"Kak, abis nikah nanti tidur di mana? Rumah kitakan cuma punya dua kamar." Syurr. Aku gelagapan ingin menjawab apa. Adapun yang ibu katakan tadi malam aku tidak akan tinggal di sini melainkan ke kota tinggal bersama suami.

"Nanti aku nggak tinggal di sini tapi akan ke kota."

"Maksud Kakak?"

"Aku akan tinggal di rumah suaminya Kakak."

"Kok gitu, sih?"

"Memang ketentuannya seperti itu, anak perempuan akan ikut suaminya. Kata Ibu seperti itu, Dek."

Seni langsung bergerak sampai kepangan rambutnya tadi belum sempat ku ikat kembali berantakan. "Tapi kak Embun tinggal di rumahnya, suminya tinggal bareng dia. Kenapa Kakak nggak bisa tinggal di sini?"

Aku terdiam. Bagaimana bisa kujawab pertanyaan Seni. Kenyataannya memang seperti itu kalau Embun tinggal di rumahnya bersama sang suami. Akupun bingung kenapa seperti itu dan apa yang bisa kujawabkan ke Seni?

"Hena kamu belum mandi juga." Ibu masuk langsung menegurku. "Sana mandi, udah siang belum siap juga," lanjutnya yang hanya kuangguki. Berkat Ibu aku terhindar dari pertanyaan Seni.

* * *

"Apa kamu menerima lamaran anak kami Deni kepada anak Anda Rhena," ucap satu pria sekaligus ayah dari anaknya. Tapi kenapa pemuda itu tidak ada di sini? Ke mana perginya?

"Dengan izin Allah kami menerima lamarannya," ucap Bapak berada disampingku. Aku hanya tersenyum kecut ketika orang-orang tersenyum bahagia dan memberi ucapan selamat.

"Waktunya pemasangan cincin." Saat kalimat tadi terucap saat itulah seorang pemuda masuk ke rumah.

Apa dia calonnya? kataku untuk pertama kali. Aku tidak pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Ibu hanya bilang nama lengkap, umurnya sudah 29 tahun. Telah bekerja sebagai salah satu direktur muda bertahun-tahun lalu diperusahan pamannya dan memiliki usaha loundri besar dan sudah memiliki 5 cabang juga.

Ketika ibu bercerita aku hanya mengagguk dan menjawab seadanya. Aku memang mulai tertarik ketika ibu menceritakan kekayaannya. Aku akui dan tidak munafik akan itu. Tapi, jika bisa memilih aku lebih baik melanjutkan sekolah dari pada menikah diumur 18 tahun.

Spontan aku kaget ketika pemuda ini sudah tiba dihadapanku dan siap memasangkan cincing pertunangan. Cincing ikatan kami untuk lebih kejenjang yang serius. Lagi-lagi aku hanya tersenyum ketika cincing mahal masuk ke jari manisku.

Kemudian aku yang memasangkan cincin kepadanya. Entah berapa uang yang harus dikeluarkan membeli cincin berlian untukku. Semua ibu-ibu bertepuk tangan senang melihat ketika aku berhasil memasangkan cincin ke tangan Deni. Mereka bersorak ria dan memberi kembali ucapan selamat.

Setelah acara selesai tamu a.k.a keluarga Deni, eh. Aku harus memanggilnya apa sekarang? Kak? Paman? Om? Mengingat umur kami terpaut 11 tahun.

Sekilas aku menatap calonku, saat itu dia juga menatapku. Mata kami akhirnya beradu satu sama lain. Kini pertanyaan-pertanyaan memenuhi kepala. Kenapa dia menerima perjodohan ini? Apa spesies perempuan di luar sana punah sampai mau ke anak kecil sepertiku?

Apa ada niatan khusus maka dari itu menerima perjodohan ini? Ataukah dia hanya ingin main-main saja? Ah! Lagi-lagi pikiran negetif memenuhi kepalaku. Lagian kenapa juga harus sama aku? Jika aku jadi dia lebih baik memilih perempuan yang sepadan dan seumur dari pada aku bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status