Share

My enemy, My husband
My enemy, My husband
Author: Chairunnisamptr

PROLOG

"He killed many women."

....

Pukul satu lewat enam belas menit dini hari terlihat pada jam tangan yang gadis berpakaian minim itu kenakan. Dia berjalan sempoyongan di gang kecil tak jauh dari The Blue Hill, sebuah klub malam yang cukup terkenal.

"Ck," decakan itu lolos karena ponselnya terus-terusan berdering.

"Siapa sihh?!" kesalnya sembari berhenti melangkah dan bersandar pada tembok yang berada disampingnya. Tangannya merogoh tas hitamnya dan mengeluarkan ponsel dari sana.

Papa is calling...

"Ah! Berisik banget," tanpa menunggu lama dia langsung me-reject panggilan. Lalu kemudian kembali berjalan dengan menjadikan tembok itu sebagai pegangan agar dirinya tidak terjatuh.

"Tolonggg!"

"Mphhh! Tolongg!"

Langkah gadis itu seketika terhenti. Dia berjalan selangkah ke depan lalu mengintip dari ujung tembok. Matanya menyipit, berusaha untuk melihat objek itu dengan jelas dikarenakan tempat ini minim cahaya.

Dia pun melebarkan matanya sendiri, di sana terlihat seorang gadis yang tak sadarkan diri dengan darah dibagian lehernya, bajunya tersingkap hingga perutnya terekspos, lalu kemudian mata gadis itu beralih melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam, wajahnya tak terlihat karena terhalang oleh topi yang dia kenakan.

Lelaki itu tampak menyeret seorang gadis lain, dia menutup mulut gadis itu lalu membawanya pergi.

"Itu apaan, sih?" gumamnya. Tangan kirinya terangkat untuk mengusap kasar wajahnya. Lalu kemudian kembali melanjutkan langkah. Dia tak terlalu menanggapi apa yang dilihatnya tadi karena mungkin, dia tengah halusinasi akibat minum terlalu banyak.

Namun baru beberapa langkah berjalan, kedua kakinya tertahan karena bayangan seseorang yang kian mendekat ke arahnya. Gadis itu lantas mengangkat wajah, melihat lelaki tinggi besar yang berada beberapa meter di depannya.

Di tangan lelaki itu terdapat pisau berwarna merah akibat darah, bahkan darah itu masih menetes jatuh mengenai jalanan aspal.

Gadis itu lantas melangkah mundur karena lelaki itu kian mendekat ke arahnya, dia lalu berjalan cepat ke arah gadis itu dan mengayunkan pisau ke arahnya.

"AAAAAA!"

Allura Morieza, gadis itu bangkit duduk dari tidurnya dengan napas terengah-engah karena mimpi buruk yang ia alami. Menyadari jika memimpikan hal yang sama berkali-kali, ia pun mengacak rambutnya sendiri.

"Aish, mimpi sialan," decaknya kemudian beringsut turun dari ranjang. Dia berjinjit melewati berbagai sampah yang berserakkan di kamarnya. Ada botol alkohol, minuman soda, snack, bahkan pakaian dalam yang sudah berhari-hari terletak di sana.

Dia menuju ke dapur untuk minum, lalu kemudian duduk di sofa dan mengambil bungkusan snack yang telah terbuka di atas meja, lalu mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam mulut karena hanya tersisa sedikit.

Pintu apartemennya terbuka, dan Lura lantas memasang wajah malas karena pasti sebentar lagi dia akan kena siraman rohani. Tinggal menghitung mundur dari angka tiga saja.

Tiga

Dua

Satu

"ASTAGA LURAA! INI APARTEMEN APA KADANG HEWAN, HAH?!" teriak Lana--Mama Lura, sembari berjalan masuk ke Apartemen anaknya. Dia tercengang melihat betapa joroknya ruangan yang ia injaki kini.

"Yaelah, biasa aja kali, Ma. Masih bersih ini," elak perempuan yang mengenakan tanktop putih dan hotpants itu sambil menggigiti bungkusan snack yang telah habis.

Lana menggelengkan kepalanya dan mulai mengambil beberapa pakaian kotor yang berserakkan di ruang tamu. Dan Lura hanya melihatnya saja dengan sebelah kaki yang terangkat.

