Share

Part 8. Obrolan Sebelum Tidur

Telah terjadi, kini menguatkan mental untuk menghadapi.

•••

Aku menghela napas begitu berat dan masalah kasur setelah mengganti pakaian dari tas yang ibu bawakan 1 jam lalu. Ibu juga memintaku mengganti dan istirahat di kamar hotel sebelum besok pulang. Otot-otot badanku rasanya kaku juga tulang punggungku terasa remuk.

"Hari yang sangat melelahkan," ucapku bermonolog lalu meniup rambut tengah untuk menutupi wajah.

Mataku membocorkan langit-langit hotel yang bersih. Pikiran ini sedang berlayar di tengah ombak kencang hampir menenggelamkannya. Menghela napas begitu lelah. Sungguh aku tidak menyangka jika aku telah menjadi istri dari seorang pemuda yang tak pernah aku kenal kecuali di hari lamaran.

Sudah, semua sudah terjadi. Lalu mau apa lagi? Selai kulirik dinding telah menunjukkan pukul 10 malam. Aku pikir hanya ada acara disiang hari tapi malampun ada di mana pihak keluarga mempelai wanita dan laki-laki makan bersama. Sebagai bentuk silaturahim antar keluarga. Katanya seperti itu.

Kututup mataku pelan-pelan ingin masuk dalam mimpi. Aku harus segar untuk cerita hari esok. Baru saja kupejamkan mataku beberapa detik. Saat itu ketukan pintu membangunkan aku kembali. Ah, aku bahkan hampir lupa pintu itu tidak terkunci. Entah masalah apa lagi yang timbul saat pintu itu tak terkunci.

"Masuk saja buu." Aku lanjut mata memejamkan. Mungkin itu ibu yang ingin mengecek keadaanku. "Hena baik-baik saja buu," lanjut aku agar wanita tersebut tidak merasa khawatir.

"Ini gu-aku Deni," ucapnya lalu menutup pintu. Telingaku bahkan bisa mendengar jika dia sudah mengunci pintu tadi.

Aku langsung saja terbangun dan panik melihatnya. "Ke-kenapa ke sini?" tanyaku segera berdiri dari kasur.

"Ini kamar kita malam ini."

"Hah?"

"Kita udah menikah, Rhena," kata Deni mengungkap kenyataan. "Apa salahnya kita dalam satu kamar?" lanjutnya bertanya.

"Si-silakan tidur di sini saja. Aku akan tidur di bawah kasur," ujarku langsung mengambil bantal juga selimut untuk lapisan.

"Tidak usah, sana tidur di kasur. Kita akan tidur bersama." Deg. Apa maksudnya tidur bersama?

Tiba-tiba terlintas ucapan Nea.

Aku tidak mempedulikannya dan tetap melebarkan selimut ke lantai untuk aku tiduri tapi laki-laki ini langsung saja mengambil selimut itu dan menarik lenganku tidur di kasur.

"Sudah aku bilang tidur dikasur, Rhena," ucapnya tidak lembut dan juga tidak kasar.

"Kenapa?" tanya Deni melihatku sedikit gemetar.

"Kita harus tidur Rhena. Aku sudah ngantuk." Deni kembali menarikku ke kasur dan bantal diambil dari lantai. Aku hanya menurut kata dia tanpa ingin membantah takut kedua orang tuanya dengar di mana kebetulan kamar kami bersebelahan.

"Udah semester berapa?" tanyanya mencairkan suasana ketika keheningan melanda beberapa detik. Di mana posisi aku dan dia sedang berbaring. Namun, aku tidur sangat menepi dan membelakanginya memelut erat guling.

"Aku udah kelas 12 SMK. Tapi sekarang tidak lagi." Masih dengan posisi yang sama enggan berbalik.

"Gu-eh, aku kira udah kuliah." Terjeda sebentar. "Umur kamu?"

"18 tahun. Baru saja ulang tahun bulan lalu."

"Serius?" tanya dia dengan nada yang cukup besar. Aku pikir dia sedang terkejut setelah mendengar sebuah fakta. Apa orang tuanya tidak memberi tahu dia terlebih dulu?

"Aku tidak berbohong." Entah kenapa tubuh ini langsung berbalik menghadapnya.

"Tapi dari wajahnya terlihat tidak seperti usiamu. Kamu terlihat seperti mahasiswi." Dia ikut berbalik ke arahku. Kini kami saling menatap. Tangan kekarnya langsung saja memegang pipiku. Tidak sopan, ucapku dalam hati.

"Iya beberapa orang beranggapan sepertu itu. Tapi kenyataannya aku masih sekolah." Segera aku berbalik agar tangannya tak lama mengusap wajahku. "A-aku mau tidur. " Selimut aku tarik menenggelamkan seluruh tubuhku kecuali bagian kepala.

Deni bangun. Aku pikir dia akan pergi ke kamar mandi. Ternyata lampu kamar belum mati. Hanya menyisahkan lampu tidur yang remang-remang. Setelah itu dia kembali tidur dibelakangku. "Berapapun umurmu aku tidak peduli. Kamu sudah menjadi istriku," bisiknya tepat ke telingaku.

Aku semakin terkejut saat kedua tangannya melingkar ke perutku. Sial! Jika saja dia belum menjadi suami. Sudah kupastikan tanganku akan menamparnya keras-keras. Bagaimana aku bisa tidur dengan posisi seperti sekarang. Atmosfer dikamar terasa panas dan menyesakkan.

"Aku tahu kamu belum tidur. Apa kamu mau melakukannya?" bisiknya kembali setelah aku hitung dari 1 menit lalu ketika melihat hasil ke purutku.

Aku mengumpat. Menutup mulut erat seperti ada lem di sana. Biarkan saja dia berbicara dan melantur sebanyak mungkin. Aku tidak peduli hanya memilih menutup mata tanpa ingin melihatnya. Dia sedikit mendekat hingga sejengkal jarak antara kami. Lama-lama aku akan menghilang dari sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status