Share

2. INSIDEN KANTIN

"Beberapa orang diciptakan dengan hati yang kuat. Agar tak mudah rapuh jika disakiti oleh kenyataan." 

****

Lura tidak percaya jika dia akan berada pada situasi menakutkan seperti ini. Dikejar oleh penjahat? Itu hanya ada dalam bayangannya saja. Namun tak disangka jika dia benar-benar mengalaminya.

Lura berlari kencang menjauh dari orang misterius itu, Lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam itu hanya berjalan mengikutinya, namun langkahnya begitu cepat hingga Lura sudah berlari pun dia tetap berada di belakang.

Gadis yang dahinya dipenuhi oleh peluh itu berbelok memasuki sebuah gang kecil, namun saat mencapai ujung gang, kedua kakinya tertahan. Dia bimbang ingin memilih jalur kiri atau jalur kanan.

Kepalanya lantas menoleh ke belakang, dia berdesis karena lelaki itu tengah berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Lura lantas berlari ke arah kiri. Dia mempercepat laju larinya, berharap jika di depan sana dia menemui seseorang atau rumah yang berpenghuni agar dia bisa meminta pertolongan.

Tapi sialnya, tembok besar yang berdiri di depannya membuat Lura lagi-lagi berhenti. Dia menoleh ke segala arah, namun tak terlihat ada jalan lain. Disekitar sini hanya terlihat pepohonan dan semak belukar. Jalan ini buntu.

Gadis itu mengacak kesal rambutnya. Nasibnya benar-benar sial.

Dengan napas yang tak beraturan, Lura membalikkan badannya ke belakang. Dia menatap lelaki itu tajam. Berusaha menghilangkan segala pemikiran buruknya yang mengatakan,

"Lo bakal dibunuh Lura."

"Dia ini pembunuh."

"Lo pernah ngeliat dia pas malam itu."

Lura menunduk sesaat, dia menarik napas dalam dan menjatuhkan kantong plastik yang masih berada ditangannya. Lalu kemudian beralih melihat sosok itu dengan sorot mata penuh keberanian. Lura bahkan mengedikkan dagunya agar orang itu tahu jika dia tidak takut.

"Siapa lo, hah?"

"Ngapain lo ngikutin gue?"

Lelaki itu perlahan berjalan mendekatinya, seraya mengeluarkan satu benda dari dalam saku jaketnya.

Pisau.

Melihat itu membuat Lura menelan salivanya dengan susah payah, dia menggepalkan kedua tangannya, berusaha untuk tidak takut. Sementara lelaki itu kian mendekat hingga berdiri tepat di hadapannya.

Dia mengangkat pisau itu ke atas hingga Lura sontak memejamkan matanya, namun dia tidak merasakan sakit apapun. Dia malah merasakan jika ujung pisau itu membelai pipinya hingga berhenti tepat di lehernya. Kaki Lura ingin sekali menendang lelaki itu, dan tangannya yang terkepal ini juga ingin sekali meninju wajahnya.

Namun Lura takut jika pisau ini benar-benar akan menusuk tubuhnya jika dia melawan. Apalagi ini di tempat sepi, kalaupun dia bisa terlepas dan lari, kemungkinan besar untuk sampai ke Apartemen dengan keadaan bernyawa itu kecil. Mengingat jika banyaknya korban pembunuhan belakang ini.

Dan sekarang Lura yakin, jika orang ini adalah pelakunya.

Lura semakin merapatkan matanya karena merasakan ujung pisau itu menekan kulit lehernya. Namun setelah itu, dia tidak merasakan apapun lagi, melainkan mendengar suara pukulan.

Dia perlahan membuka matanya, dan kaget saat lelaki misterius itu jatuh tersungkur, dia terdiam sejenak melihat orang yang memukulnya, sebelum akhirnya pergi dengan berlari menjauh dari sana.

Lura lantas menghela napas lega dan terduduk sembari menyentuh lehernya. Tak menyangka jika dia bisa terlepas dari si psikopat itu. Sedangkan Gerlan yang berdiri di sana, hanya menatap Lura datar. Tanpa berkata apapun dia langsung meraih kantong belanjaan itu kemudian melangkah pergi.

Lura kembali menghela napas panjang, kemudian bangkit berdiri dan berjalan pelan. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemas, dia masih syok dengan kejadian tadi. Tapi tidak mungkin dia tetap duduk di sana, karena bisa saja lelaki tadi kembali datang.

Gerlan memasukkan kantong belanjaan itu ke dalam mobil, lalu setelah menutup pintu belakang, dia mendengus pelan melihat langkah Lura yang berjalan begitu lambat. Gadis itu tampak menatap kosong ke depan.

Melihat itu membuat Gerlan berjalan mendekatinya. Lelaki itu langsung menyingkirkan batu yang berada di depan kaki Lura, karena jika tidak dilakukan, dia akan tersandung akibat tak melihat jalan.