"Kamu ini anak cewe! Udah gede! Kapan mau berubah?!" kesal Lana, dia berjalan ke arah toilet lalu menaruh pakaian kotor itu ke dalam keranjang.

"YAMPUNN LURA! UDAH BERAPA KALI MAMA BILANG?! JANGAN MINUM-MINUM LAGI!" teriak Lana saat melihat botol-botol alkohol yang berserakkan di kamarnya anaknya.

Yang dimarahi hanya bersandar pada sofa dengan memejamkan matanya lalu menutup kuping. Menyesal rasanya mengapa dia lupa mengganti password pintu. Jika diganti 'kan, Mamanya tidak dapat masuk lagi.

Lana lalu berjalan di depannya dengan membawa botol-botol itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Wanita yang hampir memasuki kepala empat itu lantas berjalan mendekat ke arah Lura lalu menarik kupingnya hingga dia merintih kesakitan.

"Aduh aduh! Sakit woi!"

"KAMU DENGER NGGAK APA YANG MAMA BILANG?! KALAU KAMU TETAP KAYAK GINI, MAMA BAKAL NGELAKUIN SESUATU YANG  BUAT KAMU MENYESAL!"

Lura melepaskan tangan Lana dari kupingnya, lalu mengusap-ngusap telinganya yang tampak kemerahan.

"Apa? Mama mau ngelakuin apa? Blokir kartu kredit aku? Sita mobil aku? Atau ngeluarin aku dari KK?" balas Lura dengan berani.

"Lakuin aja, aku bisa palak junior aku di kampus kalau mau beli apa-apa, aku juga bisa numpang mobil Maxel kalau mau ke mana-mana, dan aku juga bisa tinggal di rumah Jean, so? Mama mau ngelakuin apa?" tantang Lura, membuat Lana berulang kali menarik napas dalam, berusaha untuk mengontrol emosinya sendiri.

Dia terlihat tersenyum terpaksa, dengan mata melotot melihat Lura, "Kamu liat aja nanti. Pulang kuliah, kamu harus ikut Mama ke suatu tempat."

"Dih, males banget."

"LURA!"

"Apaan sih. Jangan teriak-teriak napa."

"Mandi dan pergi kuliah! Sekarang!" perintah Lana sambil mengangkat jari telujuknya ke arah kamar Lura.

"Males ahh, aku ngantuk banget, mau tidur lagi. Bye," Lura lantas bangkit dari sofa hendak menuju ke kamarnya, namun sebelum itu Lana lebih dulu menarik tanktop yang gadis itu kenakan hingga dia kembali terduduk.

"Kamu mau Mama di sini terus? Kalau kamu nggak pergi kuliah, Mama bakal sita hp kamu. Mau?!" ancam Lana. Lura mendengus kesal, jika ponselnya di sita dia tidak bisa menghubungi siapapun.

"Yaudah iya!" putusnya lalu berdiri dan pergi menuju kamar. Dia bukan anak penurut, jadi tak semudah itu untuknya menuruti permintaan Mamanya. Dia hanya mandi dan pura-pura pergi kuliah. Toh, Mamanya tidak akan tahu.

****

Dengan senyum mengembang, gadis yang mengenakan crop top putih yang dilapisi cardingan itu berjalan keluar dari lift hendak menuju basement karena mobilnya berada di sana.

Setelah memasuki area basement di pun menghampiri kendaraan roda empat berwarna merah mengkilap itu. Ah, ternyata Mamanya mudah sekali untuk dibohongi, dia langsung pergi dari Apartemen saat Lura tengah mandi.

Dia menekan remote mobilnya, lalu kemudian membuka pintu. Namun ada yang aneh, tasnya seperti terasa ditarik oleh seseorang.

"Mau kabur, ya? Hm?" Lana tersenyum saat Lura berbalik melihatnya.

Gadis itu hanya bisa tertawa hambar, apakah Mamanya Jailangkung? Mengapa selalu suka datang tiba-tiba? 

"Ayo Mama antar ke kampus, sayang," ucap Lana dengan penekanan diakhir kalimat.

Lura berdecak, dia tersenyum terpaksa pada Lana lalu menutup pintu mobil dengan keras, dan mengikuti langkah Mamanya itu menuju mobil putih miliknya.

Pupus sudah niatnya untuk tidak kuliah.

Selang beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di depan gerbang Universitas Harbert. Lura tanpa berkata apapun sudah hendak membuka pintu mobil, namun pergerakkannya tertahan karena Lana bersuara.

