"Kita pernah saling membenci. Sebelum akhirnya sadar dengan perasaan sendiri."***"What?! Dia bilang Lura itu pacarnya?!" teriak Frea ta percaya di dalam mobil saat baru saja mendengar jawaban Flora. "Hm. Coba lo pikir, siapa yang percaya kalau si jalang itu pacarnya?" balas Flora kesal sambil menumpu sebelah tangannya di jendela mobil. Mereka masih berada di tempat tadi, terlalu kesal karena rencana yang sudah mereka susun gagal karena kedatangan Gerlan."Jelas nggak ada yang percaya, lah. Mereka aja musuhan, yakali bisa pacaran. Gue yakin, nih. Si jalang itu pasti godain Gerlan, kalau nggak mana mungkin dia mau bawa pelacur itu pergi," dumel Frea. Dia sangat yakin dengan ucapannya karena memang sudah terlihat jelas, jika Lura dan Gerlan itu tak pernah akur. Satu kampus pasti sudah tahu. Jadi sangat-sangat mustahil jika mereka memiliki hubungan. "Liat aja nanti, gue nggak akan berhenti walaupun dia ngancem gue pake
"He killed many women."....Pukul satu lewat enam belas menit dini hari terlihat pada jam tangan yang gadis berpakaian minim itu kenakan. Dia berjalan sempoyongan di gang kecil tak jauh dari The Blue Hill, sebuah klub malam yang cukup terkenal. "Ck," decakan itu lolos karena ponselnya terus-terusan berdering."Siapa sihh?!" kesalnya sembari berhenti melangkah dan bersandar pada tembok yang berada disampingnya. Tangannya merogoh tas hitamnya dan mengeluarkan ponsel dari sana.Papa is calling..."Ah! Berisik banget," tanpa menunggu lama dia langsung me-reject panggilan. Lalu kemudian kembali berjalan dengan menjadikan tembok itu sebagai pegangan agar dirinya tidak terjatuh. "Tolonggg!""Mphhh! Tolongg!"Langkah gadis itu seketika terhenti. Dia berjalan selangkah ke depan lalu mengintip dari ujung tembok. Matanya menyipit, berusaha untuk melihat objek itu dengan jelas dikarenakan tempat ini minim cahaya.Dia pun melebarkan matanya sendiri, di sana terlihat seorang gadis yang tak sadar
"Aku bukan membencimu. Aku hanya takut mencintaimu.".....Satu hari setelah pernikahan..Bisakah kalian merekomendasikan racun yang cepat untuk melenyapkan nyawa seseorang? Lura ingin memasukkan racun pada minuman ini dan memberikannya pada si gila itu. Biar dia cepat mati dan Lura bisa bebas."Lama amat sih lo!" teriak Gerlan dari ruang tamu. Lura menggeram kesal, dengan kasar dia meraih garam dan memasukkannya sebanyak lima sendok teh penuh ke dalam kopi ini.Lura menyunggingkan senyum miring, dia pun membawa secangkir kopi itu lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gerlan yang tengah duduk santai sembari memainkan ponselnya.Lelaki itu duduk tegak, dia memajukan sedikit tubuhnya lalu menyipitkan matanya menatap kopi hitam itu."Lo duluan yang minum," suruh Gerlan."Dih, males. Sorry aja nih ye, gue nggak demen kopi," tolak Lura mengibaskan rambutnya ke belakant."Lo pikir gue bego? Pasti lo masukin garem, kan?" tebak Gerlan membuat Lura menatapnya cepat. Gadis itu bahkan
"Beberapa orang diciptakan dengan hati yang kuat. Agar tak mudah rapuh jika disakiti oleh kenyataan." ****Lura tidak percaya jika dia akan berada pada situasi menakutkan seperti ini. Dikejar oleh penjahat? Itu hanya ada dalam bayangannya saja. Namun tak disangka jika dia benar-benar mengalaminya.Lura berlari kencang menjauh dari orang misterius itu, Lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam itu hanya berjalan mengikutinya, namun langkahnya begitu cepat hingga Lura sudah berlari pun dia tetap berada di belakang.Gadis yang dahinya dipenuhi oleh peluh itu berbelok memasuki sebuah gang kecil, namun saat mencapai ujung gang, kedua kakinya tertahan. Dia bimbang ingin memilih jalur kiri atau jalur kanan. Kepalanya lantas menoleh ke belakang, dia berdesis karena lelaki itu tengah berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Lura lantas berlari ke arah kiri. Dia mempercepat laju larinya, berharap jika di depan sana dia menemui seseorang atau rumah yang berpenghu
