"Terkadang, bersikap seolah-olah tak peduli adalah salah satu cara untuk menyembunyikan perasaan."****Jarum jam tepat menunjukkan pukul tiga sore, dan kini kedua kaki yang dibalut sepatu Ankle boots itu tengah menyusuri koridor lantai dua hendak menuju gerbang depan kampus untuk mencari taksi. Jean dan juga Gauri sudah pulang lebih dulu, mereka juga sudah menawarkan untuk mengantar Lura setelah sempat bertanya mengapa gadis itu tidak membawa mobil seperti biasanya. Namun Lura hanya mengatakan, "Lo pada duluan aja, mobil gue lagi di bengkel."Jelas itu hanya alibi Lura saja karena mobilnya sudah dijual. Ya, di jual karena kedua orang tuanya tak mengizinkan Lura untuk memiliki kendaraan, karena mereka khawatir jika Lura akan keluyuran kemana-mana. Saat menuruni anak tangga, langkah kaki Lura perlahan melambat karena seseorang yang berdiri di bawah sana. Lura lantas menuruni dua anak tangga, lalu berhenti. Pandangannya berubah sinis menatap gadis itu."Mau apa lo?" nada suaranya ter
"Tidak perlu dengan ucapan untuk menunjukkan rasa cinta."****Gadis yang mengenakan atasan berwarna hitam dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu berjalan pelan di koridor kampus dengan wajah tak bersahabat. Matanya menatap tajam ke depan, hingga berhasil membuat orang-orang yang berselisih dengannya enggan untuk melihat wajahnya yang menakutkan. Lura seperti ini bukan tanpa alasan, sejak pulang dari The Blue Hill kemarin malam itu, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya karena cowok sialan itu sudah berani mencium bibirnya tanpa izin. Cih, dia pikir Lura perempuan murahan? Dia juga punya harga diri.Ditambah lagi dengan ucapannya semalam, yang mengatakan dia Lura adalah miliknya, mengingat itu membuat Lura berdecak dalam hati. Dia siapa? Bukan berarti mereka telah menikah, Lura bisa menjadi miliknya begitu saja."Ck, dasar gila. Orang kayak lo adalah orang yang paling gue benci di dunia! Udah bukan siapa-siapa, tapi suka banget ngatur-ngatur hidup gue," gerutu Lura geram. Yang
"Ketika kamu merasakan bahwa seseorang itu istimewa. Saat itu pula kamu akan takut kehilangannya."****Pukul delapan lewat lima menit malam ini, Lura baru saja selesai berpakaian, dan sekarang perempuan yang mengenakan dress hitam dengan luaran jaket jeans itu tengah duduk di depan meja rias untuk mencatok rambutnya. Sementara ponselnya yang terletak di atas meja berdering, Lura berdecak membaca nama si penelepon."Nggak sabaran banget," gerutunya pelan tanpa mengangkat telepon. Selang beberapa menit kemudian, Lura telah selesai mencatok rambut dan memoles make-up tipis pada wajahnya, lalu setelah itu keluar dari kamar. Gerlan sudah berada di basement, maka dari itu dia menelepon Lura agar cepat turun karena dia sudah lama menunggu. Sosok gadis terlihat masuk ke area basement, dia tampak berjalan santai seolah tak tahu jika Gerlan sudah menunggunya selama setengah jam lebih di dalam mobil. Itu membuat lelaki yang berada di balik kemudi mendengus kesal.Pintu yang berada di samping
"Perasaan akan sulit dikendalikan jika kamu tengah jatuh cinta."****Apa yang akan kalian rasakan jika hal yang kalian takuti benar-benar terjadi? Lura tidak menyangka jika lelaki yang membuatnya merasa was-was sejak masuk ke dalam lift yang sama dengannya, kini berada tepat di depan matanya."Lo--siapa?" Melihat wajah gadis itu yang menatapnya dengan sorot curiga, membuat lelaki itu tertawa pelan. Dia lantas membuka topi dan juga maskernya."Ah, sorry-sorry. Gue buat lo takut, ya?" ucapnya, setelah wajahnya dapat dilihat jelas oleh Lura. Dan Lura sendiri merasa belum pernah melihat wajah itu."Gue mau balikin ini, tadi jatuh di depan pintu lo," katanya lagi seraya menyodorkan kartu akses ke arah Lura. Gadis itu terlalu terburu-buru hingga tak menyadari jika kartunya terjatuh.Lura menatapnya sebentar, lalu kemudian perlahan melangkah mendekat dan menerima benda berbentuk kartu ATM itu. "Oiya, kita belum kenalan."Lelaki itu mengangkat tangan kanannya ke atas, "Gue Gavin, penghuni