"Jangan lupa, pulang kuliah kamu harus ikut Mama, atau nanti kartu--,"

"Iya iya! Ngancem mulu," balasnya jutek lalu keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam gerbang.

Lana menghela napas lelah, semoga saja rencana mereka nanti adalah jalan yang terbaik untuk bisa merubah sifat Lana.

****

"Seorang wanita ditemukan tak bernyawa dalam selokan dengan luka sayatan di lehernya. Diduga sebagai korban pembunuhan," gumam Jean membaca judul artikel dari ponselnya. Kini ketiga gadis itu tengah duduk santai di Delight Coffee, sebuah Kafe yang terletak di dalam kampus.

"Ihh, ini mah lokasinya deket klub yang suka lo datengin itu, Ra! Apasih namanya? Blue blue apa gitu."

"The Blue Hill," Gauri mengoreksi.

"Nah iya!"

Lura menatap layar ponselnya membaca berita itu, memang benar, ini tak jauh dari The Blue Hill. Tapi bentar, mengapa dia jadi teringat sesuatu?

"Luka sayatan di leher?"  gumamnya.

Gadis itu lantas menegakkan tubuhnya, dia jadi teringat akan kejadian yang pernah dialaminya dua minggu yang lalu saat dia pulang dari The Blue Hill. Awalnya Lura pikir itu adalah mimpi, karena setelah lelaki aneh itu hendak menusuknya, dia tak ingat apapun lagi. Bahkan anehnya, bangun-bangun dia sudah tertidur di depan pintu Apartemen. Hingga menjadi tontonan beberapa orang.

Aneh sekali bukan? Siapa yang membawanya?

"Hati-hati deh lo. Kejadiannya bukan cuma sekali. Sebelum ini juga ada mayat yang ditemukan di dalam mobil, lokasinya juga deket sama klub malam itu," ucap Gauri, perempuan berambut pendek dengan potongan bob blunt itu.

"Hm, bener. Apalagi nih ya, korbannya perempuan semua. Yaa, mungkin sekitar umur dua puluh tahunan gitu lah," Jean menimpali.

Lura bersandar pada sofa, dia melipat kedua tangan di depan dada. Bukannya merasa takut, dia malah penasaran siapa lelaki itu. Lura yakin jika ada dua lelaki di sana, yang pertama adalah orang yang membawa satu wanita yang masih hidup, lalu satu lagi adalah lelaki yang hendak menusuknya.

Tidak mungkin, kan, jika itu adalah orang yang sama? Karena waktunya berdekatan. Bahkan hanya berselang beberapa detik saja.

"Bodo amat dah, nggak peduli gue," balas Lura acuh. Kemudian bangkit berdiri.

"Mau ke mana lo?" Gauri bertanya. Dan langsung dibalas oleh Lura.

"Rooftop."

"Ngapain?" timpal Jean.

Lura menampilkan senyum tipisnya, kemudian mengangkat tangan dan membentuk jari telunjuk dan tengahnya seolah sedang merokok.

"Nyebat."

****

Gumpalan asap putih itu bergumpal di udara lalu perlahan menghilang bersamaan dengan tiupan angin yang menerpa wajah Lura. Gadis itu menyelipkan sebatang rokok di jarinya, lalu menghisapnya dalam dan menghembuskannya perlahan.

Kedua orangtuanya tahu jika dia perokok, dan Lura pun tidak peduli seberapa sering mereka melarang dan memarahinya. Toh, ini hidup Lura, dia akan melakukan apapun sesukanya, tidak peduli itu membahayakan dirinya sendiri atau tidak.

Lura mengangkat sedikit wajahnya ke atas, langit siang hari ini terlihat cerah, namun juga tampak sedikit mendung.

Bugh!

Bugh!

Suara itu terdengar dari arah belakang hingga Lura membalikkan tubuhnya. Dia lantas berjalan pelan menuju arah suara itu, dan ternyata berasal dari tangga menuju rooftop.

Melihat seorang lelaki yang tersungkur akibat pukulan seseorang, membuat Lura menjatuhkan rokoknya yang masih tersisa banyak, dan menginjaknya dengan sepatu.

Ia melangkah menuruni anak tangga, lalu membantu lelaki yang wajahnya sudah babak belur itu untuk bangkit.