Lura berhenti melangkah karena Gerlan berdiri tepat di depannya. Dia mendengus pelan dan berjalan ke arah lain, namun Gerlan lebih dulu menarik tangannya.

Lura menatapnya kesal, dia tidak memiliki kekuatan untuk berteriak pada Gerlan, padahal dia ingin sekali membentak lelaki ini, karena kalau saja dia tak menyuruh Lura ke supermarket, dia pasti tak bertemu dengan psikopat itu.

Gerlan tak bicara apapun, padahal dia ingin memarahi gadis ini karena terlalu bodoh dengan berjalan di tempat sepi. Namun dia tidak melakukan itu karena melihat wajah pucatnya. Dia pasti masih merasa takut.

Tangan Gerlan lantas menyibak rambut Lura ke belakang, dia menunduk sedikit lalu menyentuh leher gadis itu.

"Ada yang luka, nggak?" tanyanya, kemudian melihat ada satu titik kemerahan di sana, bekas ujung pisau tadi.

Lura menyingkirkan tangan Gerlan dari lehernya, dia lalu menatap cowok itu sinis, "Kenapa? Lo kecewa karena gue baik-baik aja?"

Mendengar itu Gerlan lantas menjauhkan tubuhnya, "Heh, seharusnya lo berterima kasih sama gue."

"Kalau gue nggak dateng, lo udah tinggal nama."

"Gue nggak minta lo buat dateng," balas Lura cepat.

"Hm, bener. Lo nelpon Maxel, tapi apa lo yakin dia bakalan dateng?"

"Iya! Dia selalu dateng kalau gue minta bantuan. Dan gue nggak butuh lo!"

Gerlan tersenyum miring, "Yakin? Dia nggak ada di sana pas lo nelpon, dan kalau bukan gue yang jawab panggilan lo, siapa yang bakalan dateng?"

Lura lantas diam. Dia tidak bisa berpikir jawaban apa yang akan dia katakan.

"Gue-- gue nggak ada nyuruh lo. Lo sendiri yang ke sini," jawab Lura akhirnya. Dia mengangkat kepalanya menatap Gerlan   yang lebih tinggi darinya.

"Jadi kalau lo nggak mau waktu dan tenaga lo kebuang, jangan dateng. Gue juga nggak butuh bantuan lo," ucap Lura lagi kemudian melangkah pergi.

"Lo pikir gue bisa?" jawaban Gerlan membuat Lura memberhentikan langkahnya. Gadis itu menolehkan kepala ke belakang, melihat Gerlan yang juga tengah menatap ke arahnya.

"Gue nggak bisa. Dan kalau seandainya kejadian tadi ke ulang lagi, jangan nelpon cowok lain, tapi telpon gue."

"Gue nggak suka kalau lo tetap ngelakuin itu," kata Gerlan datar, lalu kemudian berjalan masuk ke dalam mobil.

Lura terdiam sesaat, dia berdecih sinis, tidak suka apanya? Mau dia tidak suka, Lura tak peduli. Toh, Gerlan bukan orang spesial baginya. Dia hanya seseorang yang amat Lura benci.

Suara klakson mobil membuat Lura berjengkit kaget, dia menatap nyalang ke arah kaca mobil, sebelum akhirnya masuk  dengan menutup pintu itu kasar.

Sedangkan di belakang mereka, tepatnya di balik tembok sebuah gang, sepasang mata menatap tajam mobil hitam yang perlahan berjalan menjauh itu, dengan kedua tangan terkepal, dia mengucapkan satu kalimat di dalam hati.

"Liat aja, lo nggak akan bisa bebas dari gue."

****

Setelah kelasnya usai, Lura langsung menuju kantin kampus bersama Gauri dan juga Jean. Dan kini, gadis dengan atasan hitam yang dilapisi jaket jeans putih itu tengah berjalan menuju showcase cooler untuk mengambil minuman soda kaleng. Setelah itu membayar minumannya.



Namun kala Lura hendak berbalik, seseorang tak sengaja menabraknya hingga minuman yang dibawa orang itu mengenai celana putih yang Lura kenakan.

"Lo!" geram Lura. Dia menatap celananya yang terkena noda merah itu, kemudian beralih melihat gadis yang tampak menundukkan kepalanya.

"Maaf, ya. Aku--aku nggak sengaja," cicitnya dengan nada pelan. Tangannya bergerak untuk membersihkan noda itu, namun sebelum menyentuh celana Lura, Lura  lebih dulu menyetak kasar tangan putihnya.

"Nggak sengaja lo bilang?! Lo nggak tau harga celana gue berapa?!" teriakan Lura membuat mereka menjadi pusat perhatian di kantin. Sebagian dari mahasiswi bahkan tampak berbisik-bisik.

"Aku--aku bakalan ganti rugi, aku--,"

"Halah! Punya uang berapa lo?! Harga diri lo mungkin belum cukup buat ganti rugi!"