"Bagiku, obat untuk patah hati. Adalah dengan membenci."****Beberapa menit yang lalu Lura baru saja selesai membantu Ochi untuk membereskan meja makan. Dan kini langkah kecilnya itu berjalan menuju halaman samping rumah Gerlan yang terdapat taman dan juga kolam renang dengan beberapa lampu yang menerangi setiap sudutnya.Dia duduk di salah satu bangku dan menatap lurus pemandangan di depannya. Seusai makan malam tadi Gerlan lebih dulu beranjak bersama Verald karena ada hal penting yang ingin dibicarakan Papanya itu. Makanya Lura menjadi sedikit tenang karena manusia menyebalkan itu tidak mengusiknya.Mengingat perkataannya tadi seketika membuat Lura merasa kesal, apa maksudnya mengatakan hal yang menggelikan itu? Jika saja tidak ada Mama dan Papanya, Lura pasti sudah menendang kakinya sembari mengucapkan kata-kata mutiara. Namun yang dia lakukan tadi hanya tersenyum terpaksa pada Gerlan sambil menjawab,"Hehe, kenapa nggak lo aja yang hamil?"Dan ucapannya itu berhasil mendapat taw
"Bukannya takut jatuh cinta. Hanya saja terlalu malas untuk mengulang sakit yang sama."****Ada waktu dimana ketiga lelaki itu mendatangi basecamp mereka yang terletak di gedung belakang kampus. Yang pasti, pagi-pagi seperti ini adalah waktu yang sangat langka dimana Felix mendapati Gerlan yang tengah duduk santai bersama beberapa kaleng soda yang terletak di atas meja.Dia tercengang ketika baru saja membuka pintu, mungkin jika yang berada di sana adalah Maxel, Felix bisa memaklumi karena lelaki itu memang yang paling rajin di antara mereka. Dia pasti selalu datang tepat waktu. Tapi Gerlan yang selalu bolos kuliah? Bagaimana mungkin dia sudah berada di kampus pagi-pagi seperti ini?Lelaki itu tampak mengangkat kepalanya yang semula menunduk menatap Felix yang beberapa detik lalu baru saja duduk di sampingnya."Kenapa lo ngeliatin gue?" tanya Gerlan datar seraya kembali menenggak minuman sodanya.Felix menggeleng pelan, "Lo ada masalah apa, sih?" "Masih soal kemarin? Lo masih kesel
"Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud
"Aku ingin kamu menjauh, pergi dan melupakanku. Agar meninggalkanmu bukan menjadi beban bagiku."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers putih itu berjalan pelan menyusuri taman kota seorang diri. Dia menarik napas dalam, menghirup udara malam yang sedikit menenangkan perasaannya. Sepulang dari rumah sakit tempat Anna dirawat tadi, dia langsung berjalan kaki menuju tempat ini yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Melihat ada dua ayunan yang terlihat kosong, gadis yang mengenakan atasan rainbow crop sweater itu pun lantas menuju ke sana dan duduk sambil menganyunkan kedua kakinya. Lura hanya ingin menghabiskan waktu sendirian, meskipun itu akan mengingatkannya akan kenyataan yang terlalu mustahil untuk dapat berubah. "Lura, kamu harus memberitahu orang tua kamu.""Ini bukan masalah sepele karena menyangkut keselamatan kamu."Lura menghentikan langkahnya, mengingat ucapan Dokter beberapa minggu yang lalu membuatnya kini tak bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Jika biasanya o