"Lo nggak papa? Pergi aja, setan satu ini biar gue yang ngurus," ucap Lura pada lelaki yang tidak dia kenali itu.

Sedangkan lelaki dengan tatto dileher dan tangan kirinya itu berdiri dibelakang Lura, dia tampak berkaca pinggang dan tertawa tak percaya jika perempuan ini berani ikut campur tentang urusannya.

"Mau nyari masalah lo sama gue?" tanyanya tajam. Lelaki itu adalah Gerlangga Dylano. Sosok yang dikenal kejam dan tak memberi ampun pada siapapun yang berani mengusik ketengannya, ataupun yang suka mencari masalah padanya. Seperti perempuan satu ini.

"Katanya, sih. Kalau lo mau cepet mati, cari masalah aja sama Gerlan. Karena pasti dia bakalan buat hidup lo menderita."

Lura tersenyum tipis mengingat ucapan Jean beberapa hari yang lalu saat mereka melihat Gerlan memukuli beberapa junior yang berani memutar musik hingga tidurnya terganggu.

Gadis itu bersedekap, menantap Gerlan dengan sinis, "Kalau iya, kenapa?"

"Lawan gue kalau lo berani. Bukannya lo nggak suka kalau ketenangan lo diganggu?"

Decihan itu keluar saat mendengar ucapan Lura, Gerlan lantas menarik pinggang cewek itu lalu merapatkannya ke dinding yang berada tepat dibelakangnya.

"Lo yakin?" ucap Gerlan menyeringgai, dia perlahan mendekatkan wajahnya pada Lura. Namun gadis itu tak goyah, dia tidak merasakan apapun, bahkan kakinya sudah tak sabar untuk menginjak-injak wajah sialan lelaki ini.

"Ini kampus, kalau lo macem-macem sama gue, rumor bakalan cepet ke sebar. Lo mau reputasi lo hancur?"

Mendengar itu Gerlan sedikit menjauhkan wajahnya, dia tersenyum tipis lalu beralih membisikkan sesuatu di telinga Lura.

"Kenapa? Lo takut? Bukannya udah terbiasa?"

Lura seketika menautkan kedua alisnya, melihat Gerlan yang melempar senyum remeh padanya.

"Apa maksud lo?"

Gerlan tertawa sinis mendengar itu, dia tidak mengerti atau memang pura-pura tidak mengerti?

"Bukannya lo jalang di The Blue Hill?"

Ucapan Gerlan berhasil membuat Lura menggepalkan tangannya. Dia menatap cowok itu nyalang.

"Jaga omongan lo," katanya penuh penekanan.

Gerlan kembali tersenyum miring, dia lagi-lagi mendekatkan wajahnya ke arah Lura lalu menatap gadis itu dari dada hingga ke bawah, "Harga lo berapa semalam? Sejuta? Hm, atau 500 ratus ribu doang?"

"Sialan," desis Lura marah, tangannya sudah melayang hendak menampar wajah brengsek lelaki itu, namun dia berhasil menahan tangan Lura.

"Kenapa lo marah? Bukannya bener? Kasih tau aja berapa harga lo, uang gue banyak, gue bisa nyewa lo seminggu, sebulan, bahkan setahun," Gerlan berucap lagi tanpa mempedulikan tatapan penuh amarah Lura padanya.

Melihat gadis itu hanya diam tanpa membalas ucapannya, membuat Gerlan tertawa puas.

"Nggak bisa jawab? Kehabisan kata-kata atau lo emang bener jalang di sana?"

Sumpah demi apapun, Lura sangat ingin melayangkan kepalan tangannya ini, namun dia ingat jika ini area kampus. Dia tidak ingin mencari masalah, karena jika orangtuanya tahu, segala fasilitasnya benar-benar akan disita.

"Gue bukan jalang," balas Lura dengan penekanan disetiap katanya.

Gerlan beralih mengunci Lura dengan kedua tangannya yang menempel pada dinding.

"Trus apa? Pelacur?"

Tepat setelah Gerlan mengatakan itu Lura langsung mendorong tubuhnya, "Jaga omongan lo! Lo nggak berhak ngatain hidup gue!"

Gerlan menyunggingkan senyum sinis, "Makanya, jangan berani ikut campur urusan gue atau hidup lo bakalan menderita."