"Ra! Udah," Jean dan Gauri berlari mendekat, kedua gadis itu menarik tubuh Lura agar menjauh dari gadis bernama Alea itu.

"Apaan, sih!" Lura menyentak tangan Jean yang menarik lengannyan

"Ini masih di kampus! Lo mau kena masalah?" ucap Gauri memperingati.

Lura mendengus kasar, dia menatap tajam gadis di depannya itu "Lo masih berurusan sama gue," ucapnya tajam, kemudian melangkah pergi dari sana.

Beberapa teman Alea yang berada di sekitar itu pun mendekat, "Al, lo nggak papa?" tanya gadis yang bernama Keyla, wajahnya terlihat khawatir.

Perempuan dengan rambut diikat satu itu hanya memperlihatkan senyum tipisnya, hingga lesung pipinya terlihat.

"Aku nggak papa, kok."

"Ck, dasar jalang! Enak aja dia bilang harga diri lo belum cukup buat ganti rugi," decak Frea, gadis dengan rambut panjang berwarna dark brown-nya itu.

"Tau tuh! Padahal dia lebih kotor, tapi nggak ngaca. Cih!" Keyla menimpali.

"Stt, udah, nggak boleh ngomong gitu," sela Alea mendengar penuturan kedua temannya. Dia dikenal sebagai sosok yang ramah, maka tak heran jika banyak orang menyukainya.

"Itu bener, Al! Hampir semua mahasiswa di sini tau siapa dia! Bahkan nih ya, yang benci dia juga banyak! Lo liat aja tadi sikapnya ke lo gimana? Kurang ajar banget, kan?" ucap Frea lagi, berapi-api.

"Lo beraninya cuma ngomong di belakang doang? Ngomong langsung di depan orangnya berani, nggak?" celetuk Maxel yang berjalan dari arah belakang mereka, lelaki itu tersenyum miring sebelum akhirnya melangkah pergi.

"Dih! Lo pikir gue takut?!" teriak Frea.

"Udah lah, jangan memperpanjang masalah. Lagian ini juga salah aku, kok. Karena nggak hati-hati," Alea berucap lagi, sembari menatap kedua temannya

"Kelas aja yuk? Bentar lagi kita masuk."

****

Kedua gadis itu tengah duduk dipinggir lapangan basket, karena Gauri yang hendak bermain di sana. Sedangkan Jean tengah pergi ke minimarket untuk membeli makanan.

Sudah beberapa menit sejak kejadian di kantin tadi, Lura belum juga memudarkan wajah kesalnya.

"Gue tau lo lagi emosi, tapi liat situasi juga," kata Gauri sambil men-dribble bola lalu memasukkannya ke dalam ring dengan sempurna.

"Lo pikir gue bisa nahan emosi? Temenan berapa lama sih lo sama gue?" balas Lura jutek, gadis itu menenggak minuman sodanya.

Gauri menghela napas pelan, dia melempar asal bola itu kemudian berjalan mendekat ke arah Lura. Dan duduk disampingnya.

"Gue tau, tapi apa lo mau kena masalah lagi? Masalah lo sejak masuk ke sini udah banyak. Dulu bahkan lo sering pindah-pindah sekolah karena di DO, dan sekarang lo mau ngulangin lagi?"

Ucapan Gauri membuat Lura mendengus kesal. Itu memang benar, dia sering mencari masalah hingga berujung dikeluarkan dari sekolah. Tapi tak semudah itu membuat Lura bisa berubah. Lagipula, dia hanya mencari masalah pada orang yang sok berkuasa. Dan sok suci, seperti perempuan tadi.

"Gue benci liat orang sok polos itu, minta dikasihani? Biar orang-orang ngatai gue jahat? Cih, udah bosen gue liat orang modelan kek begitu."

"Udah udah, jan emosi lagi. Mau es krim nggak? Aaaa," Jean yang baru tiba pun langsung mengangkat sendok berisi es krimnya ke depan mulut Lura, dan dilahap oleh gadis itu.

"Eh btw, gue kan abis beli nih es krim di minimarket, lo pada tau nggak gue denger apaan?" kata Jean, menatap Lura dan juga Gauri.

"Mana gue tau, lo pikir gue cenayang?" balas Gauri, membuat Jean mendengus pelan.

"Gue abis denger satu fakta yang bikin gue kaget," katanya lagi dengan wajah dramatis.

"Apaan? Bilang gitu doang pake drama segala," Lura menjawab.

"Tuh cewe namanya Alea, dia baru pulang dari luar kota, dan lo tau dia siapa?"

Gauri dan Lura sontak kembali menghela napas kasar. Temannya yang satu ini memang penuh drama. Apa susahnya mengatakan itu tanpa membuang-buang waktu?

Lura kembali mengangkat kaleng sodanya lalu meminumnya hingga habis tak tersisa. Namun saat mendengar ucapan Jean selanjutnya, membuatnya tersedak minuman sendiri karena kaget.

"Dia mantannya Gerlan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status