"Terkadang, bersikap seolah-olah tak peduli adalah salah satu cara untuk menyembunyikan perasaan."****Jarum jam tepat menunjukkan pukul tiga sore, dan kini kedua kaki yang dibalut sepatu Ankle boots itu tengah menyusuri koridor lantai dua hendak menuju gerbang depan kampus untuk mencari taksi. Jean dan juga Gauri sudah pulang lebih dulu, mereka juga sudah menawarkan untuk mengantar Lura setelah sempat bertanya mengapa gadis itu tidak membawa mobil seperti biasanya. Namun Lura hanya mengatakan, "Lo pada duluan aja, mobil gue lagi di bengkel."Jelas itu hanya alibi Lura saja karena mobilnya sudah dijual. Ya, di jual karena kedua orang tuanya tak mengizinkan Lura untuk memiliki kendaraan, karena mereka khawatir jika Lura akan keluyuran kemana-mana. Saat menuruni anak tangga, langkah kaki Lura perlahan melambat karena seseorang yang berdiri di bawah sana. Lura lantas menuruni dua anak tangga, lalu berhenti. Pandangannya berubah sinis menatap gadis itu."Mau apa lo?" nada suaranya ter
"Tidak perlu dengan ucapan untuk menunjukkan rasa cinta."****Gadis yang mengenakan atasan berwarna hitam dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu berjalan pelan di koridor kampus dengan wajah tak bersahabat. Matanya menatap tajam ke depan, hingga berhasil membuat orang-orang yang berselisih dengannya enggan untuk melihat wajahnya yang menakutkan. Lura seperti ini bukan tanpa alasan, sejak pulang dari The Blue Hill kemarin malam itu, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya karena cowok sialan itu sudah berani mencium bibirnya tanpa izin. Cih, dia pikir Lura perempuan murahan? Dia juga punya harga diri.Ditambah lagi dengan ucapannya semalam, yang mengatakan dia Lura adalah miliknya, mengingat itu membuat Lura berdecak dalam hati. Dia siapa? Bukan berarti mereka telah menikah, Lura bisa menjadi miliknya begitu saja."Ck, dasar gila. Orang kayak lo adalah orang yang paling gue benci di dunia! Udah bukan siapa-siapa, tapi suka banget ngatur-ngatur hidup gue," gerutu Lura geram. Yang
"Ketika kamu merasakan bahwa seseorang itu istimewa. Saat itu pula kamu akan takut kehilangannya."****Pukul delapan lewat lima menit malam ini, Lura baru saja selesai berpakaian, dan sekarang perempuan yang mengenakan dress hitam dengan luaran jaket jeans itu tengah duduk di depan meja rias untuk mencatok rambutnya. Sementara ponselnya yang terletak di atas meja berdering, Lura berdecak membaca nama si penelepon."Nggak sabaran banget," gerutunya pelan tanpa mengangkat telepon. Selang beberapa menit kemudian, Lura telah selesai mencatok rambut dan memoles make-up tipis pada wajahnya, lalu setelah itu keluar dari kamar. Gerlan sudah berada di basement, maka dari itu dia menelepon Lura agar cepat turun karena dia sudah lama menunggu. Sosok gadis terlihat masuk ke area basement, dia tampak berjalan santai seolah tak tahu jika Gerlan sudah menunggunya selama setengah jam lebih di dalam mobil. Itu membuat lelaki yang berada di balik kemudi mendengus kesal.Pintu yang berada di samping
"Perasaan akan sulit dikendalikan jika kamu tengah jatuh cinta."****Apa yang akan kalian rasakan jika hal yang kalian takuti benar-benar terjadi? Lura tidak menyangka jika lelaki yang membuatnya merasa was-was sejak masuk ke dalam lift yang sama dengannya, kini berada tepat di depan matanya."Lo--siapa?" Melihat wajah gadis itu yang menatapnya dengan sorot curiga, membuat lelaki itu tertawa pelan. Dia lantas membuka topi dan juga maskernya."Ah, sorry-sorry. Gue buat lo takut, ya?" ucapnya, setelah wajahnya dapat dilihat jelas oleh Lura. Dan Lura sendiri merasa belum pernah melihat wajah itu."Gue mau balikin ini, tadi jatuh di depan pintu lo," katanya lagi seraya menyodorkan kartu akses ke arah Lura. Gadis itu terlalu terburu-buru hingga tak menyadari jika kartunya terjatuh.Lura menatapnya sebentar, lalu kemudian perlahan melangkah mendekat dan menerima benda berbentuk kartu ATM itu. "Oiya, kita belum kenalan."Lelaki itu mengangkat tangan kanannya ke atas, "Gue Gavin, penghuni