****

Sudah tak terhitung berapa kali Lura menghela napas kasar dan melirik jam tangannya. Yang ditunggu satu orang, tapi lamanya minta ampun.

Lura ingin segera keluar dari restoran ini dan tidur di Apartemennya. Mendengar pembicaraan mereka seputar bisnis membuat kepala Lura serasa ingin pecah.

Tidak adakah pembahasan yang lebih menarik?

Karena tak ada kegiatan, Lura akhirnya membuka tas untuk mengeluarkan ponsel. Lalu mencari nomor Mexel untuk mengirimnya pesan.

Max max

Maxell

Yuhuu

Ntar malem temenin gue clubbing yuu

Udah lama kan lo nggak ngeliat muka gue yang cantiq inii hihi

Males

Tugas gue numpuk

Dih, gitu amat

Cukup tau

Tanam dalam diri

Apaan sih

Cabang lo kan banyak di sono

Yaudah

Bye.

Lura menggerutu pelan, biasanya Maxel selalu bersedia untuk menemaninya ke mana pun. Lalu mengapa sekarang tidak? Pakai alasan tugas numpuk. Sejak kapan dia jadi rajin?

Apa mungkin karena virus dari si gila Gerlan itu? Secara Maxel temenan sama dia. Lura mengangukkan kepalanya sendiri, menyetujui argumennya barusan. Sepertinya setelah ini Lura harus membersihkan otak Maxel yang sudah terkontaminasi oleh virus negatif dari si gila Gerlan.

"Nah, akhirnya dateng juga," seru Ochi--Lura tidak tahu dia siapa, tapi yang pasti dia adalah teman atau partner kerja orangtuanya.

Seseorang terlihat duduk di depannya, namun Lura tak mempedulikan itu karena bermain game pou lebih menarik.

"Ayo dong kenalan dulu. Lura?" Lana yang berada di samping anaknya itu pun menyenggol pelan lengan Lura agar gadis itu mengalihkan perhatiannya.

"Udah kenal kok, Tante."

Eh?

Bentar-bentar, Lura mengenali suara ini. Karena hanya si gila Gerlan yang memiliki suara seperti itu. Mungkin perempuan lain akan senang mendengar suaranya, tapi karena dia waras, jadi sama sekali tak tertarik.

Lura pun mengangkat kepalanya. Tepat pada saat itu matanya langsung bertemu dengan wajah Gerlan yang tersenyum miring ke arahnya.

"Ma-- si gila ini kok bisa ada di sini?" tanya Lura tanpa mengecilkan suaranya. Membuat semua mata tertuju padanya.

Lana tertawa hambar, dia mencubit pelan paha Lura hingga gadis itu mengaduh kesakitan.

"Lura! Nggak boleh ngomong gitu!" ucap Louis--Papanya yang berada disamping Lana.

Lura mendengus keras, dia bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Gerlan tajam seolah mengatakan

"Apa lo? Maju sini kalau berani."

Ochi berdehem sebentar agar perhatian Lura dan Gerlan yang saling adu tatap itu teralih kepadanya.

"Nah, karena kita semua sudah berkumpul. Jadi langsung aja ya, tujuan kami membawa kalian ke sini karena ada hal penting yang akan kami sampaikan."

"Kami ingin kalian menikah."

"APA?!" teriak Lura tak percaya. Matanya melebar dengan mulut terbuka, dia sangat terkejut hingga tak bisa berkata-kata.

"Ma, ini--ini bercanda, kan?" tanya Lura melihat Mamanya. Berharap jika wanita itu mengatakan.

"Iya ini cuma prank, kok. Nggak beneran."

Tapi nyatanya,

"Enggak, Ra. Ini nggak bercanda. Kami memang sudah sepakat untuk menjodohkan kalian berdua."

Lura lantas tertawa tak percaya, "Ma! Yakali aku nikah sama dia! Ogah banget! Kalau bisa milih, aku mending nikah sama orang gila beneran daripada sama dia!" protesnya tak terima. Sedangkan Gerlan terlihat biasa saja. Dia mungkin sudah tahu akan hal ini, dan mungkin, dia menyetujui?!

Oh, tidak. Lura tidak akan membiarkan itu.

"Lura, ini demi kebaikan kamu!" balas Lana lagi, membuat Lura berdecih mendengarnya.

"Kebaikan apa, Ma? Mama mau hidup aku menderita? Mama mau aku mati muda karena nikah sama dia?"

