Share

Bagian 6. Bertemu Lagi

Mungkin pertemuan kita ini hanya sekadar pertemuan yang tak akan berarti apa-apa.

***

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa acara pernikahan akan terselenggarakan. Ibu, bapak, aku dan Nea ke kota mengecek gedung tempat berlangsungnya pernikahan. Bukan itu saja melainkan orang tua Deni memesang beberapa kamar di hotel di mana jarak antara gedung dan hotel cukup dekat hanya bersampingan saja.

Ketika orang tuaku masuk gedung. Aku lebih memilih menarik Nea tidak masuk ke sana. Mengajak Nea berkeliling. Lebih tepatnya sedang mencari makan siang untuk kita berdua.

Jujur saja aku tidak ingin ambil pusing persoalan pernikahan meski yang akan menikah itu aku. Aku hanya mengikut apa kata orang tuaku saja. Dan lebih memilih mencari makan disekitaran dari pada menghabiskan waktu di dalam gedung.

Berharap bisa mendapati jajan atau tempat makan pinggir jalan. Bukan apanya, aku tidak memiliki cukup uang untuk makan ditempat bagus seperti restaurant ataupun cafe. Maka dari itu kami memilih mencari makan pinggiran jalan, di mana rasanya juga khas dan enak. Perlu diketahui bahwa jajanan pinggir jalan juga tak kalah lezat dari makanan cafe.

Setelah berkeliling 15 menit. Mataku tertuju ke satu gerobak tak jauh lagi. Segera kutarik pergelangan tangan Nea di mana dia hanya mengikut. Pandangannya berkeliling melihat kota dan padatnya kendaraan berlalu lalang.

Napasku hampir tercekat saat sampai depan gerobak. Melepas tangan Nea dan berusaha menormalkan napas ini. Entah apa yang dipikirkan sahabatku ini sampai-sampai tidak melihat aku disampingnya. Dari tadi matanya hanya terfokus ke sekitaran.

"Kak, pesan dua batagornya. Yang satu pedas dan yang satu nggak pedas." Bagaimana tidak kupanggili Kakak saat dia masih sangat terlihat muda. Mungkin sekitaran tua 5 tahun dari aku.

"Mau dimakan di sini atau dibungkus?" tanya dia ramah. Aku melihat banyak kursi yang kosong di dalam tenda. Saat itu senyumku merekah karena senang. "Makan di sini saja."

"Nea ayuk duduk." Aku menarik Nea kembali.

"Ah, eh, iya, maap Rhena aku terpukau dengan suasana kota begitu rame," ucapnya sambil menyengir kuda. Kami akhirnya duduk berdua saling berhadapan.

"Kalau aku tinggal di kota pasti betah banget. Mana di sini makanan mudah dicari. Di desa kita mau makan begini saja harus ke desa sebelah," kata Nea sedikit cemberut. Aku hanya tersenyum, lagian yang dia katakan semua adalah fakta.

"Makanya nikah aja sama orang kota biar bisa tinggal di kota," ejekku lalu menutup mulut tertawa sendiri.

"Yeh, enak aja. Umur aku masih 20 tahun belum boleh nikah. Kamu aja tuh yang kecepatan nikah padahal masih umur 18 tahun," cerocos Nea sambil menatapku. Seketika tawa tadi langsung berhenti mendengar fakta-fakta tersampaikan darinya. Padahal diumur ku dan umur Nea sudah cukup untuk menikah.

"Ini bukan mauku, Nea. Mauku ingin menyelesaikan sekolah tinggal 1 semester tapi orang tuaku berkata lain."

"Tetep saja, kamu nggak nolak berarti mau."

"Aku udah nolak tapi orang tuaku memaksa." Aku tersenyum kecut atas pengutaraan barusan. Jika saja Nea tahu aku ingin terlepas dari perjodohan ini, aku tidak ingin melakukan ini semua dan aku hanya ingin melanjutkan sekolah juga mengejar mimpiku.

Tak lama pesanan kami datang. Mata Nea terlihat berbinar melihat porsi batagor begitu babyak dan aroma menggiurkan. "Ayuk makan, Rhena. Nggak usah bahas itu dulu," ujarnya kulihat membaca doa kemudian memakan makananya.

Sudah aku katakan Rhena memang sedikit aneh, terkadang menyebalkan. Terkadang juga semanis ini. Jika saja dia bukan sahabatku sudah kupastikan Nea kubuang ke Antartika.

"Ahh, pedis bangettt," pekik Nea sambil terbatuk kecil. Aku panik dan berdiri dari duduk. Baru saja tadi aku ingin memakan batagor punyaku, namun, Nea mengagetkan.

Karena gelas di meja ini tidak kulihat tersedia jadilah aku segera ke gerobak tadi meminta gelas darinya. "Kak, minta gelasnya." Tanpa melihat ke arah penjual aku segera menuju ke Nea saat ditanganku ada gelas.

Segera kutuang air dingin tersedia di meja buat Nea. Perempuan itu langsung saja meneguk banyak kali sampai rasa pedas itu terhenti. Kusapu punggung Nea setelah berhenti minum. Aku melihat batagornya lalu beralih ke batagorku. Membulatkan mata ternyata punya kami tertukar.

Nea dangat tidak suka dengan pedas. Aku juga sampai lupa memeriksanya ketika diberikan batagor sama kakak penjual. "Kamu sih nggak cek dulu," omelku ke Nea masih mengibas tangan ke wajahnya memerah akibat kepedasan.

"Pedas banget Rhena," keluhnya membuatku bingung harus apa.

Seseorang dari belakang menepuk pundakku. Mungkin kakak penjual tadi. Leherku berbalik kebelakang melihat siapa. Betapa terkejutnya aku melihat pemuda itu sambil menyodorkan tangannya terisi beberapa permen ke arah aku. Kulit putihnya sangat mendukung bentuk wajahnya begitu perfect.

Pemuda yang sempat aku tabrak di rumah dan sekarang bertemu ditempat seperti ini. Sedangkan Nea tadi masih mengibas ikut berbalik. Dia juga sangat kaget melihat pemuda tampan itu. "Ambil ini buat teman lo," ucap nya ramah langsung kuangguki begitu saja. Sebenarnya siapa sih dia? tanyaku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status