Lana menghela napas kasar, bicara pada Lura memang harus membutuhkan kesabaran extra.

"Kamu pikir kami nggak tau? Apa yang kamu lakuin? Mama sama Papa tau Lura, meskipun kamu tidak tinggal satu atap dengan kami," balas Lana. Dia tahu jika setiap hari Lura selalu menghabiskan malamnya di klub. Minum alkohol dan merokok. Mereka tahu semua itu.

Louis yang duduk disamping Lana pun berpindah untuk duduk disamping anaknya. Dia mengusap pelan pundak Lura yang masih terbawa emosi.

"Lura, kamu ini anak satu-satunya Mama dan Papa. Kami tidak mau kamu hidup sesukanya dan tak tentu arah seperti ini."

"Minggu depan Mama dan Papa akan pindah ke Jerman, dan kamu tidak mungkin ikut kami karena kamu harus kuliah."

"Pa! Kok Papa tega, sih?!" jawabnya tak terima.

"Tenang, Papa belum selesai ngomong."

"Kami tidak ingin kamu hidup sendiri. Kamu tahu kan? Kita tidak punya saudara di sini, semuanya ada di Jerman. Jadi apa Mama dan Papa akan tenang-tenang saja membiarkan kamu hidup sendiri?"

"Pa, Lura bisa jaga diri Lura sendiri!"

Louis menggeleng, "Tidak. Papa tidak akan percaya lagi. Kamu juga bilang seperti itu saat memaksa kami untuk mengizinkan kamu tinggal sendiri. Tapi jadinya apa? Kamu tidak berubah juga."

"Kamu sudah 21 tahun, sudah sepantasnya kamu bersikap seperti orang dewasa."

"Pa! Yang bilang Lura masih kecil siapa? Lura udah dewasa kok, Lura--,"

"Nggak. Papa percaya pada Gerlan karena dia pasti bisa menjaga kamu dengan baik."

"What the fuck? Bisa jaga dengan baik?!" teriak Lura dalam hati. Ingin sekali dia mengadu pada Papanya atas apa yang dikatakan Gerlan tadi padanya.

"Kamu juga tahu, kan? Sekarang lagi marak-maraknya tingkat kejahatan. Korban pembunuhan banyak ditemukan disekitar tempat tinggal kita. Dan Papa tidak akan membiarkan kamu terluka. Kamu perempuan, ditambah lagi kamu suka keluyuran malam-malam," kata Louis lagi sembari menggeleng.

"Keputusan kami sudah bulat. Gerlan juga sudah menyetujui untuk menikah dengan kamu. Jadi Papa tidak akan menerima penolakan, kamu harus setuju dengan apapun yang terjadi."

"Pa!" bantah Lura. Dia tetap tidak terima.

"Lura, terima aja. Gerlan baik, kok. Tuh liat, dia juga ganteng, pinter lagi. Apa alasan kamu nggak mau nikah sama dia?" timpal Lana sambil melempar senyum pada Gerlan. Ah! Mama dan Papanya sama saja! Mengapa tidak ada yang berpihak padanya?

"Ma, buka mata lebar-lebar. Dia itu freak! Otak--,"

"Lura sayang, Tante tahu kamu tidak terima karena ini terjadi tiba-tiba. Tetapi sejak awal, jauh sebelum ini, kami sudah membuat kesepakatan untuk menjodohkan kalian. Bukan maksud apa-apa, kami hanya ingin kalian saling menjaga, dan saling memahami satu sama lain."

Lura tertawa tak percaya mendengar ucapan Tante Ochi. Saling menjaga dan saling memahami apanya?! Yang ada dia akan tertekan, hancur, berantakan, tersiksa, dan menderita jika hidup bersama Gerlan!

"Ya sudah, mari kita percepat saja tanggal pernikahannya," Om Verald---Papa Gerlan yang sejak tadi hanya diam menyimak pun mulai angkat bicara.

"Lebih baik kita percepat untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan," lanjutnya lagi.

Lura menghempas kasar tubuhnya ke sandaran sofa, dia mengacak rambutnya frustrasi dan menatap jengkel ke arah Gerlan.

Lelaki itu juga tengah melihatnya, dengan sebelah alis yang terangkat dia menatap Lura seolah mengatakan,

"Sebentar lagi, hidup lo bakalan hancur ditangan gue."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status